Oleh: Ben Senang Galus
beritabernas.com – Sekurang-kurangnya ada 4 faktor penyebab munculnya kekerasan di Babarsari, Yogyakata beberapa hari lalu, yakni faktor individual, faktor kelompok, dinamika kelompok dan faktor pendidikan.
Pertama, faktor individual. Perilaku agresif seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan. Faktor penyebab perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, stres, depresi serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah kepentingan (ekonomi/bisnis), faktor budaya, dan media massa.
Kedua, faktor kelompok. Individu cenderung membentuk kelompok dengan memprioritaskan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnis. Identitas kelompok yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain ini rawan menyebabkan benturan antara identitas kelompok yang berbeda dan kemudian menjadi penyebab kekerasan.
Ketiga, faktor dinamika kelompok. Kekerasan dapat timbul karena hilangnya rasa saling memiliki yang terjadi dalam kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan-perubahan sosial terjadi sedemikian cepat dalam sebuah masyarakat dan tidak mampu direspon sama cepatnya oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya.
Keempat, faktor pendidikan. Kekerasan dapat timbul karena kurangnya pendidikan. Bisa juga karena sistem pendidikan kita yang menekankan kompetisi tinggi. Sehingga orang-orang yang tidak bisa berkompetisi cenderung tersingkir dan melakukan tindak kekerasan. Karena tersisih dari kompetisi itu, mereka cenderung agresif. Kemungkinan lain, tidak ada wadah yang menampung gagasan mereka.
Mereka tersisih dari dinamika sosial. Perguruan tinggi di Yogyakarta menuntut kompetisi tinggi, pemuda yang serius belajar tentu bisa bersaing dalam kompetisi itu. Sementara mereka yang tidak mampu cenderung eksklusif dari dunia akademis atau kampus.
Orang yang tidak mampu berkompetisi cenderung mencari ruang publik sebagai panggung untuk berekspresi menemukan identitas. Panggung mereka yang tidak mampu berkompetisi di kampus adalah kafe dan sebagainya. Ruang-ruang publik inilah sebenarnya menjadi basis atau pusat bagi mereka untuk bernegosiasi.
Lalu, dimana pintu masuk untuk menyelesaikan masalah tersebut? Menurut hemat penulis, penyelesaiannya bukan di tingkat atas tapi di tingkat bawah, di asrama. Membantu menyelesaikan persoalan mereka.
Itu yang saya lakukan beberapa tahun terakhir. Mahasiswa tidak butuh penyelesaian tingkat atas, karena yang konflik itu bawah maka penyelesaiannya di tingkat bawah dengan mendatangi atau mengunjungi mahasiswa di asrama-asrama atau kos-kosan dan menanyakan masalah yang dihadapi disertai solusinya. (Ben Senang Galus, Pengamat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some