Peristiwa 27 Juli 1996 Cikal Bakal Lahirnya PDI Perjuangan

beritabernas.com – Peristiwa 27 Juli 1996 berupa penyerbuan Kantor DPP PDI di Jakarta oleh orang-orang tak dikenal merupakan cikal bakal lahirnya PDI Perjuangan. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) atau Tragedi Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 itu memakan korban jiwa dan sejumlah orang hilang hingga kini.

Ketua DPD PDI Perjuangan DIY Nuryadi SPd pada acara peringatan mengenang peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor DPD PDI Perjuangan DIY, Selasa 26 Juli 2022 malam, mengungkapkan kronologis sebelum terjadinya peristiwa 27 Juli 1996 hingga lahirnya PDI Perjuangan dengan lambang banteng moncong putih dan mata merah dalam lingkaran.

Baca berita terkait: Ketua DPD PDI Perjuangan DIY: Peringatan Kudatuli untuk Mengumpulkan Balung Pisah

Meski mengaku belum lengkap dan sempurna, Nuryadi menyampaikan catatan dan pengalaman pribadinya seputar peristiwa tersebut, khususnya yang terjadi sebelum hingga sesudah peristiwa tragis itu sampai lahir dan berkembangnya PDI Pro Mega (Promeg) di DIY yang menjadi embrio PDI Perjuangan.

Kongres IV PDI di Medan

Menurut Nuryadi, sejak keluarga Bung Karno bergabung ke PDI tahun 1986, suara PDI terus mengalami peningkatan. Dengan menampilkan simbol-simbol Bung Karno yang diwakili putra-putrinya, seperti Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputri, menjadi faktor kunci keberhasilan PDI mendulang suara.

Nuryadi (tengah) dan Bambang Wuryanto (kiri). Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Dari 85,8 juta suara yang sah pada Pemilu 1982, PDI menggaet lebih dari 9,3 juta suara atau 10,87 persen. Jumlah ini setara dengan 40 kursi di DPR RI. Sementara pada Pemilu 1986, suara PDI naik 16 kursi atau menjadi 56 kursi di DPR RI.

Menurut Nuryadi, peningkatan perolehan suara PDI tersebut berlanjut pada Pemilu 1992. Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra kembali menjadi andalan meraih dukungan massa, khususnya dari kalangan muda.

Meski tetap di urutan ketiga pada pemilu 1992 suara PDI naik menjadi 14,9 persen dan berhak atas 56 kursi di DPR. Selama dua pemilu dipimpin Suryadi, suara PDI yang terus naik, dianggap tindakan yang melanggar “kuota” oleh pemerintahan Orde Bar. Karena Orde Baru “membatasi” persentasi suara PDI secara nasional yakni tak boleh lebih dari 7 persenatau setara dengan 25 kursi.

Naun, Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI saat itu, menabraknya. Sehingga dia dianggap “anak nakal” oleh Orde Baru. Karena itu saat menggelar Kongres IV PDI di Hotel Tiara Medan pada 21-25 Juli 1993, Soerjadi “dikerjain” oleh penguasa. Meski terpilih secara aklamasi dalam kongres itu, Soerjadi gagal ditetapkan sebagai Ketua Umum PDI.

Muncul kisruh di kongres karena ada aksi dari Jacob Nuwawea. Menteri dalam Negeri Yogi S Memet saat itu mengambil alih. Pemerintah menunjuk Latief Pudjosaksi sebagai caretaker Ketua Umum PDI dengan tugas menyelenggarakan kongres luar biasa atau KLB PDI.

KLB Sukolilo Surabaya

Caretaker Ketua umum PDI Latief Pudjosakti menggelar KLB PDI di Pondok Haji Sukolilo, Surabaya pada 2-6 Desember 1993. Pemerintah membuat skenario Budi Hardjono menjadi calon tunggal untuk menggantikan Soerjadi.

Namun, skenario ini mendapatkan perlawanan dari gerakan arus bawah PDI didukung aktivis gerakan pro demokrasi yang tumbuh dan berkembang luas di masyarakat. Skenario pemerintah itu buyar saat Ketua DPC PDI Surakarta RM Makyo Sumaryo Soerdjomidjojo membuat manuver dengan memunculkan nama Megawati Soekarnoputri sebagai calon. Kala itu Megawati menjadi Ketua DPC PDI Jakarta Selatan.

Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul (kedua dari kiri). Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Munculnya nama Megawati mendapatkan sambutan luar biasa. Arus bawa PDI mendukung putri Proklamator Bung Karno tersebut. Sebaliknya penguasa melalui kaki tangan di internal seperti Latief Pudjosakti, Budi Hardjono, Ismunandar. Marsusi, Yusuf Merukh dan lainnya berupaya menjegalnya habis-habisan dengan berbagai cara.

Saat KLB berlangsung, Budi Hardono yang digadang-gadang rezim gagal menjadi ketua umum. Megawati mengantongi 256 dari 36 suara cabang. “Saya bersama pengurus DPC PDI Jogja dan arus bawa ikut berangkat ke Surabaya. Saya menyaksikan langsung jalannya KLB. Dukungan mutlak terhadap Megawati membuat rezim panik,” kata Nuryadi.

Arena KLB bukan hanya dipenuhi peserta dari pengurus partai. Penguasa melalui Direktorat Jenderal Sospol Depdagri, Kasospol ABRI hingga jajaran Ditsospol (provinsi) dan kepala Kantor Sospol kabupaten /kota ikut mengawal peserta kongres. Mereka mulai bermanuver. Mati-matian mengulur waktu agar sidang pemilihan ketua umum tidak digelar. Setidaknya sampai masa izin kongres berakhir pukul 24.00. Penguasa mengincar deadlock dan berharap persoalan PDI bakal kembali diserahkan ke pemerintah.

Suasana kongres mencekam dan penuh inimidasi. Lokasi acara penuh tentara dan polisi bersenjata yang bersiaga penuh bak mengepung musuh. Menjelang pukul 20.00 malam, sebagian peserta konggres meninggalkan arena kongres. Isu yang tersiar, kerusuhan meletus dan kongres bakal dibuat ricuh.

Megawati bertahan di tempat sekaligus mengikuti perkembangan setiap detik. Dia juga menolak ketika tentara “menawarkan” evakuasi dengan panser dengan alasan keamanan. Sikapnya tegas: tidak akan meninggalkan arena kongres meski apapun yang terjadi.

Megawati sadar, jika menuruti “perlindungan” yang ditawarkan penguasa, dia bakal dianggap meninggalkan kongres. Itu bakal menjadi alasan kegagalan kongres. Listrik di arena kongres sempat padam atau sengaja dipadamkan untuk mengacau jalannya KLB.

Meski kubu Budi Harjono mati-matian memacetkan sidang, 2 jam sebelum tenggat izin kongres berakhir, Megawati bangkit melawan. Dia memproklamirkan diri sebagai Ketua Umum PDI de facto yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998.

“Saudara-saudara yang saya hormati, secara de facto saya sudah menjadi Ketua Umum PDI tapi secara de jure memang belum. Untuk itu, saudara-saudara saya minta bersikap tenang karena PDI adalah bagian dari bangsa Indonesia,” tata Megawati.

Dalam pernyataan itu, Megawati menyebut penetapan de jure akan dilakukan dalam Munas atau sejenisnya di Jakarta dalam waktu dekat. Dia juga mengimbau agar semua peserta kongres dan para simpatisan pulang ke tempat ke tempat masing-masing dalam suasana damai dan tertib.

Munas PDI di Jakarta

Setelah KLB, Megawati menggelar safari politik termasuk menemui Kasospol ABRI Letjen Haryoto PS, Pangdam Jaya Mayjen Hendropriyono hingga Direktur A Bais Brigjen Agung Gumelar. Dia juga menemui Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut dan Menteri Dalam Negeri Yogi S Memet.

Setelah pertemuan, Yogi menyebutkan kemungkinan Megawati bisa menjadi Ketua Umum PDI. Melalui Munas PDI pada2 Desember 1993 di Jakarta, Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI 1993 sampai 1998.

KLB PDI Soerjadi

Sejak menjadi Ketua Umum PDI, kepemimpinan Megawati terus dirongrong. Selama memimpin, Megawati tidak pernah sepi dari goyangan. Sebut saja ada PDI Yusuf Merukh 1995 hingga puncaknya KLB PDI di Medan 1996. Semua aksi itu mendapatkan dukungan penuh dari penguasa.

KLB PDI Soerjadi digelar 20-23 Juni 1996. KLB itu merupakan bentuk kudeta alias mengambil alih secara paksa kepemimpinan KetuaUumum PDI dari tangan Megawati. Kudeta itu dibungkus dengan operasi militer ABRI hingga tingkat yang paling bawah Koramil dan Babinsa.

Pengurus DPC dan DPD PDI dari seluruh Indonesia diculik. Mereka kemudian diterbangkan secara paksa ke Medan untuk mengikuti KLB kedua kalinya ini. Pemerintah juga memanfaatkan beberapa elit partai yang berseberangan dengan Megawati seperti Fatimah Ahmad, Yusuf Merukh dan Latief Pudjosakti.

KLB Medan dijaga ketat polisi dan pasukan ABRI. Para peserta KLB dipaksa memilih kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI. Sejak itu PDI pecah dalam dua kubu. PDI Megawati atau Pro Mega dengan PDI Soerjadi. Sebagian besar pengurus DPP menyeberang lari ke kubu Soerjadi. PDI Pro Mega menyisakan 11 orang pengurus pusat.

5. Kondisi di daerah

Munculnya PDI Pro Mega dan PDI Soerjadi juga berimbas ke daerah termasuk di DIY. Sebagian besar pengurus DPD maupun DPC se-DIY mengikuti Kongres Medan. Arus bawah mengadakan perlawanan. Ketua Umum Megawati menunjuk Parte Tarigan Sibero sebagai caretaker Ketua DPD PDI DIY setelah Ketua Suharto dan Sekretaris DPD DIY R Suryanto ikut PDI Soerjadi.

Setelah beberapa waktu akhirnya terbentuk kepengurusan. DPD PDI Pro Megadi diketuai Parte Tarigan Sibero. DPC Kota Jogja diketuai Th Sumardjono, Nuryadi menjadi salah satu wakilnya. DPC PDI Gunung Kidul diketuai Supriyono dengan Sekretaris Ternalem PA dan Bendahara Warto. DPC PDI Kulonprogo diketuai R Sjamsu Suryobroto dn Bantul Heri Suratal sebagai Ketua dan Joko Purnomo selaku sekretaris. Sedangkan Sleman sebagai sekretaris Gi Aryadi.

Perlawanan menghadapi rezim Orde Baru tidak hanya dilakukan secara politik. Sesuai arahan Ketua Umum Megawati, PDI DIY juga mengambil langkah hukum. PDI Pro Mega di DIY menunjuk LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum menggugat PDI Soerjadi melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Sleman pada 1996.

6. Mempertahankan kantor partai

Kudeta atas kepemimpinan Megawati sebagai Ketua Umum PDI mendapatkan perlawanan luas, tidak hanya kader, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya bersatu. Di Jakarta mereka membuat mimbar demokrasi di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta. Selama berminggu-minggu kantor dikuasai oleh masa pendukung Megawati.

Hal sama juga terjadi di DIY. Kantor DPD PDI di Badran Jalan Tentara Rakyat Mataram kita kuasai. Setiap hari masyarakat juga menggelar aksi mimbar bebas, berpidato mengecam rezim Soeharto Salah satu tokoh yang ikut memberikan orasi adalah kyai nyentrik KH Moesliem Rifi Imampuro dari Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti dari Klaten, Jawa Tengah.

Kemudian Guruh Soekarnoputra datang ke Jogja pada hari Jumt namun lupa tanggalnya. Guruh Soekrnoputra sempat Jumatan di Masjid Syuhada Kota Baru. Habis Jumatan hendak makan siang di Soto Soleh Tegalrejo. Untuk urusan makan pun rezim risau dengan kedatangan Mas Guruh.

Kepala Seksi Intel Kodim 0734/ Yogyakarta Kapten Inf Sayuti meminta Pak Soleh menutup warungnya secara sepihak. Kapten Sayuti kemudian menulis di papan tulis dengan kapur. Warung Tutup. Rombongan Mas guru akhirnya balik kanan.

Tak lama setelah Jakarta terjadi aksi perebutan kantor partai yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa 27 juli 1996 sore Kantor DPD PDI DIY juga diweeping. Aparat ABRI merebut paksa kantor kemudian mengosongkan dari aktivitas.

Sejak itu kantor dikuasai aparat keamanan. Meski tak punya kantor aktivitas PDI Pro Mega terus berjalan. Perlawanan tidak pernah berhenti. Rapat partai diadakan berpindah-pindah. Kita juga meminta pengurus PDI Sorjadi menyatakan mundur. Hanya ada satu pengurus PDI di DIY.

Perlawanan arus bawah PDI ini efektif. Saat pemilu 1997, PDI Soerjadi tidak mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat. Suaranya gembos. Hasilnya, di DPRD DIY PDI hanya punya 1 kursi. Demikian pula di DPRD Kota, Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul. Wakil PDI Soerjadi hanya 1 orang.

Setelah reformasi 1998, PDI Pro Mega memutuskan bergant nama menjadi PDI Perjuangan hingga sekarang. (lip/dikutip dari teks yang dibacakan Ketua DPD PDI Perjuangan DIY Nuryadi pada peringatan peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor DPD PDI Perjuangan DIY pada 26 Juli 2022 malam)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *