Intoleransi dan Polarisasi Sosial

Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Di tengah gegap-gempita demokrasi dan semangat persatuan yang kerap digembar-gemborkan, Indonesia justru tengah mengalami pembusukan sosial yang mengkhawatirkan, dimana intoleransi yang dipelihara dan polarisasi yang dijadikan komoditas politik. Kita hidup dalam zaman ketika perbedaan tidak lagi dimaknai sebagai kekayaan, melainkan sebagai ancaman; ketika iman berubah menjadi identitas eksklusif yang menceraikan, bukan menyatukan.

Hari ini, di ruang-ruang publik maupun digital, narasi saling curiga dan kebencian beroperasi dengan licin, seolah sah atas nama kesalehan, nasionalisme, atau moralitas tunggal. Padahal, di balik klaim membela nilai luhur, tersembunyi hasrat kuasa dan ketakutan yang diwariskan. Polarisasi ini bukan kebetulan, dimana ini merupakan produk sistemik dari wacana yang dipelintir, pendidikan yang kering empati, dan media yang haus sensasi.

Sebagai bangsa yang lahir dari keberagaman, kita justru sedang menggali lubang pemisah yang dalam antar sesama. Pertanyaannya adalah hingga kapan kita akan membiarkan bangsa ini terpecah oleh superioritas semu dan luka yang terus diulang atas nama “kita” dan “mereka”?

Ketika ujaran kebencian tumbuh tanpa kendali, dan ketika intoleransi tidak lagi diperlakukan sebagai kejahatan moral, melainkan sebagai “pendapat pribadi”, maka kita sedang menyaksikan kemunduran etika dalam ruang publik yang sangat mengkhawatirkan. Normalisasi kebencian bukanlah fenomena yang terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari pembiaran yang sistemik, ketidaktegasan hukum serta kegagalan negara dalam melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan secara adil.

BACA JUGA:

Dalam laporan The Freedom of Thought Report 2023 oleh International Humanist and Ethical Union (IHEU), Indonesia masih masuk dalam kategori negara dengan pelanggaran serius terhadap hak minoritas non-agama dan kepercayaan lokal. Artinya, intoleransi bukan hanya terjadi secara sosial, tetapi juga diabsahkan melalui regulasi yang bias.

Lebih jauh, Setara Institute dalam Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan tahun 2023 mencatat setidaknya 473 peristiwa pelanggaran KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, aktor negara menjadi pelaku tertinggi pelanggaran, baik melalui pembiaran, diskriminasi kebijakan, maupun pernyataan-pernyataan yang justru menormalisasi kekerasan simbolik terhadap kelompok minoritas. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap mandat konstitusi Pasal 28E dan 29 UUD 1945, yang seharusnya menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan.

Ujaran kebencian yang semula dianggap ekstrem kini menjadi arus utama dalam wacana publik, tersebar melalui media sosial, kanal politik, bahkan ruang-ruang keagamaan. Ketika bahasa yang merendahkan, mengucilkan, dan mendiskreditkan kelompok berbeda terus diberi tempat, maka kita tidak sedang memperjuangkan kebebasan berbicara, melainkan membiarkan racun sosial menyebar tanpa penangkal. Ironisnya, intoleransi hari ini sering dikemas dengan dalih menjaga moral atau mayoritas, padahal sejatinya meruntuhkan sendi pluralisme yang menjadi fondasi bangsa ini.

Bila kita diam, kita bersekongkol. Bila kita netral dalam wajah ketidakadilan, maka kita sedang memilih pihak penindas. Inilah saatnya bersuara, karena keberagaman bukan untuk ditoleransi semata, tetapi untuk dihormati dan dilindungi.

Agama dan identitas dijadikan alat politik

Ketika agama dan identitas digunakan sebagai alat politik, maka ruang publik kehilangan integritas moralnya. Apa yang seharusnya menjadi sumber kedamaian, kasih, dan solidaritas antarmanusia justru dijadikan amunisi untuk menciptakan pembelahan sosial yang dalam. Polarisasi sosial di Indonesia tidak muncul dari ruang kosong, ini dipicu oleh praktik eksploitasi simbol-simbol agama dan etnis yang dilakukan secara terang-terangan oleh aktor politik dan institusi kekuasaan.

Pemilu 2017 di DKI Jakarta adalah contoh paling vulgar di mana identitas agama digunakan sebagai senjata kampanye, bukan hanya untuk memenangkan suara, tetapi untuk mendefinisikan siapa yang berhak dan tidak berhak memimpin negeri ini.

Laporan The Indonesian Survey Institute (LSI) tahun 2022 menunjukkan bahwa 38,6% responden menyatakan tidak bersedia dipimpin oleh pemimpin yang berbeda agama. Ini bukan angka biasa, ini adalah manifestasi dari bagaimana wacana intoleran yang diproduksi oleh elite politik telah meracuni akar rumput. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga mencatat bahwa dalam dua dekade terakhir, tren penolakan terhadap minoritas yang ingin membangun rumah ibadah meningkat, dengan justifikasi yang dilandasi ketakutan kolektif yang dibentuk secara sistematis, bukan realitas objektif.

Dalam politik elektoral, agama tidak lagi menjadi sumber nilai, tetapi instrumen mobilisasi massa yang dipolitisasi untuk menciptakan identitas kolektif yang eksklusif, menyingkirkan yang berbeda, dan menebar ketakutan berbasis mitos mayoritas. Ironisnya, aktor-aktor politik yang memainkan kartu identitas ini sering tampil sebagai pembela moralitas publik, padahal merekalah yang memecah belah kesatuan sosial dengan narasi “kami versus mereka”.

Membiarkan agama dijadikan alat transaksional politik adalah bentuk penghinaan terhadap nilai spiritualitas itu sendiri. Agama, sebagaimana identitas etnis dan budaya, seharusnya menjadi perekat, bukan penggalah perpecahan. Bila bangsa ini ingin sehat secara sosial, maka kita harus menolak eksploitasi identitas dalam politik. Bukan karena kita anti agama, tetapi karena kita menjunjung tinggi martabatnya.

Media Sosial sebagai Katalis Polarisasi

Media sosial, yang pada mulanya dijanjikan sebagai ruang demokratis untuk menyuarakan aspirasi dan menyatukan perbedaan, justru kini menjelma menjadi medan tempur digital yang memperuncing jurang polarisasi sosial. Dalam ruang maya yang bergerak cepat dan tidak terkendali, algoritma bekerja bukan untuk membangun pemahaman bersama, melainkan untuk memperkuat gema kelompok, mempersempit perspektif, dan menanamkan keyakinan bahwa kebenaran hanya milik satu pihak. Fenomena ini dikenal sebagai echo chamber, di mana individu hanya terpapar pada informasi yang mengonfirmasi prasangka mereka sendiri, dan secara aktif menjauhi narasi yang berbeda. Akibatnya, dialog lintas identitas menjadi mustahil, dan perbedaan pandangan bukan lagi dianggap sebagai wajar, melainkan ancaman.

Menurut Digital Civility Index yang dirilis Microsoft tahun 2021, Indonesia menempati peringkat ke-29 dari 32 negara dalam tingkat kesopanan digital. Dimana ini bukan sekadar statistik muram, ini merupakan peringatan bahwa ruang digital kita tengah menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian, disinformasi, dan pelabelan sosial yang membahayakan kohesi bangsa. Laporan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) juga mencatat bahwa 57% hoaks sepanjang tahun 2023 berkaitan dengan isu SARA dan politik identitas. Artinya, media sosial bukan hanya mencerminkan kondisi sosial yang terpolarisasi, tetapi secara aktif memperburuknya.

Lebih parah lagi, narasi-narasi kebencian yang dibungkus dalam bentuk meme, video pendek, dan unggahan viral tidak hanya diproduksi oleh aktor anonim, tetapi sering kali disebarluaskan oleh figur publik dan tokoh agama yang seharusnya menjadi penjaga etika publik. Ketika batas antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian dibiarkan kabur, maka yang lahir bukanlah demokrasi yang sehat, melainkan populisme murahan yang bersandar pada kemarahan dan disinformasi.

Sudah saatnya kita membongkar mitos bahwa media sosial adalah cermin netral masyarakat. Ia bukan hanya cermin, ia adalah pengeras suara, dan jika disalahgunakan, yang dapat menjadi alat legitimasi bagi kekerasan simbolik. Membela keberagaman hari ini berarti juga berani menantang algoritma. Sebab dalam dunia digital, diam bukan lagi pilihan, diam merupakan bentuk persetujuan yang tidak bersuara terhadap intoleransi.

Di tengah derasnya arus intoleransi dan polarisasi sosial, kita tidak dapat menutup mata terhadap salah satu penyebab paling fundamental dari keterpecahan ini, dimana absennya kepemimpinan yang benar-benar inklusif. Ketika para pemimpin politik, tokoh masyarakat, hingga pemuka agama lebih sibuk membangun basis loyalitas sektarian daripada memperjuangkan kesatuan, maka ruang-ruang publik kita kehilangan arah.

Kepemimpinan sejati tidak hanya diukur dari retorika populis di atas panggung kampanye, tetapi dari keberanian untuk berdiri di tengah, melawan arus kebencian, dan melindungi semua warga, terutama yang minoritas, yang terpinggirkan, dan yang tidak bersuara.

Sayangnya, Setara Institute dalam Indeks Kota Toleran 2023 mencatat bahwa masih banyak kepala daerah yang gagal menciptakan kebijakan yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Banyak dari mereka justru cenderung abai, atau bahkan menggunakan isu agama sebagai komoditas politik untuk mempertahankan kekuasaan yang mencerminkan bahwa toleransi belum menjadi visi kepemimpinan, melainkan jargon sesaat yang mudah ditinggalkan setelah pemilu usai.

Lebih menyedihkan lagi, banyak tokoh yang seharusnya menjadi juru damai justru menjadi penyebar diksi-diksi eksklusif yang menyulut segregasi sosial. Alih-alih merawat keberagaman, mereka memperkuat dikotomi mayoritas-minoritas yang menciptakan mentalitas “kami versus mereka.” Kepemimpinan seperti ini tidak hanya gagal secara moral, tetapi juga secara struktural memperparah luka sosial yang tidak kunjung sembuh.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin yang populer. Kita memerlukan pemimpin yang berpihak pada keadilan, berani menyuarakan moderasi di tengah ekstremisme, dan hadir bukan hanya untuk golongannya, tetapi untuk seluruh rakyat. Kepemimpinan inklusif bukan utopia, ia merupakan kebutuhan mendesak di tengah bangsa yang tengah diambang fragmentasi.

Bila kita ingin keluar dari siklus perpecahan ini, maka pembaruan harus dimulai dari atas, karena di tangan pemimpinlah, narasi keberagaman dapat ditanamkan sebagai kekuatan, bukan ancaman. Dan dari sanalah, harapan akan Indonesia yang benar-benar adil dan inklusif dapat tumbuh.

Intoleransi dan polarisasi sosial bukan sekadar gejala, melainkan konsekuensi dari pembiaran kolektif terhadap narasi-narasi eksklusif yang dibiarkan tumbuh subur dalam ruang publik, disebarkan melalui politik identitas, didorong oleh algoritma digital, dan dilegitimasi oleh kepemimpinan yang minim keberanian moral.

Dalam Laporan World Values Survey 2022, Indonesia mencatat peningkatan ketidakpercayaan terhadap kelompok berbeda agama dan etnis sebesar 14% dibanding lima tahun sebelumnya. Dimana itu bukan angka yang berdiri sendiri, itu merupakan cerminan dari luka sosial yang kita biarkan membusuk.

Ketika ujaran kebencian dinormalisasi, agama dipolitisasi, dan media sosial dibiarkan menjadi ruang polarisasi tanpa kontrol, maka kita tidak hanya sedang kehilangan rasa hormat atas perbedaan, kita sedang menghancurkan fondasi bangsa yang dibangun di atas semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Namun masih ada harapan, dan harapan tersebut ada pada keberanian bersuara. Kita tidak dapat terus berharap pada negara bila masyarakat sendiri memilih diam. Keberagaman bukan masalah yang harus ditoleransi, melainkan kekayaan yang harus dilindungi. Oleh karena itu, jikalau kita ingin menyelamatkan republik ini dari perpecahan yang sunyi, mari mulai dengan hal paling radikal, yakni menolak untuk ikut membenci. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *