DPR Perlu Segera Membuat Undang-Undang Khusus Soal Amnesti dan Abolisi

Oleh: Dr Siprianus Edi Hardum SH, Advokat dan Dosen FH Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta

beritabernas.com – Sejak Kamis, 31 Juli 2025, media massa dan media sosial di Indonesia ramai dengan berita Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi  kepada mantan Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti terhadap Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Selain kepada Hasto Kristiyanto, Presien Prabowo Subianto yang mantan menantu Presiden Soeharto (almarhum) ini juga memberikan amnesti kepada 1.115 orang yang telah terpidana (napi).

Abolisi merupakan hak prerogatif dan kewenangan konstitusional Presiden untuk menghapuskan seluruh akibat hukum dari putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, termasuk melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.

Sementara amnesti adalah hak prerogatif Presiden berupa pencabutan semua akibat hukum pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang atas tindak pidana tertentu, yang diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Dasar hukum

Presiden memberikan abolisi dan amnesti kepada orang yang terjerat hukum merupakan amanat Konstitusi (UUD 1945). Pasal 14 UUD 1945 sebelum diamendemen berbunyi, Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Pasal yang sama setelah diamendemen terdiri dari dua ayat, dimana ayat 2 berbunyi, Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Peraturan pelaksana dari UUD 1945 adalah undang-undang. Undang-undang yang soal pemberian amnesti dan abolisi adalah UU Darurat RI Nomor 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

Menurut saya, undang-undang ini bukan pelaksana dari Pasal 14 UUD 1945 karena dalam poin pertimbangan undang-undang ini menyatakan bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 107 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia dan untuk menyesuaikan penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1949 tentang pemberian amnesti dengan ketentuan tersebut perlu diadakan peraturan tentang amnesti dan abolisi. Kita tahu bahwa UUDS sudah tidak berlaku. Seharusnya UU Nomor 11 tahun 1954 juga tidak berlaku.

BACA JUGA:

Pasal 1 UU Nomor 11 Tahun 1954 menyatakan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Sementara Pasal 14 ayat 2 UUD 1945  berbunyi, Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Jadi sungguh beda.

Amnesti dikapitalkan?

Saya pribadi tidak terlalu menyoroti pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong. Yang saya sorot adalah pemberian amnesti kepada sebanyak 1.116 napi.

Dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia, Presiden sebagai Kepala Negara memberikan abolisi dan amnesti umumnya kepada pelaku tindak pidana politik. Tindak pidana politik adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kegiatan politik, baik yang ditujukan terhadap negara, lembaga negara maupun hak-hak warga negara yang bersumber dari negara. Tindak pidana ini seringkali melibatkan penggunaan kekuasaan, hukum dan politik dalam suatu negara.

Sejumlah orang yang telah mendapat amnesti sepanjang sejarah Indonesia, pertama, zaman Presiden Soekarno. Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 330 tahun 1959 memberikan amnesti kepada orang-orang yang terlibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Mereka dinilai insyaf dan ingin kembali ke NKRI.

Kedua, zaman Presiden Soeharto. Melalui Keppres No 63 tahun 1977, Soeharto memberikan amnesti dan abolisi pada pengikut gerakan Fretilin di Timor Timur di dalam dan luar. Amnesti diberikan untuk melancarkan pembangunan Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur.

Ketiga, zaman Presiden Baharudin Jusuf Habibie. Melalui Keppres No 80 Tahun 1998, beliau memberikan amnesti kepada aktivis Pro Demokrasi Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan yang ditahan karena kritik keras terhadap pemerintah Orde Baru. Keempat, zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur yang memberikan amnesti pada Budiman Sudjatmiko pada 10 Desember 1999. Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan ini sebelumnya dipenjara saat Orde Baru karena dinilai sebagai dalam kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.

Kelima, zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, guru SMAN 7 Mataram, NTB pada 2019. Baiq Nuil sebelumnya divonis melanggar UU ITE pada tingkat kasasi lantaran merekam aksi pelaku pelecehan seksual terhadap dirinya yang merupakan korban. Peninjauan kembali (PK) kasus pelecehan seksualnya ditolak Mahkamah Agung hingga harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.

Menurut penulis, pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong sudah tepat, karena keduanya kasus politik dan sudah sangat jelas mereka dikriminalisasi.

Lalu siapa-siapakah 1.116 napi yang mendapat amnesti bersama Hasto? Mengapa mereka diberi amnesti? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijelaskan secara terbuka oleh pemerintahan Prabowo. Saya sebagai warga negara menduga pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong hanya untuk menutupi agenda tersembunyi pemberian amnesti kepada 1.116 napi lainnya.

Pemberian amnesti untuk ribuan napi ini sudah didengar penulis sekitar sejak bulan April 2025. Berdasarkan informasi yang diterima penulis, pemberian amnesti ini lebih banyak kepada napi narkoba. Kalau ini benar, maka betapa malangnya bangsa dan negara ini dari serangan pengedar narkoba.

Salah satu tantangan negara Indonesia adalah peredaran narkoba yang massif selain korupsi, dan radikalisme agama. Peredaran narkoba akan terus merajalela dengan adanya kebijakan pemerintah, (1) memberikan amnesti kepada napi narkona, (2) tidak menghukum para artis yang mengkonsumsi narkoba. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian pengendali peredaran narkoba berasal dari napi dalam Lapas dan Rutan. Napi-napi narkoba umumnya “mensejahterakan” “oknum-oknum” petugas Lapas.

Dengan adanya informasi maladministrasi di banyak Rutan dan Lembaga Pemasyarakat (Lapas) seperti jual beli kamar, jual beli remisi, dan lain-lain, maka saya menduga pemberian amnesti kepada 1.116 napi karena ada imbalan uang untuk pihak tertentu.

Peran DPR

Begitu banyaknya napi mendapat amnesti dari Presiden Prabowo, penulis menduga DPR RI sama sekali tidak memberikan pertimbangan kepada Presiden. Pertimbangan tentu maksudnya adalah apa alasan seorang napi mendapat amnesti dan mengapa sampai jumlahnya ribuan. Dalam konteks ini DPR hanya berfungsi sebagai rubber stump (stempel belaka). Alasan pemberian abolisi dan amnesti harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Pemberian amnesti kepada begitu banyak napi akan menjadi preseden buruk ke dapan. Dampak buruknya adalah tujuan penegakan hukum yakni tegaknya kepastian hukum, asas kepastian hukum dan asas keadilan tidak akan tercapai.

Padahal sistem peradilan pidana yakni penyelidikan/penyidikan (polisi), penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan dan vonis hakim (pengadilan) serta lembaga pemasyarakatan (penjalanan hukuman). Dengan adanya pemberian abolisi dan amnesti tanpa melalui kajian dengan memperhatikan tujuan penegakan hukum dan sistem peradilan pidana, maka keberadaan Indonesia sebagai negara hukum akan menjadi lemah.

Bentuk Undang-Undang Khusus

Indonesia adalah negara demokrasi yaitu demokrasi Pancasila. Ada empat pilar dalam negara demokrasi Pancasila sebagaimana negara demokrasi lainnya, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif serta pers. Salah satu ciri negara demokrasi adalah tegaknya hukum.

Tegaknya hukum di Indonesia dijalankan kekuasaan yudikatif yang disebut kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman ini berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kebijakan Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada 1.116 napi merupakan kebijakan yang harus dievaluasi DPR dan masyarakat Indonesia. Kalau memberikan amnesti dan abolisi tanpa melalui kajian berdasarkan aturan yang jelas, maka keberadaan lembaga yudikatif di bawah MA menjadi lemah, karena tujuan pemidanaan tidak tercapai.

Secara hukum tujuan pemidanaan adalah untuk membuat manusia jahat menjadi baik melalui proses dan pendidikan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Alasan pemerintah memberikan amnesti kepada 1.116 napi karena lapas over kapasitas sungguh alasan yang lemah secara hukum. Kalau benar over kapasitas, mengapa pemerintah tidak membangun lapas-lapas yang baru? Ini demi tercapainya masyarakat Indonesia yang taat hukum, masyarakat yang civilized (beradab).

Untuk mencegah Presiden memberikan amnesti dan abolisi tanpa kajian yang mendalam ke depan, pembuat Undang-Undang, dalam hal ini DPR, segera membuat Undang-Undang Khusus soal Amnesti dan Abolisi. Yang perlu diatur dalam UU tentang Amnesti dan Abolisi antara lain syarat-syarat seseorang mendapatkan amnesti dan abolisi, pelaku korupsi, narkoba, terorisme jangan diberi amnesti dan abolisi.

Apalagi keberadaan UU Nomor 11 tahun 1954 bukanlah pelaksana dari Pasal 14 UUD 1945, sebab UU Nomor 11 tahun 1954 merupakan pelaksana dari UUDS yang tidak berlaku lagi sebagai Konstitusi RI. Selain itu, ketentuan UU tersebut sangat tidak memadai mengatur soal amnesti dan abolisi. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *