Oleh: Laurensius Ndunggoma, Koordinator PMKRI Komisariat Kampus “STPMD”APMD Yogyakarta
beritabernas.com – Pendidikan adalah fondasi utama pembangunan manusia, khususnya bagi masyarakat yang selama ini menghadapi ketimpangan struktural, seperti Orang Asli Papua (OAP). Melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus), pemerintah pusat menyalurkan dana signifikan untuk menjamin hak dasar OAP, termasuk akses pendidikan.
Dana Otsus bukan sekadar bantuan atau belas kasihan, melainkan instrumen afirmasi untuk menutup kesenjangan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan menyiapkan generasi muda Papua agar mampu berkontribusi secara aktif dalam pembangunan daerah.
Bagi daerah Papua Selatan, dana ini strategis untuk membentuk sarjana-sarjana rakyat yang unggul secara akademik sekaligus berjiwa kritis, merakyat, dan berbudaya. Namun, harapan itu kini menghadapi kenyataan pahit. Di Yogyakarta, salah satu kota studi utama mahasiswa Papua Selatan, persoalan serius terkait pengelolaan beasiswa dan fasilitas asrama di kota studi Yogyakarta. Birokrasi yang tidak transparan, pengelolaan asrama yang rusak parah dan praktik intimidasi terhadap mahasiswa Papua Selatan yang berpikir kritis telah menciptakan iklim ketakutan yang mengancam dengan dalil jika Anda protes maka beasiswa ditahan. Pertanyaannya, tujuan mulia dana Otsus untuk siapa?
Konteks dana otsus dan hak OAP
Sebagian besar beasiswa dan mahasiswa Kabupaten Merauke di Yogyakarta maupun yang menempuh pendidikan di berbagai kota di Jawa dan Bali bersumber dari dana Otsus. Undang-Undang Otsus Papua menegaskan hak istimewa OAP untuk memperoleh pendidikan layak dan setara tanpa diskriminasi.
Namun, di tangan birokrasi yang salah urus, dana ini dijadikan alat kontrol sosial. Mahasiswa yang mengkritik kebijakan Kesra atau pengelolaan asrama kerap diancam dengan penundaan atau penghentian beasiswa, termasuk mereka yang berprestasi tinggi. Praktik ini jelas bertentangan dengan tujuan Otsus dan mengkhianati amanat moral serta hukum yang mengatur penggunaannya. Dana yang semestinya memerdekakan mahasiswa Papua Selatan justru digunakan untuk membungkam suara mahasiswa.
BACA JUGA:
- Pemkab Merauke Harus Transparan dan Tata Ulang Pengelolaan Asrama Putri di Yogyakarta
- Dua Model Pendekatan Ini Dilakukan Pemerintah dalam Membangun Tanah Papua
- Suara Kecil Anak Pedalaman Air Upas, Refleksi Menuju 80 Tahun Kemerdekaan RI
Asrama mahasiswa seharusnya menjadi tempat kedua bagi para perantau, ruang yang aman dan nyaman untuk belajar, bersosialisasi, dan membangun jaringan. Namun, Asrama Putri Mahasiswi Kabupaten Merauke di Yogyakarta saat ini menghadapi krisis serius. Pengelolaannya mendapat sorotan karena dugaan ketidaktransparanan dalam pemanfaatan dana dari SK Kabupaten Merauke, minimnya laporan pertanggungjawaban, serta pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beberapa pihak tanpa melibatkan seluruh penghuni.
Lebih parah, pengurus asrama, termasuk ketua dan bendahara, berada di bawah tekanan dari Kesra Kabupaten Merauke. Ketika penghuni meminta penjelasan mengenai isi SK, cap asrama, atau akses ke rekening asrama, mereka tudak memberikan keterangan yang jelas.
Bahkan saat diminta melihat rekening asrama, yang diberikan hanya lembar rekening koran dengan saldo sekitar satu juta rupiah, tanpa penjelasan penggunaan dana lebih lanjut. Kondisi ini menimbulkan ketidakpercayaan dan tekanan tambahan bagi mahasiswa, yang merasa hak mereka dibatasi dan kebebasan berekspresi terancam.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa mahasiswa yang vokal dalam forum penghuni atau mengkritik pengelola asrama mengalami trauma psikologis dan enggan menyampaikan keluhan karena takut beasiswa mereka akan terancam. Akibatnya, banyak penghuni memilih diam meskipun kebijakan yang diterapkan jelas merugikan mereka.
Lingkungan yang seharusnya mendukung pertumbuhan akademik dan sosial mahasiswa berubah menjadi ruang yang membatasi kebebasan berekspresi. Kasus ini menjadi peringatan penting: tanpa transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak dasar mahasiswa, fasilitas pendidikan seperti asrama berisiko menjadi alat kontrol yang mengekang, bukan sarana pemberdayaan bagi perantau dari Merauke.
Pemerintah daerah, pengelola asrama, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab untuk memastikan asrama menjadi ruang yang aman, nyaman, dan bebas bagi mahasiswa untuk belajar, berkumpul, dan berkembang.
Dampak sosial dan akademik
Situasi ini menimbulkan dampak berlapis. Erosi kebebasan berpendapat. Mahasiswa yang menerima beasiswa takut menyuarakan pendapat karena dampak finansial, sehingga ruang kritik sehat hilang dari mereka.
Kemunduran peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Ancaman kehilangan beasiswa melemahkan peran mahasiswa dalam mengawal demokrasi.Penyalahgunaan kekuasaan birokrasi – Dana publik dijadikan alat kontrol, bertentangan dengan prinsip good governance.
Mahasiwa yang prestasi akademik mengalami tekanan psikologis karena ketidakpastian finansial yang mengganggu konsentrasi belajar, bahkan berisiko putus studi karena nilai maupun kritik biokrasi pemerinta.h. Akhirnya beasiswa yang seharusnya bayar untuk kebutuhan perbulan diputuskan.
Praktik ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat.
Oleh karena itu, tindakan yang membatasi hak mahasiswa untuk menyampaikan kritik atau aspirasi terkait kebijakan birokrasi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan hak mahasiswa untuk mendapatkan pembiayaan pendidikan, termasuk melalui beasiswa atau bantuan finansial lainnya. Apabila hak ini dimanfaatkan sebagai alat untuk menekan mahasiswa agar tidak bersuara, hal itu tidak hanya melanggar prinsip keadilan dalam pendidikan, tetapi juga merampas hak mahasiswa secara langsung.
UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak pendidikan. Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk menekan mahasiswa, khususnya Orang Asli Papua, jelas bertentangan dengan semangat hukum tersebut. Sebenarnya, Otsus seharusnya berfungsi untuk melindungi, memberdayakan, dan memperluas kesempatan bagi OAP, bukan dijadikan instrumen kontrol birokrasi yang membatasi kebebasan akademik.
Lebih lanjut, penyalahgunaan dana Otsus menimbulkan dampak ganda: mahasiswa kehilangan ruang untuk mengkritik birokrasi yang tidak transparan, sementara tujuan utama Otsus untuk pemberdayaan OAP justru tereduksi menjadi alat politik atau kontrol administratif. Situasi ini menciptakan ketidakadilan struktural, membatasi partisipasi mahasiswa dalam pengawasan publik, dan merusak prinsip demokrasi serta hak asasi yang seharusnya dijunjung negara.
Dengan demikian, penyalahgunaan wewenang birokrasi melalui dana Otsus tidak hanya menyalahi hukum positif, tetapi juga merusak fungsi pendidikan sebagai sarana pembentukan warga negara yang kritis, mandiri, dan berdaya. Mahasiswa Papua Selatan yang berada di kota studi pun secara sistemik kehilangan ruang untuk bersuara, sehingga demokrasi lokal dan aspirasi OAP menjadi terancam.
Fenomena ini muncul karena beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, birokrasi yang tidak transparan membuat mahasiswa sulit mengetahui mekanisme pencairan dan penggunaan dana. Kurangnya keterbukaan ini menimbulkan ketidakpastian dan rasa takut bagi mahasiswa untuk menyuarakan keluhan mereka.
Kedua, ketergantungan finansial mahasiswa menjadi faktor penting. Mayoritas penerima beasiswa sangat bergantung pada dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini membuat mahasiswa merasa terpaksa menahan diri agar tidak mengkritik birokrasi, karena takut hak finansial mereka terancam.
Ketiga, minimnya mekanisme pengawasan memperburuk situasi. Tidak adanya lembaga independen yang memantau penyaluran dan pemanfaatan beasiswa dari Kabupaten Merauke membuat potensi penyalahgunaan semakin besar.
Keempat, budaya feodalisme birokrasi masih mengakar. Masih ada pandangan bahwa bantuan pemerintah adalah kemurahan hati, bukan hak yang harus diterima secara adil. Padahal, Dana Otsus merupakan amanat penting untuk masa depan orang Papua. Seharusnya, dana ini digunakan untuk memberdayakan, bukan untuk menegakkan pola penindasan baru.
Beasiswa bagi mahasiswa Papua Selatan dan pengelolaan asrama seharusnya menjadi ruang berkumpul dan tempat belajar yang mendukung kebebasan akademik, bukan ruang intimidasi. Kasus yang terjadi di Yogyakarta menunjukkan bahwa tanpa transparansi, akuntabilitas, dan kesadaran akan hak-hak dasar mahasiswa Papua Selatan, tujuan Otsus akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Merauke, birokrat, mahasiswa, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan setiap rupiah Dana Otsus menjadi investasi nyata bagi generasi Papua Selatan yang kritis, berani bersuara, dan siap membangun tanah kelahirannya. Dengan demikian, Otsus dapat benar-benar menjadi sarana pemberdayaan, bukan alat penindasan. (*)
There is no ads to display, Please add some