beritabernas.com – Komunikasi publik berperan sentral dalam mitigasi risiko, membangun kepercayaan masyarakat dan mendorong perubahan perilaku di tengah situasi darurat kesehatan. Bahkan komunikasi publik merupakan salah satu dimensi kunci dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Komunikasi krisis yang efektif memastikan pesan yang akurat, tepat waktu dan konsisten tersampaikan kepada publik, sehingga mengurangi ketidakpastian dan mencegah krisis komunikasi yang menyertai
krisis kesehatan,” kata Prof Dr Subhan Afifi S.Sos MSi, Guru Besar Ilmu Komunikasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, dalam pidato pengukuhan Profesor pada Rapat Tebuka Senat UII di Auditorium KH Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Rabu 14 Agustus 2025.
Selain Prof Subhan, pada waktu dan di tempat yang sama, Prof Ir Sholeh Ma’mun ST MT PhD, Profesor bidang Ilmu Rekayasa Reaksi Kimia Heterogen, FTI UII, juga menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Teknologi Tangkap-Guna-Simpan Karbon: Pilar Strategis Menuju Indonesia Netral Karbon.
Dalam pidato pengukuhan berjudul Komunikasi Publik Bidang Kesehatan: Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital, Prof Subhan Afifi, mengatakan, dinamika pengelolaan komunikasi publik di masa krisis terutama selama pandemi Covid-19 di Indonesia menjadi perhatian para peneliti.
LP3ES (2020) mencatat adanya 37 pernyataan menyesatkan atau kontradiktif pada fase awal pandemi, yang berdampak pada erosi kepercayaan masyarakat. Kebijakan komunikasi Covid-19 di Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh pertimbangan politik dan ekonomi.

Mengutip Masduki (2020), Prof Subhan menyebutkan bahwa kepentingan stabilitas politik dan pasar menjadi pertimbangan utama yangmengabaikan peringatan publik. Sementara analisis sentimen media sosial (Fahmi, 2020) menunjukkan bahwa rasa percaya publik lebih dominan dari pada rasa takut pada periode awal, meski ketidakkonsistenan pesan kemudian memengaruhi persepsi publik secara negatif.
Menurut Prof Subhan, fase pra-krisis (Januari–Februari 2020) menunjukkan adanya kesenjangan narasi yang signifikan. Sejumlah pernyataan pejabat publik justru meremehkan ancaman Covid-19, misalnya, “tidak perlu panik” dan “Indonesia bebas dari virus corona”, ternyata bertolak belakang dengan situasi di negara tetangga.
“Ketika krisis memburuk, pemerintah mengadopsi strategi narasi tunggal dengan pesan seperti menjaga jarak, memakai masker dan tetap di rumah. Namun, implementasinya diwarnai inkonsistensi: data yang saling bertentangan, perdebatan terbuka antarpejabat, keterbatasan transparansi, dan pengabaian terhadap kritik publik,” kata Prof Subhan.
Secara keseluruhan, menurut Prof Subhan, kajian empiris yang di lakukan menegaskan bahwa efektivitas komunikasi kesehatan di era digital memerlukan sinergi antara data riset, adaptasi budaya dan inovasi
teknologi komunikasi.
Lanskap penelitian ini tidak hanya relevan untuk situasi krisis seperti pandemi, tetapi juga memberikan dasar yang kuat bagi pengembangan strategi komunikasi kesehatan di masa depan, khususnya di negara berkembang yang menghadapi tantangan kesehatan publik jangka panjang.
Sintesis berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa komunikasi kesehatan di Indonesia memerlukan transformasi strategis yang menggabungkan pendekatan partisipatif, berbasis bukti, dan memanfaatkan ekosistem digital secara optimal. Media sosial telah menjadi kanal utama bagi publik untuk memperoleh
informasi kesehatan, mulai dari isu stunting, kesehatan reproduksi generasi muda, hingga pencegahan penyakit menular seperti Covid-19.
Baca juga:
- Selain Data, Peran Manusia yang Kapabel dan Berintegritas Sangat Menentukan dalam Pengambilan Keputusan
- Sri Kusumadewi, Perempuan Pertama jadi Guru Besar Prodi Informatika Program Magister, FTI UII
Namun, dominasi media ini juga membuka celah penyebaran informasi yang keliru, sehingga diperlukan kurasi konten yang ketat, penyusunan pesan yang sesuai karakter audiens, serta mekanisme mitigasi disinformasi yang berkesinambungan.
Model perilaku yang diteliti pada berbagai konteks memperlihatkan bahwa sikap terhadap informasi, persepsi manfaat, kepercayaan pada sumber, dan norma sosial menjadi pendorong utama adopsi perilaku sehat. Temuan ini menegaskan bahwa kebijakan komunikasi kesehatan harus mengintegrasikan
behavioral insights dalam desain pesan, sehingga tidak sekadar informatif tetapi mampu membentuk keyakinan dan memotivasi tindakan.
“Dalam konteks layanan kesehatan digital, kualitas interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien, mutu layanan, serta pengalaman pengguna menjadi penentu kepuasan dan kepercayaan publik. Artinya, perkembangan teknologi harus diiringi standarisasi komunikasi profesional di platform daring, dengan
menjaga sentuhan humanis yang memanusiakan pasien,” kata Prof Subhan Afifi. (lip)
There is no ads to display, Please add some