Oleh: Ishaq A Rumakway, Mahasiswa FH. UNUSIA Jakarta
beritabernas.com – Skandal kenaikan gaji DPR memicu respon publik dengan hestec pembubaran DPR bisakah DPR dibubarkan di negara yang menganut sistem demokrasi?
Indonesia sebagai negara hukum sudah pasti semua praktek politik diatur di dalam konstitusi. Begitu juga tentang wacana pembubaran DPR. Apabila hukum adalah panglima tertinggi, maka siapakah rajanya?
Pertanyaan ini menjadi relevan ketika wacana mengenai pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyeruak di tengah publik. Wacana ini bukan muncul tanpa sebab. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, namun semakin hari justru tampak lebih sibuk mengurus kepentingan dirinya sendiri.
Krisis kepercayaan terhadap DPR bukanlah isu baru. Data tentang tingginya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif, minimnya transparansi dalam proses legislasi dan lahirnya undang-undang yang sering kali kontroversial memperburuk citra lembaga ini. Bahkan, dalam situasi ekonomi rakyat yang sulit, ketika harga-harga kebutuhan pokok terus melambung dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor, publik justru dikejutkan oleh kabar usulan kenaikan tunjangan DPR hingga Rp 50 juta per bulan. Keputusan yang terasa ironis, ketika rakyat diminta berhemat, wakil rakyat justru menambah kenyamanan hidupnya.
Sejarah pembubaran DPR
Jika kita meninjau ke belakang, wacana pembubaran DPR sejatinya bukan hal yang tabu dalam sejarah Indonesia. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, pernah mengambil langkah berani ketika melihat DPR gagal menjalankan tugasnya. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang dinilai buntu dalam menyusun konstitusi baru.
Baca juga:
- DPR Perlu Segera Membuat Undang-Undang Khusus Soal Amnesti dan Abolisi
- Ketika Birokrasi Melucuti Hak-hak Adat, Krisis Identitas pun Terjadi di Papua Selatan
- Bendera One Piece, Simbol Ekspresi Rakyat
Kemudian, pada 5 Maret 1960, Soekarno kembali mengeluarkan kebijakan ekstrem dengan membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 melalui Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 1960. Alasannya jelas: DPR menolak sebagian besar anggaran yang diajukannya, hanya menyetujui Rp 36 miliar dari Rp 44 miliar yang diajukan pemerintah. Dalam pandangan Soekarno, DPR saat itu tidak lagi sejalan dengan visi pembangunan bangsa, sehingga dibubarkan.
Hal yang hampir serupa dilakukan oleh Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi tiga poin penting: membekukan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan kepada rakyat melalui penyelenggaraan pemilu dalam waktu setahun dan membekukan Partai Golkar yang dianggap sebagai hambatan reformasi.
Walaupun dekrit tersebut akhirnya tidak berlaku karena MPR mengadakan sidang istimewa, langkah Gus Dur menunjukkan bahwa pembubaran lembaga legislatif bukanlah sesuatu yang asing dalam perjalanan politik Indonesia.
Konstitusi dan batasan kekuasaan
Namun, situasi kini berbeda. Setelah empat kali amandemen UUD 1945, posisi DPR semakin kokoh dalam sistem ketatanegaraan kita. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”, artinya semua tindakan harus melalui jalur hukum. Lebih tegas lagi, Pasal 7C menyebutkan bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Artinya, secara konstitusional, DPR kini kebal dari intervensi presiden.
Dalam bingkai teori politik Montesquieu tentang Trias Politica, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya untuk mencegah terjadinya kekuasaan absolut. DPR sebagai cabang legislatif memiliki kedudukan setara dengan presiden, bukan di bawah presiden. Dengan demikian, jalan pembubaran DPR melalui dekrit presiden seperti era Soekarno atau Gus Dur kini sudah tertutup.
Lalu, siapa yang Bisa Membubarkan DPR? Pertanyaan mendasar ini membawa kita pada dua kemungkinan. Pertama, pembubaran DPR hanya mungkin terjadi jika ada amandemen konstitusi baru yang membuka peluang untuk itu. Dengan kata lain, jalurnya adalah jalur hukum dan politik formal melalui perubahan UUD 1945.
Kedua, pembubaran DPR bisa saja terjadi melalui jalan politik rakyat. Sejarah dunia membuktikan, ketika rakyat kehilangan kepercayaan kepada lembaga politik, aksi massa besar-besaran dapat menjadi pemicu perubahan drastis, bahkan menggulingkan institusi negara. Prinsip Vox Populi Vox Dei-suara rakyat adalah suara Tuhan-menjadi dasar moral yang mengingatkan bahwa legitimasi kekuasaan sejatinya berasal dari rakyat. Jika DPR benar-benar kehilangan legitimasinya, maka rakyatlah yang berhak “membubarkan” DPR, setidaknya dalam arti sosial dan politik.
Jika hukum adalah panglima tertinggi, maka rakyatlah rajanya. Sebab, hukum dibuat untuk mengatur rakyat, tetapi juga lahir dari kehendak rakyat. Ketika hukum justru dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elit, maka rakyat berhak menuntut perbaikan, bahkan perubahan yang radikal sekalipun.
DPR yang sejatinya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat bisa saja berubah menjadi Dewan Perampok Rakyat bila lebih mementingkan kantong pribadi ketimbang kepentingan rakyat. Jika kondisi ini terus berlangsung, jika DPR semakin jauh dari aspirasi rakyat, maka tidak menutup kemungkinan legitimasi sosial dan politik mereka runtuh.
Sejarah mengajarkan, kekuasaan tanpa legitimasi akan tumbang. Pemerintahan tanpa kepercayaan rakyat tidak akan bertahan lama. Sama halnya dengan DPR: tanpa kepercayaan rakyat, lembaga ini akan menjadi sekadar gedung megah tanpa makna.
Hari ini, kita memang tidak bisa secara hukum membubarkan DPR. Tetapi kita harus ingat bahwa hukum hanyalah instrumen, sementara kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Bila DPR gagal mengemban amanah, maka rakyatlah yang berhak mengadili mereka.
Hastala Victoria Siempre, Porto u Muarte– berjuang terus menuju kemenangan Tanah Air, atau mati. Itulah semboyan yang patut kita pegang. Selama hukum adalah panglima, maka rakyat adalah rajanya. Dan raja berhak mengganti wakilnya yang berkhianat. (*)
There is no ads to display, Please add some