Politik Pengelolaan SDA di Papua Selatan, dari Food Estate, Ekspansi Perkebunan hingga Perampasan Ruang Hidup Rakyat

Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta asal Merauke dan Ketua PMKRI Komisariat STPMD “APMD”

beritabernas.com – Papua Selatan merupakan salah satu  provinsi baru di Papua hasil pemekaran yang resmi dibentuk pada 2022 melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 2022. Provinsi ini terdiri dari 4 kabupaten yakni Merauke, Mappi, Asmat dan Boven Digoel dengan luas sekitar 119.749 km² dan jumlah penduduk ±514 ribu jiwa (BPS, 2022).

Mayoritas penduduk adalah Orang Asli Papua (OAP) dari beragam suku, seperti Marind, Auyu, Asmat, dan Kombai, yang kehidupannya erat dengan tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya sebagai basis ekonomi, sosial dan spiritual bagi orang asli pribumi.

Namun secara geografis, provinsi ini memiliki lanskap khas berupa hutan hujan tropis, rawa gambut dan padang sabana yang luas di Merauke. Selain menyimpan keanekaragaman hayati tinggi, Papua Selatan juga menjadi pusat sumber daya strategis yang sejak awal 2000-an menarik banyak investasi nasional maupun global.

Salah satu yang paling menonjol hari ini adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada 2010 dengan rencana pengembangan lebih dari 1,2 juta hektar untuk pangan, energi dan perkebunan. Proyek ini juga didorong oleh agenda ketahanan pangan nasional dan penyediaan bahan baku energi terbarukan berbasis bioetanol, sehingga Papua Selatan dijadikan “jantung pembangunan pangan” Indonesia 20245 emas.

Namun, di balik narasi pembangunan ini, realitas di lapangan memperlihatkan tekanan besar terhadap ruang hidup masyarakat adat Papua Selatan. Ekspansi perkebunan sawit, perizinan tambang dan proyek pangan skala besar menyebabkan degradasi hutan. Data Forest Watch Indonesia (2021) menunjukkan bahwa Papua masih memiliki 33,7 juta hektar hutan alam (sekitar 38% dari total hutan Indonesia), tetapi dalam periode 2001–2019 telah hilang sekitar 750 ribu hektar, terutama di Merauke. Laporan Yayasan Pusaka (2020) juga mencatat bahwa lebih dari 80% tanah adat suku Marind telah masuk dalam peta konsesi perusahaan.

Baca juga:

Bagi masyarakat adat Papua, khususnya Marind, tanah dan hutan adalah sumber pangan, ruang hidup sekaligus bagian dari identitas kultural dan spiritual. Hilangnya hutan berarti hilangnya sumber kehidupan dan keterhubungan dengan leluhur. Kondisi ini juga menunjukkan relasi kuasa yang timpang di mana negara dan korporasi mengedepankan kepentingan pembangunan nasional, sementara masyarakat adat diposisikan sebagai objek pembangunan, khusunya di Papua Selatan.

Maka muncullah pertanyaan krusial: apakah pembangunan di Papua Selatan benar-benar menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal atau justru melegitimasi perampasan ruang hidup melalui kebijakan negara? Pertanyaan inilah yang selaluh muncul dalam benak saya selama ini dan menjadi pijakan untuk mengkaji politik pengelolaan sumber daya alam di Papua Selatan, khususnya terkait food estate, ekspansi perkebunan dan implikasinya terhadap hak-hak masyarakat adat Papua Selatan.

Food estate dan politik pangan nasional di Papua Selatan

Peluncuran Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada 2010 menandai fase baru dalam politik pangan di Papua Selatan. Program besar ini dirancang untuk memanfaatkan 1,2 juta hektare lahan di Kabupaten Merauke sebagai pusat produksi pangan dan energi nasional, dimana pemerintah memposisikan proyek ini sebagai strategi penting untuk menghadapi potensi krisis pangan global dengan dunia.

Namun, kondisi nyata di lapangan menunjukkan situasi yang lebih buruk. Hingga tahun 2025, lebih dari 109.000 hektare hutan telah dialihfungsikan untuk keperluan food estate, yang berdampak langsung pada kehidupan warga Papua Selatan sekitar 50.000 jiwa masyarakat adat Marind. Perubahan lahan secara masif ini tidak hanya mengubah ekosistem, tetapi juga merusak sumber pangan lokal seperti sagu, berburu, cari ikan di rawa yang selama ini menopang kehidupan masyarakat adat. Kehilangan akses terhadap sumber daya alam tradisional inipun mengancam kelestarian kearifan lokal sekaligus menimbulkan risiko sosial-ekonomi yang signifikan.

Kalau kita melihat dari perspektif politik pangan, MIFEE menunjukkan kontradiksi yang tajam. Di satu sisi, pemerintah menekankan pentingnya kedaulatan pangan sebagai prioritas nasional, sementara di sisi lain, penerapan agribisnis skala besar justru menimbulkan ketergantungan masyarakat pada sistem produksi pangan yang asing dan tidak sesuai dengan praktik lokal.

Sudah berpuluhan tahun hidup dengan pratik lokal ini pun memperkuat ketahanan pangan komunitas. Proyek ini menimbulkan kerentanan baru baik terhadap fluktuasi pasar maupun kerusakan lingkungan yang nanti pada akhirnya dapat merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama di Papua Selatan.

Dengan demikian, politik pangan di Papua Selatan tidak hanya terkait dengan produksi dan distribusi pangan, tetapi juga menyangkut kontrol atas ruang hidup, pengetahuan lokal dan hak-hak masyarakat adat. MIFEE mencerminkan kompleksitas hubungan antara pembangunan nasional dan hak-hak komunitas lokal, yang menuntut evaluasi kritis terhadap strategi pembangunan yang mengatasnamakan kedaulatan pangan.

Perluas perkebunan sawit dan tebu

Selain pengembangan food estate, Papua Selatan juga menjadi fokus perluasan perkebunan. Menurut data Kementerian ATR/BPN (2020), terdapat lebih dari 650 ribu hektare izin perkebunan sawit di Papua, dengan konsentrasi terbesar berada di Merauke dan Boven Digoel.

  • Boven Digoel (27.108 km²) memiliki konsesi sawit terbesar, lebih dari 300 ribu hektare, yang dikelola perusahaan-perusahaan besar dengan orientasi ekspor.
  • Mappi (23.797 km²) tercatat memiliki izin sawit sekitar 50 ribu hektare, terutama di wilayah rawa gambut.
  • Asmat (31.983 km²), meskipun izin sawit relatif terbatas, tetap menghadapi tekanan deforestasi yang mengancam hutan mangrove.
  • Merauke (46.791 km²) selain menjadi lokasi food estate, juga dialokasikan untuk perkebunan tebu berskala besar.

Perluasan sawit dan tebu ini menggambarkan bagaimana Papua Selatan dijadikan “laboratorium” bagi politik energi terbarukan nasional. Pemerintah menargetkan produksi bioetanol dan biodiesel sebagai bagian dari agenda transisi energi, namun di sisi lain membuka peluang eksploitasi baru yang menimbulkan kerugian bagi hutan dan masyarakat adat.

Papua merupakan benteng terakhir hutan tropis Indonesia, namun dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat deforestasinya terus meningkat. Menurut Global Forest Watch (2022), Papua rata-rata kehilangan 55 ribu hektare hutan per tahun akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan penebangan.

Di Papua Selatan, kerusakan hutan ini dipicu oleh beberapa faktor: proyek food estate di Merauke, perkebunan sawit di Boven Digoel, pembukaan lahan gambut di Mappi dan penebangan mangrove di pesisir Asmat. Dampaknya tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga memicu krisis iklim lokal, seperti banjir, kekeringan, kebakaran lahan gambut, dan menurunnya pasokan air bersih. Ekosistem yang selama ini menopang kehidupan masyarakat adat pun hancur secara sistematis.

Pengelolaan sumber daya alam di Papua Selatan juga dipengaruhi oleh kompleksitas tata kelola izin. Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus Papua (2001) dan pemekaran provinsi, kewenangan perizinan sering tumpang tindih antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Kondisi ini membuka peluang bagi korporasi untuk mempercepat izin konsesi, sementara mekanisme perlindungan hak adat berjalan lambat. Misalnya, pengakuan hutan adat baru mencakup ribuan hektare, jauh tertinggal dari jutaan hektare yang telah diberikan untuk investasi. Fenomena ini menunjukkan keberpihakan negara: pembangunan diprioritaskan untuk kepentingan korporasi, sedangkan hak adat sering diulur.

Bagi Orang Asli Papua (OAP), tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan spiritual. Hilangnya hutan dan lahan adat berarti hilangnya hubungan sosial, praktik ritual, dan pengetahuan lokal. Namun, hak-hak ini terus tergerus, banyak komunitas kehilangan akses tanah karena tumpang tindih dengan izin konsesi. Konflik agraria meningkat dan kerap diikuti kriminalisasi terhadap warga adat yang menolak proyek.

Dengan demikian, politik pengelolaan SDA di Papua Selatan tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga sosiokultural, merusak fondasi budaya OAP yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Pengelolaan SDA di Papua Selatan juga terkait dengan kekuasaan dan keamanan. Proyek besar sering disertai kehadiran aparat dengan dalih menjaga stabilitas, tetapi dalam praktiknya, aparat lebih sering melindungi kepentingan korporasi dibanding masyarakat. Hal ini melahirkan militerisasi pembangunan: pembangunan dilakukan bukan melalui partisipasi, melainkan tekanan keamanan. Warga yang menolak kerap dicap “anti-pembangunan” atau bahkan “separatis.” Politik SDA menjadi arena represi, bukan demokrasi.

Politik pengelolaan sumber daya alam di Papua Selatan menunjukkan paradoks besar. Food estate, ekspansi sawit, dan perkebunan tebu terus didorong atas nama pembangunan, tetapi hutan hilang, ekosistem rusak, masyarakat adat kehilangan ruang hidup, dan hak-hak OAP terpinggirkan.

Papua Selatan mencerminkan cara negara memandang tanah: bukan sebagai ruang hidup yang harus dijaga, tetapi sebagai komoditas yang harus dieksploitasi. Politik SDA di sini menegaskan dominasi korporasi dan negara atas masyarakat adat, dengan dampak ekologis dan kultural yang mendalam. Jika arah ini berlanjut, yang hilang bukan hanya hutan, tetapi juga masa depan budaya, identitas, dan keberlanjutan hidup Orang Asli Papua. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *