Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat

Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta dan Ketua PMKRI Komisariat STPMD “APMD” Yogyakarta

beritabernas.com – Tanah sebagai identitas, bukan komoditas. Bagi masyarakat adat Papua Selatan, tanah tidak pernah dimaknai sebatas sebidang ruang kosong yang bisa dipetak-petakkan atau diperdagangkan. Tanah adalah sumber kehidupan, jati diri dan warisan leluhur yang melekat erat dengan adat dan kebudayaan.

Dari tanah, masyarakat menggantungkan seluruh aspek keberlangsungan hidup: menanam pangan di kebun, mengelola hutan dengan kearifan lokal, mencari ikan di kali dan rawa, hingga menjaga ruang-ruang sakral yang diwariskan turun-temurun.di Papua Selatan

Lebih dari sekadar fungsi ekonomi, tanah bagi masyarakat adat merupakan ruang yang sakral. Dan menjadi tempat peristirahatan para leluhur, lokasi pelaksanaan ritus adat, dan pusat terjalinnya ikatan sosial antarwarga. Karena itu, setiap tindakan perampasan atau pengalihan hak atas tanah adat tidak semata berarti hilangnya sumber nafkah, melainkan juga pemutusan hubungan sejarah, memudarnya identitas dan tergerusnya kebudayaan yang telah dipelihara selama berabad-abad.di papua selatan

Namun realitas hari ini memperlihatkan hal yang berbeda. Dalam derasnya arus investasi skala besar, tanah adat di Papua Selatan harus dijual  dan semakin diperlakukan layaknya komoditas. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi garda depan pelindung hak masyarakat adat, justru tunduk pada kepentingan politik-ekonomi pusat, terutama Jakarta, yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi nasional. Akibatnya, banyak wilayah adat dilepaskan begitu saja untuk kepentingan perkebunan skala industri, proyek food estate maupun tambang mineral.

Proses pengalihan tanah itu pun berlangsung tanpa mekanisme konsultasi atau promosi yang layak dan bermakna dengan pemilik sahnya: masyarakat adat. Suara masyarakat yang menolak, mengingatkan, atau mempertahankan haknya kerap dianggap hambatan bagi pembangunan. Padahal, pembangunan yang mengabaikan hak dasar masyarakat adat justru menimbulkan konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan hilangnya kedaulatan budaya.

Baca juga:

Dalam konteks inilah, perlawanan masyarakat adat Papua Selatan terhadap praktik komodifikasi tanah harus dipahami sebagai upaya mempertahankan identitas dan eksistensi. Kita tidak sekadar menolak investasi, melainkan membela warisan leluhur dan hak hidup generasi masa depan. Tanah bagi masyarakat adat bukan untuk dijual, tetapi untuk dijaga, diwariskan, dan dirawat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita.

Jaminan konstitusi yang dilanggar

Ironisnya, pengabaian terhadap hak-hak adat justru terjadi di tengah jaminan konstitusi yang begitu tegas. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rumusan tersebut membawa dua makna penting. Pertama, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya bukan sekadar pilihan kebijakan yang bisa dinegosiasikan, melainkan kewajiban konstitusional negara. Kedua, selama masyarakat adat masih ada, menjalankan adat, dan mempertahankan tradisinya, maka hak-hak itu tetap sah dan mengikat secara hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar yang membenarkan negara untuk meniadakan atau menunda pengakuan tersebut.

Lebih jauh lagi, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Istilah “rakyat” dalam hal ini tentu tidak boleh menyingkirkan masyarakat adat, karena mereka merupakan bagian yang sah dan nyata dari bangsa Indonesia. Jika praktik pembangunan justru menyebabkan masyarakat adat semakin miskin, kehilangan tanah, serta tercerabut dari kebudayaannya, maka jelas negara telah gagal menjalankan amanat konstitusi.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengakuan hak ulayat. Dalam Pasal 3 ditegaskan: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.

Ketentuan ini secara jelas mengakui eksistensi hak ulayat masyarakat adat. Realitas di Papua Selatan menunjukkan bahwa masyarakat adat masih memelihara tanah dan hutan ulayat secara kolektif, diwariskan turun-temurun, serta dijaga sebagai bagian dari identitas kultural. Seharusnya, keberadaan hak tersebut menjadi pertimbangan utama sebelum pemerintah memberikan izin investasi kepada pihak manapun.

Namun kenyataannya, praktik di lapangan justru menunjukkan hal yang berlawanan. Pemerintah Papua Selatan berulang kali mengeluarkan izin usaha tanpa melibatkan pemilik hak ulayat, bahkan sering mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sah. Situasi ini mencerminkan pelanggaran nyata terhadap prinsip yang diatur dalam UUPA itu sendiri.

Sementara itu, Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 semakin menegaskan keberadaan dan pengakuan terhadap masyarakat adat. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa desa di Indonesia terdiri atas dua bentuk, yakni desa dan desa adat. Selanjutnya, Pasal 103 memberikan kewenangan khusus kepada desa adat, antara lain untuk: mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, melestarikan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat adat, menyelesaikan sengketa dengan berlandaskan hukum adat, dan mengembangkan praktik hukum adat sesuai dinamika perkembangan masyarakat.

Ketentuan tersebut seharusnya menjadi pijakan kuat bagi penguatan posisi masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya. Namun, realitas di Papua Selatan menunjukkan hal yang berbeda. Pemerintah daerah enggan atau bahkan menunda penetapan desa adat secara resmi. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan legitimasi formal yang semestinya dapat melindungi hak ulayat mereka dari intervensi pihak luar, terutama dalam konteks investasi skala besar.

Putusan MK 35/2012: Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat tidak lagi dikategorikan sebagai hutan negara, melainkan sebagai milik masyarakat hukum adat. Putusan ini menjadi koreksi mendasar terhadap paradigma lama yang menempatkan negara seolah-olah pemilik tunggal atas seluruh kawasan hutan.

Namun, pelaksanaan putusan tersebut di Papua Selatan masih jauh dari harapan. Pemerintah daerah bergerak sangat lambat dalam mengakui wilayah adat, sementara izin usaha kepada perusahaan justru terus dikeluarkan. Proses administrasi yang rumit, tumpang tindih kewenangan antara lembaga, serta minimnya kemauan politik membuat putusan MK ini berhenti pada level teks hukum semata, tanpa benar-benar memberikan perlindungan nyata bagi masyarakat adat.

Bentuk paling nyata dari pengkhianatan hukum terhadap masyarakat adat adalah diabaikannya mekanisme konsultasi adat. Investor dapat masuk dengan restu pemerintah tanpa melalui musyawarah adat yang sah. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan yang bebas, didahului, dan diberikan berdasarkan informasi yang memadai justru diabaikan.

Padahal, FPIC merupakan standar internasional yang sejalan dengan prinsip pengakuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Tanpa mekanisme ini, setiap keputusan pemerintah sesungguhnya hanya bersifat pemaksaan. Dampaknya nyata: konflik sosial bermunculan, masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya, dan hak ulayat hilang tanpa adanya ganti rugi yang adil.

Hilangnya tanah adat berarti terputusnya sumber utama mata pencaharian masyarakat. Pertanian tradisional, hasil hutan, dan kegiatan perikanan yang menopang kehidupan sehari-hari lenyap begitu saja. Situasi ini membuat ketahanan pangan lokal rentan terganggu.

Tanah adat bukan sekadar ruang hidup, melainkan pusat identitas budaya. Di atasnya berlangsung ritus adat, nilai-nilai diwariskan, dan leluhur dihormati. Ketika tanah adat dirampas, rantai pewarisan budaya dan spiritualitas pun terputus, meninggalkan kekosongan identitas bagi generasi berikutnya.

Tumpang tindih klaim tanah sering kali berujung pada konflik horizontal di antara warga. Aparat keamanan pun kerap berpihak pada investor, sehingga masyarakat adat yang mempertahankan haknya malah dikriminalisasi. Akibatnya, luka sosial semakin dalam dan kepercayaan terhadap negara kian terkikis.

Semua ini menunjukkan bahwa masyarakat adat menjadi korban utama dari model pembangunan yang diklaim membawa kemajuan.

Pemerintah Papua Selatan kerap berkilah bahwa investasi akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian daerah. Namun, pengalaman di lapangan membuktikan bahwa keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan dan pemerintah pusat. Sementara itu, masyarakat lokal justru menanggung dampak buruk berupa kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta lahirnya kemiskinan baru.

Model pembangunan semacam ini jelas bertentangan dengan amanat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika praktik pembangunan justru membuat masyarakat adat semakin termarginalkan, maka jelas telah terjadi pelanggaran konstitusional.

Ketika pemerintah Papua Selatan melepas hak-hak adat demi mengejar ambisi pusat, yang hilang bukan hanya sebidang tanah, tetapi juga masa depan masyarakat adat. Padahal, berbagai instrumen hukum sudah jelas berpihak pada mereka.mulai dari UUD 1945, UUPA 1960, UU Desa 2014, hingga Putusan MK 35/2012. Semua aturan tersebut menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat harus diakui, dilindungi, dan dipenuhi.

Namun kenyataannya, pengkhianatan hukum terus berulang karena pemerintah lebih memilih melayani kepentingan investor. Karena itu, sudah saatnya pemerintah benar-benar kembali pada amanat konstitusi: menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat. Tanpa langkah tegas ke arah itu, pembangunan di Papua Selatan hanya akan menjadi ambisi kosong yang meninggalkan luka panjang, ketidakadilan struktural, serta kerusakan sosial-budaya lintas generasi. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *