10 Tahun Ensiklik Laudato Si, ‘Anggur Baru’ di Tengah Krisis Iklim

beritabernas.com – Gerakan Laudato Si’ Indonesia (GLSI) merupakan ‘anggur baru’ di tengah krisis iklim yang terjadi saat ini, yang menuntut perubahan sikap dan prilaku. Pola-pola dan kebiasaaan lama yang eksploitatif sudah tidak relevan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan itu sendiri.

“Gerakan Laudato Si’ Indonesia itu adalah anggur baru yang akan hilang bila dimasukkan dalam kantong lama, kebiasaan lama, atau program lingkungan hidup yang lama, kegiatan ekonomi eksploitatif,” kata Romo Ignatius Ismartono SJ dalam kotbanya pada misa pembukaan Perayaan Nasional 10 Tahun Laudato Si’ di Padepokan Voli dan Graha Bina Humaniora, Sentul City, Kabupaten Bogor, pada Jumat 5 September 2025. Acara tersebut berlangsung hingga 7 September 2025.

Pada kesempatan itu, Romo Ismartono mengingatkan perlunya menyiapkan struktur sosial dan budaya sehingga menjadi pola perilaku yang berpihak pada bumi dan kehidupan. Untuk itu, perlu diikuti dengan pertobatan yang melibatkan tanggung jawab pada generasi mendatang. “Pertobatan harus menjadi budaya baru agar terjadi keadilan antargenerasi dan tidak mewarisi bumi yang rusak,” ujar Romo Ismartono.

Para peserta pertemuan. Foto:Stefanus Budi Handoyo/Titch TV

Hal senada ditekankan oleh Dr Sonny Keraf (mantan menteri Lingkungan Hidup) dan Romo Marthen Jenarut (Sekretaris Eksekutif KKP PMP KWI), yang tampil sebagai narasumber dalam acara tersebut. Dikatakan, Gerakan Laudato Si’ Indonesia berupaya menyadarkan kita bahwa lingkungan hidup terkoneksi dengan aspek kehidupan manusia. Untuk itu,  gerakan komunitas ini (GLSI) tidak hanya terbatas pada aksi lingkungan tetapi juga pada aksi kemanusiaan seperti memperhatikan kalangan miskin, kelompok rentan, kaum perempuan yang paling potensial atau rentan akibat krisis lingkungan.

Sonny mempertegas bahwa krisis dan bencana ekologis adalah ancaman nyata pada kelangsungan bumi dan kehidupan. Solusi yang paling mendasar harus dimulai dari perubahan perilaku dan pola hidup yang didasari sebuah etika baru yang lebih memuliakan bumi dan kehidupannya.

“Karena itu Gereja dan semua agama harus bicara tentang krisis ekologis sebagai krisis bumi. Menyelamatkan kehidupan artinya menyelamatkan bumi dengan segala isinya,” ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup ini.

Marthen Jenarut yang mewakili Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mengapresiasi atas GLSI yang berupaya mewujudkan gagasan ekologi integral, yang menjadi dasar spirit Laudato Si’. Dalam momentum perayaan 10 Tahun GLSI ini diperlukan upaya memperluas aktivitas nyata sebagai gerakan bersama seluruh umat manusia melalui pendekatan Pastoral Kolaboratif.

“Sebagai lembaga koordinatif, KWI punya tugas memfasilitasi dan mengarahkan keuskupan-keuskupan agar semangat Laudato Si’ itu mewarnai sekaligus menjadi identitas dari manajemen pastoral di tingkat keuskupan,” ujarnya.

Olga Lidya bersama seorang Suster. Foto: Stefanus Budi Handoyo/Titch TV)

Dia menjelaskan bahwa Gereja Katolik sangat berharap agar komunitas GLSI terus bergerak menuju sebuah aksi perubahan ekologi. GLSI yang diinspirasi dari nilai-nilai etis moral lingkungan hidup harus menjadi gerakan semua orang lintas suku, agama, dan golongan.

Sayang alam

Sementara Agustinus Harsono, Ketua Pelaksana Diskusi Panel Perayaan Nasional 10 Tahun Laudato Si’ di Padepokan Voli dan Graha Bina Humaniora, Sentul City, Kabupaten Bogor, mengatakan, setiap aksi konservasi lingkungan dan melestarikan alam semesta bukan hanya kegiatan memproduksi ecoenzym atau memilah-milah sampah. Lebih dari itu, setiap kegiatan konservasi lingkungan selalu menciptakan “ruang-ruang perjumpaan” antar pribadi yang karena semua “sayang” alam semesta.

Dengan demikian, setiap kegiatan konservasi lingkungan, termasuk memproduksi ecoenzym dan memilah-milah sampah, membuat setiap pribadi menjadi saling kenal dan saling membantu dalam segala upaya untuk merawat bumi, tempat kita berpijak bersama dan dari mana sumber kehidupan kita berasal.

Menurut Agustinus Harsono yang juga Penanggungjawab Eco Spirit Center “Puspanita” Ciawi, satu dekade ensiklik Laudato Si’ merupakan perjalanan yang sangat berarti untuk menatap masa depan Indonesia dan dunia. Gerakan Laudato Si’ Indonesia menuntut perubahan sikap dan perilaku sebagai ‘anggur baru’ melalui pendekatan pastoral kolaboratif, sejalan dengan gagasan ekologi integral yang menjadi spirit utama ensiklik Laudato Si’ (LS).

Dalam acara yang diikuti sekitar 150 peserta dari 11 Keuskupan, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Manado dan Balikpapan serta 35 suster/biarawati dari 22 lintas tarekat religius dan sejumlah imam diosesan lintas keuskupan ini, Harsono mengatakan bahwa Gerakan Laudato Si’ Indonesia (GLSI) merupakan gerakan dan jaringan global yang terinspirasi oleh ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus tahun 2015.

Baca juga:

Dalam acara tersebut menghadirkan narasumber Romo Marthen Jenarut Pr (Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian-Pastoral Migran dan Perantau, KWI), Romo Ignatius Ismartono SJ dan pakar etika lingkungan Sonny Keraf serta dan Romo Ferry Sutrisna Wijaya yang dipandu oleh Koordinator Tim Kerja Nasional Gerakan Laudato Si’ Indonesia (TKN GLSI) Cyprianus Lilik KP.

Ensiklik Laudato Si’ merupakan sebuah dokumen yang menyerukan kepedulian terhadap lingkungan dan keadilan iklim. “Gerakan Laudato Si’ Indonesia mendorong adanya pertobatan ekologis dan perubahan gaya hidup, menginspirasi dan mengaktifkan komunitas-komunitas untuk merawat bumi, rumah kita bersama, untuk mencapai ‘keadilan iklim dan ekologis’ (climate and ecological justice),” kata Agustinus Harsono.

Pada kesempatan itu juga dibahas bahwa selain membangun kesadaran dan aksi-aksi ekologis, upaya mempengaruhi kebijakan publik juga sangat diperlukan. Demikian juga tetap melakukan aksi dan advokasi yang membangun kesadaran kritis masyarakat.

Sementara Romo Ferry yang berkarya di Keuskupan Bandung dan penggerak GLSI melalui pendirian Eco Camp di Bandung, meminta agar jumlah animator LS perlu terus ditingkatkan agar gerakan ini memiliki dampak yang nyata dalam mendorong perubahan sikap umat.

Para peserta gelaran tahunan dan Perayaan Nasional 10 Tahun Laudato Si di Sentul City, Bogor. Foto: Stefanus Budi Handoyo/Titch TV)

Idealnya, kata Romo Ferry, jumlah animator LS mencapai 3 persen dari jumlah umat Katolik di Indonesia yang kini mencapai sekitar 12,5 juta penduduk. Saat ini, jumlah animator mencapai sekitar 300 orang dari berbagai wilayah Indonesia. “Jumlah ini tentu masih jauh dari angka ideal,” kata Romo Ferry.

C Lilik KP mengaku pihaknya melakukan kursus animator setiap tahun selama tiga bulan dengan jumlah peserta yang terus bertambah. Kursus animator LS adalah pelatihan online yang dirancang untuk melatih dan menginspirasi umat di berbagai belahan dunia tentang aspek ekologi integral. Program ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang krisis ekologi dan peran gereja dalam merawat ciptaan Tuhan; mengembangan kesadaran ekologis dan mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan; dan melatih peserta untuk menjadi penggerakan peduli lingkungan di dalam komunitas mereka sesuai spirit Laudato si’.

Ikut tampil di forum ini adalah model dan peragawati Olga Lydia yang mensyeringkan pengalaman pribadinya yang selalu tertantang untuk mengambil sikap “ugahari” dalam menyimpan aneka baju dan bawahan. ‘

“Manakala merasa sudah cukup banyak, maka semua barang yang masih dalam kategori bagus itu saya keluarkan untuk kemudian membuka forum ‘garage sale’ agar semua orang bisa membeli dengan harga sangat murah; kurang lebih hanya Rp 5.000. Hasil dari kegiatan ‘Buka Almari” ini kemudian bisa diberikan kepada asisten rumahtangga di rumah atau tukang sampah yang biasa berkeliling di sekitaran rumah,” papar Olga Lydia. (*/lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *