Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta dan Ketua PMKRI Komisariat STPMD, asal Merauke
beritabernas.com – Sejak awal berlakunya Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001 digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar yang dialami orang asli Papua. Ia diperkenalkan sebagai sebuah terobosan politik dan hukum yang diyakini mampu menjawab ketertinggalan, kemiskinan serta ketidakadilan struktural yang menjerat masyarakat Papua selama puluhan tahun.
Dengan landasan itu, Otsus hadir membawa janji besar: menciptakan kesejahteraan yang lebih merata, membuka akses partisipasi politik yang lebih luas, meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber daya alam yang menjadi identitas sekaligus sumber kehidupan.
Harapan itu semakin diperkuat ketika Papua Selatan resmi ditetapkan sebagai provinsi baru pada tahun 2022. Pemerintah pusat kembali membuat narasi yang manis: pemekaran wilayah dianggap sebagai strategi bagus untuk mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur dan memberikan ruang yang lebih besar bagi orang asli Papua untuk menentukan arah hidup dan masa depan masyarakat sendiri. Dalam wacana resmi negara, kehadiran provinsi baru kita diyakinkan sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat yang selama ini merasa termarjinalkan dalam sistem pembangunan nasional.
Namun, perjalanan Otsus selama lebih dari dua dekade menunjukkan kenyataan yang jauh dari harapan. Otsus justru kerap tampil sebagai alat legitimasi bagi negara dan investor untuk semakin memperkuat kontrol atas tanah dan sumber daya alam Papua. Di banyak tempat, tanah adat yang seharusnya dilindungi malah justru dikapling, diperdagangkan, dan dialihkan menjadi komoditas investasi.
Baca juga:
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Politik Pengelolaan SDA di Papua Selatan, dari Food Estate, Ekspansi Perkebunan hingga Perampasan Ruang Hidup Rakyat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Masyarakat adat kehilangan tanah dan ruang hidupnya, sementara pembangunan yang dijanjikan justru lebih banyak berorientasi pada kepentingan elit birokrasi dan pemodal ketimbang pada kebutuhan rakyat asli Papua.
Otsus yang digadang-gadang sebagai solusi ternyata menjelma menjadi wajah baru kolonialisme.dan beroperasi dengan bahasa kesejahteraan dan pembangunan karena substansinya justru penguasaan. Birokrasi daerah yang mestinya menjadi perpanjangan tangan rakyat, malah berubah menjadi instrumen kekuasaan yang memperantarai kepentingan pusat dan investor.
Di tengah kondisi itu, orang asli Papua kembali terjebak pada lingkaran pemiskinan yang dilembagakan. Mereka dipinggirkan dari proses pengambilan keputusan, dipaksa menerima proyek-proyek pembangunan tanpa edukasi adat dan kehilangan hak atas tanah sebagai sumber identitas dan martabat.
Dengan demikian, Otonomi Khusus yang semula diimajinasikan sebagai pintu masuk menuju kemandirian dan keadilan sosial, malah semakin tampak sebagai kedok baru yang menutupi praktik kolonialisme modern. Dan tidak membebaskan, tetapi justru meneguhkan dominasi negara dan pemodal atas manusia dan tanah Papua. Janji kesejahteraan yang digembar-gemborkan hanyalah retorika yang hampa, sementara realitas di lapangan memperlihatkan wajah luka, kehilangan, dan ketidakadilan yang terus_menerus menjerat rakyat Papua, termasuk di Papua Selatan yang baru lahir.
Birokrasi yang semestinya berfungsi sebagai sarana pelayanan publik kini justru bergeser menjadi alat kekuasaan. Temuan LIPI tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 65 persen kebijakan pembangunan di Papua tidak lahir dari aspirasi lokal, melainkan merupakan instruksi dari pemerintah pusat. Kondisi ini tampak nyata di Papua Selatan, di mana birokrasi daerah lebih banyak berfokus pada pengamanan proyek strategis nasional daripada memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat.dan berpihak pada rakyat, birokrasi berubah menjadi perantara kepentingan negara dan korporasi.
Proses penerbitan izin investasi, revisi tata ruang, hingga pelepasan tanah adat dijalankan melalui keputusan pejabat daerah, sementara suara masyarakat adat justru tidak dengar. Fungsi birokrasi yang seharusnya menjadi benteng rakyat malah berubah menjadi pintu masuk perampasan tamah adat.
Dampak dari kondisi ini terlihat jelas pada nasib tanah adat yang perlahan diposisikan sebagai komoditas belaka. Bagi masyarakat adat Papua Selatan, tanah bukan hanya sumber penghidupan ekonomi, tetapi juga menyimpan nilai-nilai spiritual, budaya, serta keterikatan dengan leluhur. Namun dalam kerangka pembangunan yang digerakkan oleh Otsus, tanah dipandang semata-mata sebagai aset ekonomi yang harus dieksploitasi.
Data Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mencatat bahwa pada 2022 sedikitnya 1,5 juta hektar hutan Papua telah dipetakan untuk kepentingan investasi, sebuah fakta yang menggambarkan bagaimana logika pembangunan negara mengabaikan makna mendalam tanah bagi masyarakat adat.
Perkebunan kelapa sawit terus meluas hingga ke wilayah Merauke, Boven Digoel, dan Mappi. Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digulirkan sejak 2010 bahkan telah mengambil alih lebih dari 2,5 juta hektare tanah ulayat masyarakat adat dengan dalih ketahanan pangan nasional. Lahan sagu, rawa, dan hutan yang selama berabad-abad menjadi sumber penghidupan komunitas adat kini beralih fungsi menjadi kawasan industri pangan dan energi. Tak berhenti di situ, eksplorasi tambang pun mulai menembus Papua Selatan, membuka jalan bagi praktik eksploitasi sumber daya dalam skala yang lebih besar. Semua itu dilegalkan melalui tanda tangan birokrasi daerah yang seharusnya bertugas melindungi rakyatnya.
Otonomi Khusus yang sejak awal digadang sebagai solusi justru menampilkan wajah kolonialisme dalam bentuk baru. Jika kolonialisme masa lalu menaklukkan dengan senjata, kini ia bekerja lewat regulasi, birokrasi, dan investasi. Sejak 2001 hingga 2021, pemerintah mengucurkan lebih dari Rp 138 triliun dana Otsus. Namun, jumlah uang yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan orang asli Papua.
Laporan BPK tahun 2021 menemukan berbagai penyimpangan dalam pengelolaan dana tersebut. Data BPS bahkan menunjukkan bahwa Papua tetap menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yakni 26,8 persen pada 2022. Ironisnya, meski dana triliunan rupiah digelontorkan, masyarakat adat masih bergulat dengan kelaparan, keterbatasan layanan kesehatan, serta pendidikan yang jauh dari layak.
Pemekaran Papua Selatan yang dijustifikasi sebagai upaya mendekatkan pelayanan publik juga menyingkap pola yang sama. Alih-alih memberdayakan rakyat, pemekaran justru menjadi strategi memperluas jaringan birokrasi sekaligus membuka ruang investasi baru. Dampaknya, solidaritas sosial masyarakat adat terpecah, ikatan antar-suku melemah, dan posisi mereka semakin jauh dari pusat pengambilan keputusan. Hampir setiap proyek pembangunan di wilayah ini pun berjalan beriringan dengan praktik militerisasi.
Penolakan warga terhadap sawit, tambang, maupun proyek pangan skala besar sering dibalas dengan tuduhan menghambat pembangunan, bahkan dicap separatis. Dengan demikian, Otsus tidak hanya berfungsi sebagai instrumen politik-ekonomi, tetapi juga instrumen represi.
Masyarakat adat yang pada awalnya dijanjikan sebagai pusat kebijakan Otsus justru makin terpinggirkan. Undang-Undang Otsus memang memberikan pengakuan terhadap hak ulayat dan mewajibkan negara menghormati masyarakat hukum adat, tetapi dalam praktiknya, pasal-pasal tersebut hanya berhenti di atas kertas.
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang secara internasional diakui sebagai standar penghormatan terhadap masyarakat adat sering kali diabaikan. Investor masuk tanpa persetujuan sah, kepala suku ditekan untuk menandatangani pelepasan tanah, sementara suara penolakan dibungkam dengan aparat. Amnesty International mencatat meningkatnya konflik agraria di Papua seiring derasnya ekspansi investasi. Di Merauke dan Boven Digoel, masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi.
Jika benar Otsus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan, maka indikator-indikator sosial mestinya membaik. Faktanya, angka harapan hidup orang asli Papua hanya 65,26 tahun. Terendah di Indonesia. Rata-rata lama sekolah hanya 6,6 tahun, setara dengan tingkat SMP kelas satu. Angka kematian ibu di Papua masih dua kali lipat dari rata-rata nasional. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 6,5 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,8 persen.
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa Otsus gagal menyentuh akar persoalan. Infrastruktur memang dibangun, tetapi kualitas hidup masyarakat adat tetap stagnan, bahkan menurun.
Semua realitas tersebut memperlihatkan satu hal: Otsus Papua Selatan lebih banyak menghadirkan pengkhianatan daripada kesejahteraan. Ia mengubah birokrasi menjadi instrumen kekuasaan, menjadikan tanah leluhur sebagai komoditas, mengabaikan suara masyarakat adat, dan memperkokoh kendali negara atas Papua. Dalam bentuknya sekarang, Otsus hanyalah topeng kolonialisme yang dikemas dalam bahasa modernisasi.
Agar Otsus benar-benar bermakna, dibutuhkan perubahan mendasar dalam orientasi kebijakan. Tanah harus dikembalikan kepada pemilik sahnya, yakni masyarakat adat. Mereka harus diposisikan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek proyek yang diputuskan sepihak.
Ekspansi investasi yang merampas ruang hidup harus dihentikan, sementara birokrasi daerah perlu direformasi agar berpihak pada rakyat, bukan pada pusat dan modal. Tanpa langkah-langkah radikal ini, Otsus Papua Selatan hanya akan tercatat sebagai bab kelam dalam sejarah pengkhianatan negara terhadap rakyatnya sendiri. Sebuah ironi ketika janji kesejahteraan berubah menjadi kolonialisme yang berulang di tanah leluhur Papua. (*)
There is no ads to display, Please add some