Oleh: Bonevasius N.w Dewi
beritabernas.com – Modernisasi merupakan proses transformasi yang memengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat dan tidak bisa dielakkan oleh setiap komunitas, termasuk suku Malind yang menetap di kabupaten Merauke, wilayah selatan tanah Papua. Proses industrialisasi, urbanisasi, dan kemajuan teknologi telah memberikan dampak signifikan, tidak hanya terhadap gaya hidup, tetapi juga terhadap kedaulatan budaya suku Malind yang selama ini berakar kuat pada nilai-nilai tradisional.
Suku Malind memiliki keterikatan yang sangat dalam dengan alam dan tanah sebagai unsur utama identitas budaya mereka. Bagi mereka, tanah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sumber kehidupan yang dihormati dan dilindungi melalui kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Namun, modernisasi telah memicu perubahan besar dalam pengelolaan tanah, pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat, yang mulai bergeser dari tradisi menuju gaya hidup modern di tengah tekanan ekonomi dan sosial yang semakin meningkat.
Perubahan tersebut menimbulkan tantangan serius dalam mempertahankan kedaulatan budaya Malind. Modernisasi sering kali merombak struktur sosial dan mengikis nilai-nilai leluhur yang menjadi dasar kehidupan mereka. Walaupun terjadi akulturasi budaya, yaitu perpaduan antara nilai tradisional dan modern, risiko hilangnya sebagian identitas budaya tetap nyata dirasakan.
Melalui berbagai bentuk adaptasi dan upaya mempertahankan budaya, suku Malind berusaha menjaga identitas dan kedaulatan budayanya agar tidak terkikis oleh perubahan yang berlangsung cepat.hal ini menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap realitas sosial dan budaya suku Malind sebagai dasar dalam merumuskan strategi pelestarian budaya di era modernisasi.
Suku Malind adalah komunitas adat yang mendiami wilayah Merauke, Papua Selatan. Mereka memiliki kekayaan budaya yang meliputi bahasa, adat istiadat, sistem sosial, dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, suku Malind menghadapi tantangan besar akibat modernisasi yang berlangsung pesat dan berdampat pada identitas budaya,sistem nilai, wilayah adat dan juga hukum adat, di wilayah tanah malind.
Modernisasi yang ditandai oleh pembangunan infrastruktur, penetrasi teknologi informasi, dan masuknya nilai-nilai budaya global telah menimbulkan perubahan signifikan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Malind.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Merauke (2023) menunjukkan bahwa penetrasi teknologi komunikasi mencapai 65%, memudahkan akses informasi namun mengubah pola interaksi sosial tradisional. Lembaga Kajian Papua (2022) melaporkan bahwa sekitar 40% remaja Malind lebih mahir berbahasa Indonesia dibandingkan bahasa daerah mereka, menandakan adanya pergeseran identitas budaya.
Baca juga:
- Otonomi Khusus Papua Selatan, Antara Janji Kesejahteraan dan Realita Pengkhianatan
- Ketika Kesuksesan Menjadi Hambatan bagi Masyarakat Boven Digoel
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Perubahan ini tidak hanya berpengaruh pada bahasa, tetapi juga pada pelaksanaan ritual adat, sistem kekerabatan, serta nilai-nilai tradisional yang menjadi dasar kedaulatan budaya suku Malind. Dinas Sosial Kabupaten Merauke (2023) mencatat adanya pergeseran ekonomi dari sistem subsistensi ke ekonomi pasar, yang menyebabkan perubahan struktur sosial dan peran dalam komunitas.
Selain itu, laporan UNESCO (2021) memperingatkan risiko punahnya bahasa dan tradisi lokal akibat globalisasi dan modernisasi yang tidak diimbangi pelestarian efektif. Dengan memperkirakan bahwa hampir 40% bahasa di seluruh dunia berpotensi punah dalam beberapa dekade ke depan apabila tidak dilakukan upaya pelestarian yang memadai.
Kedaulatan budaya suku Malind, yang mencakup hak mereka untuk mempertahankan, mengelola, dan mengembangkan budaya sendiri, tengah menghadapi ancaman serius. Akulturasi yang tidak seimbang dan dominasi budaya luar berpotensi mengikis identitas masyarakat malind. Oleh sebab itu sangat penting untuk melakukan kajian mendalam mengenai bagaimana pengaruh modernisasi terhadap kedaulatan budaya suku Malind dari perspektif realita sosial dan budaya saat ini, dengan menganalisis dan mengidentifikasi perubahan sosial dan budaya masyarakat Malind akibat dengan adanya harus modernisasi. Serta Mengkaji strategi pelestarian budaya suku Malind untuk mempertahankan identitas budaya.
Suku Malind dalam konteks modernisasi dan kedaulatan budaya sebagai gambaran konkret bagaimana masyarakat adat menghadapi tantangan modernisasi yang cepat dan kompleks. Kajian ini menjadi referensi bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi budaya dalam merumuskan strategi pelestarian budaya yang efektif dan berkelanjutan. Pemahaman mendalam terhadap realita sosial dan budaya suku Malind akan memperkuat upaya menjaga kedaulatan budaya sebagai bagian kekayaan bangsa diwilayah papua selatan.
Konsep modernisasi dan dampaknya pada budaya tradisional
Modernisasi adalah proses perubahan masyarakat menuju tahap kehidupan yang lebih maju dan efisien di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Proses ini biasanya ditandai dengan kemajuan teknologi, perubahan norma sosial, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan komunikasi. Modernisasi membawa transformasi signifikan yang mempengaruhi cara berpikir, pola hidup, dan interaksi sosial masyarakat.
Dampak modernisasi terhadap budaya tradisional dapat bersifat positif maupun negatif. Di sisi positif, modernisasi membuka peluang peningkatan kualitas hidup, memperluas wawasan, dan mempermudah akses informasi. Namun, di sisi lain, modernisasi juga menyebabkan terkikisnya nilai dan tradisi lokal yang selama ini menjadi identitas budaya suatu komunitas.
Proses ini sering berujung pada erosi tradisi, komodifikasi budaya sehingga makna asli budaya hilang, dan pergeseran identitas budaya, terutama pada generasi muda yang lebih terpengaruh budaya global daripada budaya leluhur mereka. Kondisi ini mengancam kedaulatan budaya dan melemahkan kecintaan terhadap warisan budaya lokal.
Kedaulatan budaya mengacu pada hak dan wewenang yang dimiliki oleh suatu komunitas, terutama masyarakat adat, untuk secara mandiri menjaga, mengelola, serta mengembangkan identitas, tradisi, dan praktik kebudayaan mereka tanpa campur tangan eksternal. Konsep ini juga mencakup pengakuan atas hak asal-usul dan hukum adat yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik komunitas tersebut di wilayah adatnya.
Kedaulatan budaya sangat penting bagi masyarakat adat karena menjadi fondasi untuk menjaga kelangsungan hidup budaya dan sumber daya alam yang merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas dan cara hidup mereka. Melalui kedaulatan budaya, masyarakat adat dapat menjalankan tata kelola wilayah adat dan tradisi mereka secara otonom serta melindungi diri dari ancaman luar yang bisa merusak warisan budaya dan lingkungan hidup mereka. Selain itu, kedaulatan budaya menjadi pijakan utama dalam memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam dinamika sosial dan politik masa kini
Penelitian Yuhasnil (2019) dalam Jurnal Pendidikan dan Kewarganegaraan Indonesia menemukan bahwa modernisasi memberikan dampak positif berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi. Namun, proses ini juga menyebabkan semakin lunturnya identitas budaya lokal, terutama di kalangan generasi muda yang lebih banyak terpengaruh budaya global. Penelitian tersebut menekankan pentingnya pengalaman dan pengetahuan budaya sebagai upaya pelestarian budaya yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat secara kolektif (Yuhasnil, 2019).
Studi Sa’diyah & Dewi (2022) membahas fenomena hilangnya budaya lokal di tengah modernisasi dan globalisasi di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa kemudahan akses informasi yang dibawa oleh modernisasi berpotensi mengancam eksistensi budaya lokal jika tidak disertai pelestarian yang aktif. Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan teknologi sebagai sarana memperkuat identitas budaya lokal sekaligus mengedepankan nilai-nilai Pancasila sebagai penyeimbang antara keterbukaan budaya global dan pelestarian budaya nasional (Sa’diyah & Dewi, 2022).
Penelitian oleh Rumbewas (2017) menunjukkan bahwa modernisasi menyebabkan maraknya budaya populer yang mengikis semangat nasionalisme dan keragaman kebudayaan di Indonesia. Ia mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi masyarakat dalam mempertahankan identitas budaya di tengah globalisasi dan modernisasi yang pesat (Rumbewas, 2017).
Teori modernisasi
Teori modernisasi merupakan suatu kerangka yang menjelaskan transformasi sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Inti teori ini adalah bahwa kemajuan teknologi, industrialisasi, urbanisasi, dan pendidikan menjadi faktor utama yang menggerakkan perubahan sosial dan pembangunan. Tokoh utama teori ini adalah Walt W. Rostow (1960) dengan model tahapan pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan transisi masyarakat dari tradisional ke modern secara bertahap. Talcott Parsons turut mengembangkan teori ini dengan fokus pada perubahan sistem sosial dan nilai budaya yang mendukung modernisasi.
Teori ini menekankan hak suatu kelompok masyarakat, khususnya masyarakat adat, untuk mengendalikan, menjaga, dan mengembangkan budaya mereka secara mandiri tanpa intervensi eksternal yang merusak. Kewenangan ini meliputi pelestarian bahasa, tradisi, nilai, dan hak atas tanah adat sebagai bagian dari identitas budaya. Linda Tuhiwai Smith (1999) dalam karya “Decolonizing Methodologies” menegaskan pentingnya kedaulatan budaya dalam konteks penelitian dan pelestarian budaya masyarakat adat, sementara Taiaiake Alfred mengangkat kedaulatan budaya sebagai bagian dari perjuangan dekolonisasi masyarakat Indigenous di Kanada.
Akulturasi adalah proses dimana terjadinya kontak intensif antar kelompok budaya yang menyebabkan pertukaran unsur budaya, adaptasi, dan pembentukan budaya baru yang merupakan perpaduan dari budaya asal. Konsep ini diperkenalkan oleh Robert Redfield, Ralph Linton, dan Melville Herskovits pada tahun 1936 sebagai perubahan budaya akibat interaksi langsung antar kelompok budaya berbeda.
Proses asimilasi menjelaskan bagaimana kelompok minoritas secara bertahap mengadopsi budaya mayoritas sehingga kehilangan identitas budaya asli. Biasanya, asimilasi meliputi penyerapan total budaya mayoritas dan penghapusan perbedaan budaya. Robert E. Park dan Everett V. Stonequist adalah tokoh penting dalam teori ini, dengan Stonequist yang pada 1937 mengemukakan konsep “The Marginal Man” yang menggambarkan individu yang berada di antara dua budaya selama proses asimilasi.
Teori ini mengkaji bagaimana individu dan kelompok membentuk, mempertahankan, dan mengartikulasikan identitas budaya mereka. Identitas budaya bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan sejarah. Stuart Hall menjadi tokoh utama teori ini, dengan esainya “Cultural Identity and Diaspora” (1990) yang menegaskan bahwa identitas budaya tidak statis, melainkan terus-menerus dibentuk ulang sesuai konteks sosial dan historis.
Karakteristik deskriptif kualitatif adalah pendekatan penelitian yang bertujuan menggambarkan secara mendalam dan sistematis suatu fenomena, peristiwa, atau kondisi sosial-budaya tanpa menguji hubungan sebab-akibat. Pendekatan ini mengandalkan data berupa kata-kata, narasi, dan konteks nyata dengan lebih pada pendekatan studi literatur adalah metode yang sistematis dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan menganalisis berbagai sumber tertulis yang berhubungan dengan topik “Pengaruh modernisasi terhadap kedaulatan budaya suku malind: perspektif realita sosial dan budaya” sehinga penulis dapat mengkaji menggunakan metode pendekatan studi literatur.
Dalam konteks pengaruh modernisasi terhadap kedaulatan budaya suku Malind, metode ini memungkinkan penulis untuk fokus pada pemahaman detail tentang bagaimana modernisasi mengubah pola hidup, nilai, dan struktur sosial masyarakat suku Malind, sambil menangkap tantangan mempertahankan identitas budaya masyarakat malind di tengah perubahan modernisasi.
Suku Malind Anim, yang merupakan salah satu kelompok masyarakat adat terbesar di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan alam dan tanah sebagai elemen vital identitas budaya mereka. Saat ini, mereka dihadapkan pada tekanan yang kuat akibat modernisasi dan berbagai proyek pembangunan nasional yang menyebabkan perampasan tanah adat dan perubahan besar dalam gaya hidup.
Tradisi kuno, peralatan adat, serta kebanggaan budaya mereka banyak yang hancur atau menghilang, hal ini memaksa komunitas Malind untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan ekonomi yang dibawa oleh pengaruh luar. Sikap apatis dan kekhawatiran terhadap masa depan budaya mereka juga muncul sebagai dampak dominasi budaya modern dan ekonomi pasar (Jubi, 2025; Lokadaya, 2024).
Perubahan modernisasi turut berdampak pada berbagai aspek budaya suku Malind, seperti bahasa yang mulai jarang digunakan terutama di kalangan generasi muda yang lebih sering memakai bahasa nasional. Ritual adat yang sebelumnya menjadi pusat kehidupan masyarakat masih dipertahankan, namun pelaksanaannya semakin berkurang dan mengalami perubahan makna karena adanya adaptasi dengan nilai modern. Selain itu, nilai-nilai kekerabatan dan tatanan sosial yang selama ini menjadi fondasi komunitas mulai bergeser seiring masuknya pengaruh budaya modern dan ekonomi pasar (Jubi, 2025; Portal Merauke, 2025).
Secara sosial, masyarakat Malind yang sebelumnya hidup dengan cara berburu, meramu, dan bercocok tanam mulai beralih ke sistem ekonomi pasar dan gaya hidup konsumtif, termasuk konsumsi bahan makanan instan. Struktur sosial yang semula berdasar pada hukum adat dan kepemimpinan tradisional pun mulai mengalami perubahan dengan munculnya peran-peran baru yang merupakan dampak dari modernisasi. Perubahan ini menimbulkan tantangan signifikan dalam mempertahankan solidaritas dan identitas budaya yang selama ini menguatkan komunitas Malind (Jubi, 2025; Portal Merauke, 2025).
Untuk melindungi budayanya, komunitas Malind berusaha menghidupkan kembali praktik adat, ritual tradisional, dan memperkuat peran lembaga adat yang berfungsi menjaga nilai-nilai budaya. Upaya lain yang dilakukan adalah memperkuat hak atas tanah adat melalui edukasi dan advokasi terhadap ancaman kebijakan yang dapat merusak kedaulatan budaya mereka. Meskipun menghadapi gelombang besar modernisasi dan proyek pembangunan, komunitas Malind mencoba mempertahankan identitas budaya dan kedaulatan mereka melalui kombinasi pelestarian tradisi dan adaptasi bijaksana terhadap perubahan zaman (Jubi, 2025; Lokadaya, 2024; Portal Merauke, 2025).
Analisis
Modernisasi telah membawa perubahan besar bagi suku Malind yang tinggal di Merauke, bagian selatan tanah Papua, yang sangat berkaitan dengan pelestarian identitas budaya mereka. Melalui kemajuan teknologi, pembangunan infrastruktur, dan masuknya nilai-nilai global, modernisasi telah mengubah secara signifikan pola konsumsi, bahasa, ritual tradisional, dan struktur sosial komunitas Malind.
Penggunaan bahasa daerah mulai menurun digantikan oleh bahasa Indonesia, pelaksanaan ritual adat yang sebelumnya penting mulai berkurang, dan masyarakat beralih dari ekonomi subsistensi ke ekonomi pasar yang membawa perubahan pada nilai dan peran sosial mereka. Proses ini secara bertahap menggerus kedaulatan budaya yang mencakup hak masyarakat untuk mengelola, mempertahankan, dan mengembangkan budaya serta wilayah adat mereka secara mandiri.
Dari sisi teori, perubahan ini dijelaskan oleh teori modernisasi yang melihat perkembangan teknologi dan pendidikan sebagai faktor utama transformasi sosial dari tradisional ke modern. Teori kedaulatan budaya menekankan pentingnya masyarakat adat mengelola budaya mereka secara otonom, sementara teori akulturasi dan asimilasi menggambarkan interaksi budaya dan kemungkinan hilangnya identitas asli. Teori identitas budaya menegaskan bahwa identitas bersifat dinamis dan selalu dibentuk ulang sesuai konteks sosial dan historis, seperti yang dialami masyarakat suku Malind dalam menghadapi modernisasi.
Tantangan utama yang dihadapi masyarakat suku Malind termasuk hilangnya penguasaan tanah adat akibat proyek pembangunan nasional, pengaruh budaya global yang melemahkan nilai-nilai tradisional, serta melemahnya lembaga adat sebagai penjaga budaya. Namun, terdapat peluang untuk mempertahankan budaya melalui revitalisasi praktek tradisional, penguatan lembaga adat, advokasi hak atas tanah adat, dan penggunaan teknologi untuk mendukung pelestarian budaya dalam format digital yang memperkuat identitas lokal.
Dari sisi sosial dan budaya, modernisasi memengaruhi perubahan gaya hidup yang lebih konsumtif, pergeseran peran dalam masyarakat, serta potensi konflik antar generasi terkait dengan identitas budaya. Meski demikian, proses ini juga membuka ruang bagi pembaruan budaya yang adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, strategi pelestarian budaya harus bersifat fleksibel dan inklusif dengan mengombinasikan pelestarian tradisi dan adaptasi nilai modern agar kedaulatan budaya suku Malind tetap terjaga di era modernisasi.
Modernisasi yang terjadi di kalangan masyarakat suku Malind telah membawa perubahan besar pada gaya hidup, penggunaan bahasa, pelaksanaan ritual tradisional, serta struktur sosial mereka. Perubahan ini menimbulkan tantangan serius terhadap kedaulatan budaya suku Malind, terutama karena adanya ancaman kehilangan penguasaan atas tanah adat dan pengaruh kuat budaya global.
Walaupun terjadi proses akulturasi, ancaman terhadap kelestarian identitas budaya mereka masih sangat nyata. Modernisasi berdampak pada kedaulatan budaya masyarakat suku Malind dengan menyebabkan pergeseran identitas budaya, berkurangnya penggunaan bahasa lokal, serta perubahan dalam tradisi ritual dan struktur sosial. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menjaga hak mereka untuk mengelola dan mengembangkan budaya di tengah lajunya perubahan yang cepat. (*)
There is no ads to display, Please add some