Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Menalar Negara, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Transisi demokrasi pascareformasi hingga kini terus berlangsung dan belum juga memasuki fase konsolidasi demokrasi. Berbagai gejolak politik hingga konflik sosial tak jarang turut meramaikan proses transisi demokrasi dan bahkan kian menjauhkan negeri ini untuk memasuki fase konsolidasi demokrasi.
Konstitusi pascareformasi sebenarnya juga telah melakukan penataan ulang secara cukup fundamental terhadap struktur ketatanegaraan negeri ini, namun kelembagaan negara yang dibentuk tak cukup sigap sekurang-kurangnya memiliki kapasitas yang kurang memadai, untuk segera mengawal negeri ini memasuki fase konsolidasi demokrasi setelah melewati fase liberalisasi politik dan transisi demokrasi.
Proses demokratisasi niscaya berwatak transformatif. Dan kesulitan Indonesia menuntaskan agenda demokratisasi berpangkal dari situ. Dalam kesulitan menyepakati arah dan rute transformasi itu, proses demokratisasi segera dijalankan dengan pegangan sederhana: ‘skema transisi menuju demokrasi’.
Dalam skema ini, demokratisasi digedor dengan liberalisasi yang memungkinkan diselenggarakan pemilihan umum untuk memasukkan para pejuang demokrasi ke poros penyelenggaraan pemerintahan. Dengan asumsi bahwa Indonesia adalah sebuah nation-state yang mapan, para tokoh merumuskan dan memberlakukan undang-undang secara top-down.
Pola kepemimpinan nasional yang diharapkan memainkan peranan substansial untuk mendorong negeri ini memasuki fase konsolidasi demokrasi ternyata tak urung sering menjadi bagian dari masalah daripada menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkembang baik di aras lokal hingga nasional.
Politik pencitraan
Sementara itu di tingkat desa, pembiasan norma-norma demokrasi dan otonomi desa telah lama terjadi. Membangkitkan kembali nilai-nilai kemandirian masyarakat desa yang dulu ada merupakan upaya yang tidak mudah. Desa yang telah lama dikondisikan dalam pengendalian supra desa (negara) telah menjadi tantangan dalam konsolidasi dan transformasi demokrasi desa.
Pasang surut perjalanan demokrasi dan otonomi desa yang ditentukan bukan oleh masyarakat desa sendiri tetapi oleh pihak penguasa “atas desa” telah menjadikan desa bersifat apatis. Sifat apatis desa ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi konsolidasi dan transformasi desa ke depan. Dari sudut kultur, desa memang sedang mengalami krisis identitas dalam penerapan demokrasi dan desentralisasi.
Kontestasi politik di era modernitas berakar pada kedigdayaan kultur Barat yang tak jarang menafikan kultur lokal yang dalamnya terkandung berbagai akar nilai budaya luhur. Seluruh kontestasi berujung pada hitungan angka pemilih yang amat sering berangkat dari politik pencitraan.
Tak heran, ruang publik sarat muatan berbagai pencitraan politik kaum elite yang memberangus suara kritis publik terhadap rekam jejak para aktor yang memoles dirinya dalam tampilan baru tokoh yang populis, bersih, dicintai oleh rakyat dan piawai dalam bernegara. Akibatnya, berbagai kontestasi seringkali diwarnai oleh praktik black campaign yang berakar dari naluri buas manusia di era homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Baca juga:
- Hubungan Negara, Bisnis dan State Qua State
- Otonomi Khusus Papua Selatan, Antara Janji Kesejahteraan dan Realita Pengkhianatan
- DPR: Wakil Rakyat atau Musuh Rakyat? Sebuah Ironi Bangsa
Segera perlu dijelaskan, bahwa pokok persoalannya bukanlah para tokoh yang tidak bisa menuntaskan agenda demokratisasi. Demokratisasi memang harus dipandu para pemimpin, namun demokrasi tidak mungkin terwujud kalau pelakunya bukan demos.
Politik quiditas
Pokok persoalannya adalah proses demokratisasi dipandu oleh skema yang simplistik, dan pada gilirannya tidak siap dengan berbagai kejadian yang tak terantisipasi. Kewajiban melakukan pembiasaan untuk menjadikan demokrasi the only game in town tidak dapat dibebankan hanya kepada para pemimpin. Mustahil demos menjadi pemilik dan pelaku demokratisasi jika mekanisme bottom-up tidak terpandu/terstruktur.
Politik di era postmodern sejatinya meletakkan dasar eksistensinya di atas kedigdayaan kultur lokal serta segala sesuatu yang berasal dari wilayah sendiri. Politik postmodern mempromosikan keadilan (equity) dan kesejahteraan rakyat (bonum commune). Maka, politik di era postmodern telah menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin yang menempatkan kesejahteraan rakyatnya sebagai pilar kekuasaan politiknya.
Blusukan di kampung-kampung kumuh, berdialog secara bebas dan egaliter dengan rakyatnya, serta sikap empati yang gencar dilakukan oleh Presiden, Gubernur, Bupati, belakangan ini—pascadilantik periode 2024-2029–seakan-akan menandai berakhirnya politik modern yang sarat pencitraan dan kontestasi. Politik di era postmodern alias blusukan, memungkinkan diskursus mengenai pluralitas, yang kaya dan yang miskin bisa berdampingan dalam ruang publik yang sama. Tak saling mengganggu malah memungkinkan terjadinya sinergi.
Politik postmodernitas telah mendekonstruksi politik quidditas (esensi) yang menekankan bahwa kesejatian dilahirkan oleh representasi, bukan sekedar esensi. Kesejatian dalam postmodernitas dimaknai sebagai kehadiran atau representasi.
Maka, rakyat sangat paham bahwa negara ini memang sarat masalah, banjir tak mudah diatasi karena faktor geospasial yang buruk, Makan Bergizi Gratis, bermasalah, kreta cepat woosh bermasalah ( hutang belum dibayar) dan masi segudang masalah lainnya. Namun, kehadiran/representasi sang pemimpin di kala kesusahan dialami oleh rakyat, bukan hanya memastikan bahwa negara masih ada, namun empati sang pemimpin yang bersama-sama dengan rakyatnya hendak mencari solusi atas masalah telah mengalahkan pendewaan rasionalitas manusia yang mengembalikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk kultural. Dengan demikian rasionalitas harus dibangun di atas nilai-nilai kultural yang beraneka ragam.
Demokrasi sumber kegalauan
Dalam ketiadaan panduan di atas, kotak pandora demokrasi telah dibuka, dan liberalisasi di segala lini telah ditempuh. Dalam setting ini warga negara yang bermodal kuat, tentu saja tidak terkendala untuk mendominasi pemerintahan, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Tokoh-tokoh yang dibayangkan sebagai pejuang demokrasi telah masuk ke dalam, bahkan ke poros penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya terjadilah pembiasaan politik transaksional antar elit. Alih-alih demokrasi menjadi the only game in town, justru ia semakin menjauh dari harapan, demokrasi berkembang menjadi sumber kegalauan. Sentimen anti liberal bukan saja telah bangkit kembali dan merebut simpati publik, namun juga telah melakukan berbagai tendangan balik. Lebih dari itu, perubahan dalam rute bottom-up mulai meretas, ditandai oleh maraknya dukungan bagi populisme lokal yang diusung gejala Jokowi untuk menguasai pemerintahan di ibukota.
Yang jelas, proses pembiasaan norma-norma dalam berdemokrasi harus bersentuhan, kalau tidak berbenturan, dengan nilai-nilai dan kekuatan-kekuatan lokal yang sanggup membajak makna demokrasi. Dengan kata lain, lokus penuntasan agenda demokrasi ada di tingkat lokal, ada pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Tantangan demokratisasi adalah keluar dari ilusi elektoralisme, dan keluar dari berbagai pretensi demokrasi.
Kesadaran bahwa sejatinya manusia juga adalah makhluk kultural sebagai tanda lahirnya era politik postmodern akan kian memastikan bahwa manusia tak bisa digeneralisasi apalagi hanya dilihat sekedar dalam hitungan angka statistik. Manusia bukan sekedar sederet konstituen yang berakhir nasibnya dalam kotak suara.
Peran parpol sebagai salah satu faktor penting dalam memasuki fase konsolidasi demokrasi ternyata belum bisa diharapkan. Fungsi parpol harus dijernihkan kembali agar parpol bisa dihadirkan kembali sebagai pilar utama penopang sistem demokrasi konstitusional.
Hal itu bisa dilakukan hanya dengan menumbuhkan kembali apa yang oleh Henry A. Giroux, dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education (1992) disebut sebagai suatu budaya baru, yaitu sebuah budaya yang didefinisikan sebagai acuan dan praktik bagi kewarganegaraan yang kritis, perjuangan untuk demokrasi dan kepedulian terhadap kesejahteraan umum (bonum commune). Dengan kata lain, diperlukan sebuah transformasi kultural untuk merekonstruksi struktur kekuasaan.
Kekuasaan memang sungguh memikat, namun pesona dari kekuasaan tersebut bisa berubah mengeroposkan komitmen pada nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Parpol yang hakikatnya merupakan instrumen untuk meraih kekuasaan kini telah keropos justru oleh ambisi meraih kekuasaan tanpa kejujuran dan akuntabilitas dari para elite politik.
Patrick Dobel, dalam Public Integrity (1999) pernah mengemukakan bahwa seseorang yang mengejar kuasa bisa mengalami deindividuasi (deindividuation), yaitu suatu situasi saat seseorang merasa terbebas dari pembatasan moral dalam dirinya yang bisa berakibat hilangnya perasaan identitas diri dan tanggung jawab. Orang-orang yang mengalami proses deinviduasi inilah yang kini telah membajak parpol, sehingga parpol kian mengalami krisis jati diri.
Menjernihkan kembali fungsi parpol dengan membebaskannya dari para pembajak tersebut akan mencegah kembalinya rezim totaliter yang siap membajak sistem demokrasi justru atas nama kegagalan parpol dalam meredefinisi dan menjernihkan fungsi dirinya sebagai pilar utama penopang demokrasi.
Partai politik, misalnya tidak boleh terus berpretensi untuk menjadi pejuang nasib rakyat sementara reputasinya buruk di mata rakyat. Pretensi pemilihan umum menghasilkan pemimpin yang handal harus diwujudkan dengan kaderisasi dari bawah dan mekanisme publik untuk menagih kinerjanya.
Para kepala daerah yang berpretensi dipilih karena visi dan misinya harus dibuat lebih realistik dengan tidak dibebani biaya pemenangan yang sangat mahal. Biaya politik yang begitu mahal (misalnya biaya untuk para saksi dalam pemilihan umum) harus dikoreksi dengan menekan biaya persaingan, termasuk trust-building antar partai (mempercayakan polisi sebagai saksi). Democratic governance tidak cukup digenjot melalui legislasi di seputar penjaminan hak-hak individual melainkan perlu digenjot juga dengan reproduksi sense of public. Democratic governance perlu dibangun dalam bingkai otonomi daerah yang sudah dibuka lebar sejak runtuhnya Orde Baru.
Keluar dari Miopia
Liberalisasi yang ditempuh melalui penjaminan hak-hak individual sudah cukup jauh dijalankan atas nama atau demi demokrasi. Selama ini negara dengan serangkaian kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya dituding sebagai penghalang penjaminan hak-hak individual. Oleh karena itu, para aktivis pro-demokrasi begitu bersemangat melumpuhkan kekuatan negara. Perlu ditemukan sinergi antara penguatan hak-hak individual dengan instrumentalitas negara sebagai institusi publik.
Secara resmi, tatanan politik liberal yang terpola saat ini membuka peluang bagi setiap orang, namun dalam prakteknya kalangan elitlah yang paling siap memanfaatkan dan menikmatinya. Mereka tampil ke kancah politik dengan memobilisasi sumberdaya dan solidaritas etnis/primordial. Integrasi nasional berbasis sinergi antar elit yang mewakili komunitasnya (community politics) memang telah dicoba dipraktekkan dan mengatasi sebagian persoalan, namun sinergi antar ikatan komunal perlu dirajut menjadi ikatan sistemik, dan keluar dari miopia politik (rabun jauh politik).
Dengan pemetaan masalah seperti itu, dan demokrasi diasumsikan tidak terjepit dalam situasi dilematis dan diharapkan dapat menuntaskan proses demokratisasi melalui berbagai bentuk pembiasaan. Di sinilah kini Indonesia berada. Liberalisasi konsilidasi demokrasi telah mengantarkan negeri ini pada situasi pretentious democracy (demokrasi seolah-olah—demokrasi yang melebih-lebihkan sesuatu demi terlihat lebih baik—pada hal sesungguhnya keropos).
Itulah sebabnya pola kepemimpinan nasional sebenarnya juga sangat menentukan dan bahkan mempercepat negeri ini segera memasuki fase konsolidasi demokrasi, agar tidak selalu terjebak dalam liberalisasi demokrasi, dasi demokrasi telah mengantarkan negeri ini pada situasi pretentious democracy yang menafikan local genius demokrasi atau genius loci dem0krasi.
Berbagai perangkat regulasi disiapkan untuk mengawal memasuki fase konsolidasi demokrasi mulai dari regulasi di bidang pemilu hingga penanganan konflik sosial. Dengan cara demikian tidak akan terjadi demokrasi seolah-olah. (*)
There is no ads to display, Please add some