Guru Besar Tata Negara FH UGM: Penjahat HAM Bisa Menjadi Pahlawan

beritabernas.com – Guru Besar Tata Negara FH UGM Prof Zaenal Arifin Mochtar mengatakan, penjahat HAM (Hak Asasi Manusia) pun bisa menjadi pahlawan. Dengan demikian, ada barisan penjahat HAM yang akan bersiap menjadi pahlawan nantinya.

“Sesama penjahat HAM memang saling membantu,” tulis Prof Zaenal Arifin Mochtar yang akrab disapa Uceng yang dikutip beritabernas.com dalam status di akun Facebooknya, Senin 10 November 2025.

Dengan mengunggah selembar kertas berisi nama 10 orang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang ditandatangani Mayjen TNI Kosasih SE, Sekretaris Militer Presiden, tertanggal 6 November 2025, Prof Zaenal Arifin Mochtar, menarasikan dalam status facebooknya bahwa selembar kertas ini bermakna banyak.

Pertama, kepantasan. Ada yang pantas dan ada yang tidak. Kedua, kepongahan. Sejarah mesti dibelokkan demi kehendak keluarga dan kroco aktif yang hidup dengan memujanya sedari dulu. Ketiga, kekaburan nilai kepahlawanan.

Keempat, penjahat HAM pun bisa jadi pahlawan, dan artinya ada barisan penjahat HAM yang akan bersiap menjadi pahlawan nantinya. Kelima, sesama penjahat HAM memang saling bantu. Keenam, tebal muka dan mati rasa. Ketujuh, rakyat yang bukan hanya pelupa tapi akan direkayasa untuk lupa. Kedelapan, memistifikasi keluarga sebagai pahlawan. Kesembilan, mencuci dosa sejarah dan tangan berdarah. Kesepuluh, kita harus menjadi saksi atas itu semua.

Baca juga:

Dalam surat yang diungah Prof Zaenal Arifn Mochtar itu di akun facebokknya, tercantum 10 nama orang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yakni KH Abdurrahman Wahid (Presiden keempat RI), Jenderal Besar TNI HM Soeharto (Presiden kedua RI), Marsinah (seorang buruh), Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (mantan Menlu RI), Hajjah El Yunisiyyah (tokoh pendidikan), Jenderal (Purn) TNI Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahudin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih dan Zainal Abidin Syah.

Sementara Erizeli Jely Bandaro, seorang ekonom dan pegiat media sosial, di akun Facebooknya, mengatakan bahwa di banyak negeri, gelar pahlawan terdengar seperti doa: khidmat, tinggi, seakan dipinjam dari langit. Namun sejarah yang jujur tahu sesuatu yang lain: Pahlawan tidak selalu lahir dari moral, sering kali ia lahir dari keputusan politik.

Menurut Erizeli Jely Bandaro, gelar kepahlawanan adalah hasil tiga kekuatan narasi negara, legitimasi kekuasaan dan ingat­­an kolektif yang dipilih.

“Kekuasaan bisa menulis buku pelajaran. Kekuasaan bisa mengangkat nama. Kekuasaan bisa membangun patung. Tapi sejarah-lah yang mengadili,” tulis Erizeli dikutip beritabernas.com dari akun Facebooknya, Senin 10 November 2025.

Dikatakan Erizeli, jika sebuah gelar diumumkan: Apa dasarnya? Apa rekam jejaknya? Siapa yang diuntungkan oleh gelar tersebut?

Menurut Erizeli, rakyat bukan objek seremoni, tetapi subjek sejarah. Pahlawan sejati tidak membutuhkan gelar untuk hidup dalam ingatan. Pahlawan sejati dikenang, bukan diresmikan. Ada banyak nama besar yang tidak pernah mendapat gelar, tetapi hidup abadi dalam kesadaran bangsa. Ada pula nama yang mendapat gelar, tetapi tidak pernah hidup di hati rakyat. (phj)


    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *