beritabernas.com – Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bukan monster, namun merupakan alat untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Karena itu harus dikendalikan manusia karena masa depan umat manusia akan ditentukan oleh inovasi teknologi. Maka, inovasi teknologi harus berpusat pada keutamaan martabat manusia.
Hal itu disampaikan Luhut Binsar Panjaitan, Ketua Dewan Ekonomi Indonesia, dalam pidato pembukaan Konferensi Algorethics and Governance, yang diselenggarakan oleh Scholas Occurentes di Saint John Paul II Auditorium, Pontifical Universita Urbaniana, Vatikan. Hadir pada konferensi itu para peserta dari banyak negara, antara lain Indonesia, Brasil, Argentina, Spanyol, Albania, Mozambik, Ukraina, Polandia dan Italia. Scholas Uccurentes adalah Yayasan Kepausan. Pada 19 Mei 2022, Paus Fransiskus meresmikan Scholas Occurrentes International Movement di Pontifical Urbaniana University, Vatikan.
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, Juni 2024 dalam konvensi international tentang Generative Artificial Intelligence and Technocratic Paradigm yang diselenggarakan Centesimus Annus Pro Pontifice Vatican Foundation, AI sebagai alat yang berpotensi ampuh untuk kebaikan. Tetapi Paus menekankan kebutuhan mendesak untuk mengembangkan dan menggunakannya secara etis, dengan fokus pada pelayanan terhadap martabat manusia dan kebaikan bersama.

Dalam pidato tentang tanggung jawab moral untuk membangun AI yang melayani dan meningkatkan kemanusiaan, dalam siaran pers KBRI Tahta Suci Vatikan yang diterima beritabernas.com, Senin 17 November 2025, Luhut antara lain mengatakan AI membawa janji yang besar untuk penemuan, pembelajaran dan kreativitas umat manusia.
Namun, kata Luhut, AI juga dapat mendistorsi kebenaran dan memperlebar ketidakadilan jika tidak didasarkan pada tujuan etis. Untuk itu IA harus selalu menjadi alat untuk kemanusiaan yang didasarkan pada keadilan, kasih sayang, dan solidaritas.
Luhut juga mengutip pesan Paus Fransiskus yang menyatakan, bahwa teknologi tidak boleh merendahkan derajat dan martabat manusia. Untuk itu, AI harus mendukung pembelajaran, meningkatkan kesempatan, dan memperkuat hubungan antar manusia. “AI harus menerangi potensi manusia dan bukan menutupi potensinya,” kata Luhut.
Menurut Luhut, pendidikan merupakan alat untuk meningkatkan kemanusiaan. Untuk itu, di Indonesia telah diperkenalkan sebuah gerakan metode pembelajaran dengan nama GASING (GAmpang, aSIk, menyenaNGkan). Metode ini dikembangkan oleh Yohanes Surya sehingga menjadikan pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan bukan sebuah ketakutan.
Metode Gasing adalah suatu metode pembelajaran matematika dengan langkah demi langkah yang membuat anak menguasai matematika secara gampang, asyik dan menyenangkan. Metode ini, misalnya pada tahun 2008, diperkenalkan dan diterapkan pada siswa di Tolikara, Papua, tempat di mana indeks manusianya paling rendah di Indonesia saat itu. Di Tolikara, ketika itu, seorang siswa SMA belum bisa menghitung operasi perkalian 1-10, bahkan mengoperasikan penjumlahan masih belum lancar.
Baca juga:
- Dubes Vatikan: Tiga Hal Ini Berkontribusi Besar dalam Membangun Bangsa Indonesia
- Dubes Vatikan kepada PWKI: Dalam Melaporkan Berita Harus Dilandasi dengan Kasih Sejati
Anak daerah itu dibawa ke Jakarta untuk diberikan pelatihan. Dalam waktu 6 bulan, siswa itu mampu menguasai seluruh materi SD, yang seharusnya diajarkan selama 6 tahun.
Pendidikan dengan menggunakan Metode Gasing ini telah dilakukan di wilayah Indonesia mulai dari Papua sampai dengan Sumatera dimana anak-anak belajar melalui tawa, permainan dan nyanyian. Dengan metode ini pendidikan merupakan alat untuk transformasi dan bukan hanya sebagai informasi.
Berpusat pada manusia
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus beberapa waktu lalu, bahwa AI harus berpusat pada manusia, Luhut menyatakan perlu seruan global untuk pengembangan AI yang berpusat pada manusia, yakni melindungi martabat manusia dalam semua sistem yang dibangun.
Selain itu juga mendorong inklusifitas sehingga setiap komunitas dapat berpartisipasi dalam era AI; Memperkuat pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan yang berkeadilan. Yang tidak kalah penting, kata Luhut, adalah melestarikan identitas budaya dan jangan membiarkan teknologi menghancurkannya.

“AI hendaknya mengangkat kemanusiaan dengan memprioritaskan pada orang-orang yang miskin dan rentan,” kata Luhut.
Di akhir pidatonya, Luhut mengatakan bahwa konferensi-konferensi saja tidak cukup. Tetapi harus dilanjutkan dengan tindakan nyata. Negara-negara lain, bisa belajar dari Indonesia, misalnya yang sudah menerapkan Metode Gasing. Ia kembali menegaskan bahwa AI yang merupakan transformasi besar umat manusia “harus tetap sebagai alat” di tangan manusia.
Sementara itu, KBRI Takhta Suci Vatikan, mengatakan, akar Scholas Occurrentes dapat ditemukan dalam proyek-proyek pendidikan yang diciptakan untuk anak-anak di daerah miskin di kota Buenos Aires, atas prakarsa Uskup Agung saat itu, Kardinal Jorge Mario Bergoglio. Sejak berdirinya, yayasan ini telah berkembang menjadi jaringan sekolah di seluruh dunia yang berbagi aset mereka, dengan tujuan bersama dan perhatian khusus kepada mereka yang paling membutuhkan.
Misinya adalah menjawab panggilan untuk menciptakan budaya perjumpaan dan menyatukan kaum muda. Di Indonesia Yayasan Scholas Uccurentes ini antara lain berkarya di Bogor. (phj)
There is no ads to display, Please add some