beritabernas.com – Guru Besar FH UII Prof Muhamad Syamsudin SH MH mengatakan bahwa perlu adanya kepastian regulasi terkait proteksi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat (terutama Hak Ulayat). Selain itu, perlu konservasi (pelestarian) hak-hak masyarakat adat seperti Hak Ulayat sebagai warisan tradisional.
Di samping itu, perlu pengelolaan dan pemanfaatan Hak Ulayat untuk kesejahteraan masyarakat adat serta perlunya legal standing (kedudukan hukum) yang jelas dari representasi masyarakat adat.
Hal itu disampaikan Prof Muhamad Syamsudin dalam seminar nasional dengan tema Mengurai Problem Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat: Peran Hukum Perdata dan Pendekatan Hukum Profetik yang diadakan FH UII di Auditorium Kampus FH UII Lantai 4, Kampus Terpadu UII, Kamis, 20 November 2025.
Menurut Prof Muhamad Syamsudin, dalam PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, obyek pendaftaran tanah meliputi bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Selain itu, tanah hak pengelolaan; tanah wakaf, tanah Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, HakTanggungan dan Tanah Negara.
Dengan demikian, Hak Ulayat bukan termasuk obyek yang wajib didaftarkan. Hal ini juga diperkuat dengan putusan MK 35/2012 yang mengeluarkan Hutan Adat dari Tanah Negara, sehingga Hak Ulayat Hutan bukan menjadi obyek pendaftaran tanah.
Karena itu, menurut Prof M Syamsudin, yang harus dilakukan adalah iventarisasi karena obyeknya merupakan warisan kekayaan komunal tradisional berbasis pada Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945. Jadi bukan rezim pendaftaran tapi rezim iventarisasi.
Baca juga:
- Mahasiswa Prodi Kenotariatan Program Magister FH UII Lakukan Kuliah Lapangan di Kementerian ATR/ BPN dan Direktorat Jenderal AHU
- Bangun Ekosistem Hukum Terintegrasi Berbasis Teknologi, FH UII Meluncurkan Law UII App
- Pusat HKIHTB FH UII: Keamanan Siber jadi Fondasi Kepercayaan Sosial dan Pilar Keamanan Nasional
Selain itu, iventarisasi, klasifikasi, konfirmasi dan pembukuan Hak Ulayat. “Yang melakukan iventarisasi adalah masyarakat adat sendiri (didampingi oleh ahli) kemudian dikonfirmasikan ke pihak pemerintah (BPN),” kata Prof M Syamsudin.
Problem masyarakat adat saat ini
Prof M Syamsudin mengatakan problem masyarakat adat saat ini adalah adanya sengketa antara masyarakat adat versus Negara baik sebagai pelaku/ penjamin hak atas kepentingan perusahaan atau proyek-proyek bermodal besar.
Sementara obyek sengketa adalah tanah-tanah adat (Hak Ulayat) yaitu hak bersama atas tanah yang berupa sumber-sumber daya ekonomi seperti hutan, sungai, sumber bahan tambang, padang penggembalaan ternak, semak belukar maupun tanah-tanah pertanian yang sehari-hari diyakini dan dijamin sebagai hak komunal dari masyarakat adat.
Prof M Syamsudin menyebut sejumlah data. Pertama, terdapat lebih dari 250 konflik antara masyarakat adat dengan “negara” atau perusahaan hingga 2024 (AMAN, 2024); kedua, terdapat 2,8 juta hektar perampasan wilayah adat dengan tindak kriminalisasi dan kekerasan yg menyertai (AMAN, 2024). Ketiga, terdapat 250 kasus konflik masyarakat adat dengan negara dan perusahaan dalam kasus penambangan nikel di Halmahera, pembukaan sawit di Kalimantan, hingga proyek infrastruktur di tanah Papua dan Nusa Tenggara (AMAN, 2024).
Selain itu, keempat, masyarakat adat kehilangan 11,7 juta hektar wilayah adat akibat izin-izin ekstraktif. Hampir 1.000 kasus kriminalisasi terjadi terhadap para pembela masyarakat adat (AMAN, 2024). Kelima, hampir semua izin, baik kehutanan, sawit, tambang, maupun proyek strategis nasional, tidak pernah melalui proses Free Prior Informed Consen /FPIC (AMAN, 2024); dan keenam, terdapat 241 kasus konflik agraria yang melibatkan lebih dari 160 ribu keluarga, sebanyak 42 persen di antaranya melibatkan pemerintah atau BUMN sebagai pihak utama (KPA, 2024).
Dampak terhadap Masyarakat Adat dari sengketa tersebut adalah merugikan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, baik materiil, nonmateriil, jiwa, dan tempat tinggal. Bahkan dalam kenyataan terjadi proses marjinalisasi (peminggiran) posisi Masyarakat Adat dan Hukum Adat oleh Hukum Negara, yaitu proses sistemik yg meminggirkan keberadaan masyarakat adat dan kedudukan Hukum Adat yang semula dianggap penting dan berharga bagi masyarakat adat dan menegasikannya menjadi hal yang kosong dan tak berarti (keberadaannya dan hak-haknya tidak terlindungi).
“Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan, masyarakat adat kalah, karena keberadaanya tidak diatur dan diakui oleh Perda setempat,” kata Prof M Syamsudin.
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Prof M Syamsudin, perlu dilakukan Pendekatan Hukum Profetik, yakni hukum yang nilai-nilai, asas-asas, prinsip-prinsip dan norma-normanya mengintegrasikan dan mentransformasikan nilai-nilai profetik untuk menjadi spirit, dasar pengaturan dan perilaku hukum dari para pengemban hukum.
Nilai-nilai profetik bersumber dari wahyu dan perilaku nabi (sunnah) yang ditransformasi dan diformulasi menjadi 3 landasan nilai yaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (tukminuna billah).

“Ketiga nilai dasar itu yang menjadi “spirit” sekaligus “isi” dari setiap norma hukum dan perilaku hukum dari para pengemban hukum shg hukum itu “bermakna”,” kata Prof M Syamsudin.
Dikatakan, proses integrasi dan transformasi nilai-nilai profetik ke dalam spirit dan norma-norma hukum melalui strategi internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi (Peter L Berger). bjektifikasi dapat berbentuk konstitusi, perundang-undangan, putusan pengadilan, kontrak, doktrin, kebiasaan dan sebagainya sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai profetik.
Menurut Prof M Syamsudin, m=Masyarakat Adat dapat dikategorikan sebagai kaum “mustad’afin” yaitu kelompok lemah/rentan/marginal yang perlu mendapatkan perlindungan dari negara (pemerintah)
melalui kebijakan-kebijakannya.
Maka tugas negara/pemerintah adalah melakukan “humanisasi dan liberasi” atas keberadaan dan hak-hak dari Masyarakat Adat sbg ‘kaum mustad’afin’ yang posisinya lemah/rentan/terpinggirkan. Humanisasi dan liberasi terhadap Masyarakat Adat bisa dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang melindungi dan mencegah terjadinya marginalisasi atas keberadaan dan hak-hak yang ada pada Masyarakat Adat.
“Jika negara/ pemerintah tidak melindungi dan mencegah terjadinya marginalisasi atas keberadaan dan hak-hak mereka, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan ’dhalim’ atau aniaya atau sewenang-wenang terhadap kelompok masyarakat adat,” kata Prof M Syamsudin. (phj)
There is no ads to display, Please add some