Oleh: Soni de Rosari
beritabernas.com – ARAH pernyataan Jokowi: “belum tentu yang elektabilitasnya tinggi dicapreskan partai,” gamblang terbaca arah ujungnya, yakni Ganjar Pranowo. Bagaimana PDI Perjuangan harus menyikapinya?
Sedikitnya ada dua alasan soal arah ini. Pertama, Ganjar dalam survey capres beberapa lembaga peneliti selalu menempati posisi elektabilitas tertinggi. Kedua, hal ini disampaikan dalam acara “Bravo 5”, Jumat 26 Agustus 2022. Ormas pendukung Jokowi ini dalam beberapa hal punya irisan politik yang cukup tinggi dengan Ganjar terutama terkait ideologi dan visi nasionalisme.
Pernyataan Jokowi ini makin gamblang ketika mengatakan, “Di konstitusi kita, di undang-undang kita itu memang harus diusung partai atau gabungan partai. Artinya Bapak/Ibu jangan mendukung kandidat itu sekarang.”
Coba bidik frasa “jangan mendukung kandidat itu sekarang”. Apakah itu dimaksudkan, katakanlah pada dua figur selain Ganjar, yakni Anies Baswedan atau Prabowo Subianto? Rasanya tidak.
Mengapa Elektabilitas Ganjar Meroket?
Bagi saya andil PDI Perjuangn sangat besar. Dan sayangnya andil ini dalam konteks negatif. Perlakuan PDI Perjuangn terhadap Ganjar yang tidak elegan ditambah pernyataan-pernyataan pengurus partai yang kurang menjaga etika politik adalah pemicu melejitnya elektabilitas Ganjar.
Lihat saja bagaimana mungkin dalam acara Puan Maharani di Semarang (22/5/2021) Ganjar selaku Gubernur Jateng dan kader PDI Perjuangan tidak diundang. Padahal seluruh kader eksekutif, legislatif dan struktur partai diundang.
Puan saat itu melontarkan sindiran yang arahnya terbaca ke Ganjar: “Kriteria pemimpin itu bukan sering muncul di medsos tapi di lapangan.” Ganjar memang aktif di medsos. (Catatan saya: Puan akhir-akhir malah sering banget muncul di medsos. Di instagram belakangan ini tidak hari tanpa postingan Puan).
Pernyataan pengurus lainnya seperti Bambang Pacul yang mengatakan Ganjar kemajon, kemintar. Bahkan Bambang mengatakan bahwa dirinya tidak peduli dibuly di medsos saat menuding Ganjar bikin tambah runyam.
Sikap dan pernyataan ini adalah blunder politik. Massa basis pun marah sehingga muncul perlawanan “Banteng vs Celeng”. Harus disadari sikap seperti ini bisa menjadi bumerang yang bakal menggerus PDI Perjuangan. Kalah dalam Pemilu dan kalah dalam Pileg. Dan ini ada fakta empirisnya.
Buktinya, kita mundur ke Pemilu 1999. Kala itu Indonesia Metal (merah total). PDI Perjuangan menang telak 33,7 persen. Jelang pilpres 2004, SBY, saat itu Menko Polkam di bawah Megawati, dikabarkan bakal maju capres. Berita selanjutnya SBY dikabarkan disia-siakan Megawati bahkan Taufiq Kiemas menuding SBY sebagai jenderal cengeng.
Simpati dan empati publik pun mengental ke SBY. Tidak dapat disangkal karena mayoritas pemilih kita berkarakter konstituen sinetron atau drama korea. Gampang berpihak pada figur yang disia-siakan.
Akibatnya, Pemilu 2004 perolehan suara PDIP terjun bebas ke 18%. Dan Megawati yang nyapres dengan Hasyim Muzadi kalah dari SBY-JK.
Pengalaman jelang Pemilu 20 tahun lampau seharusnya menjadi guru politik bagi PDI Perjuangan. Setidaknya janganlah memperlakukan Ganjar seperti di Semarang plus pernyataan yang tidak elegan. Karena perlakuan inilah yang terbukti mengerek popularitas Ganjar.
Bagi saya kalau memang Ganjar terindikasi mau maju capres bisa diselesaikan secara internal. Sebagai politisi Ganjar pasti paham akan tiga hal. Pertama, sebagai kader PDI Perjuangan ya harus patuh pada partai. Itu harga mati.
Kedua, kesuksesan menempati posisi Gubernur Jateng selama dua periode sepenuhnya karena dukungan PDIP. Paling tidak karena PDIP mencalonkannya dan mesin partai bekerja.
Ketiga, Ganjar, seperti halnya Jokowi di atas, pasti paham betul untuk bisa maju sebagai capres ada syarat utama dibawa, yakni harus punya kendaraan yang bernama partai politik.
Lha kalau Ganjar buka front head to head dengan PDIP berarti harus nyari partai lain. Tentu tidak gampang. Dan “menantang” partai tentu akan menjadi track record buruk bagi Ganjar untuk dilirik partai lain.
Ini pasti disadari sepenuhnya oleh Ganjar dan kader yang maju capres. Dan harus menjadi senjata pamungkas partai. Jadi untuk apa PDIP buka front menuding kader. Diamkan saja pasti gugur sendiri.
Waktu masih ada bagi PDIP untuk rebut kursi RI-1 di 2024. Janganlah blunder yang nantinya malah membesarkan pihak yang dianggap rival.
Kemarin di Lampung (saya lihat di video yang diposting akun IG Puan) Puan Maharani mengatakan 2024 terbuka kemungkinan presiden adalah seorang perempuan. Sangat mungkin itu Mbak Puan. Ayo kerja keras, rebut simpati dan empati publik. Jangan bangun front permusuhan yg bisa jadi blunder dan bumerang. (Soni de Rosari, pengamat sosial politik, tinggal di Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some