Oleh: Laurensius Bagus, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
beritabernas.com – Tanah selalu menjadi persoalan paling sensitif dalam perjalanan bangsa ini. Dari tanah, rakyat menggantungkan hidupnya. Dari tanah pula, negara membangun legitimasi kekuasaan. Tetapi di tengah dinamika pembangunan yang kian cepat, tanah semakin jarang dipandang sebagai ruang hidup rakyat. Ia direduksi menjadi angka-angka investasi, hektar demi hektar yang dilelang, dijual, atau disewakan untuk kepentingan industri dan korporasi besar.
Di balik jargon pembangunan, ada wajah lain yang jarang diperlihatkan: penggusuran, kriminalisasi, dan perampasan ruang hidup masyarakat kecil. Rakyat yang selama ini merawat tanahnya dengan penuh keterikatan justru dianggap penghalang, sementara pemodal yang baru datang disambut dengan segala fasilitas. Relasi kuasa ini membuat rakyat kerap berada di posisi paling lemah, berhadapan langsung dengan aparat, hukum, dan regulasi yang tidak berpihak.
Krisis agraria tidak lagi bisa dipandang sebagai masalah pinggiran. Ia sudah menjadi pusat dari berbagai persoalan besar bangsa: ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, krisis pangan, hingga kemunduran demokrasi. Ketika tanah hanya dikuasai segelintir orang, otomatis kekuasaan ekonomi dan politik juga terkonsentrasi di tangan kelompok yang sama. Demokrasi kehilangan makna karena mayoritas rakyat tidak punya ruang hidup yang cukup untuk mandiri.
Dalam konflik agraria, rakyat selalu menjadi korban ganda. Pertama, mereka kehilangan tanah yang menjadi sumber kehidupan. Kedua, ketika mereka memperjuangkan haknya, justru berhadapan dengan aparat yang menggunakan kekerasan. Di banyak kasus, warga yang mempertahankan tanahnya dicap melawan negara. Aparat hadir bukan untuk mengayomi, melainkan mengamankan kepentingan modal. Demokrasi yang seharusnya menjamin ruang partisipasi berubah menjadi arena represi.
Baca juga:
- Peran UMKM dalam Kemajuan Perekonomian Indonesia
- Otonomi Khusus Papua Selatan, Antara Janji Kesejahteraan dan Realita Pengkhianatan
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Pengaruh Modernisasi Terhadap Kedaulatan Budaya Suku Malind dari Perspektif Sosial
Ketika tanah berubah fungsi besar-besaran untuk perkebunan monokultur, tambang, atau infrastruktur, dampak ekologis langsung dirasakan rakyat kecil. Sungai yang dulunya bersih berubah menjadi saluran limbah. Hutan yang dulu menjaga air kini gundul dan melahirkan banjir setiap musim hujan. Sawah kehilangan irigasi, udara penuh debu, dan kesehatan warga memburuk. Semua kerugian itu tidak pernah ditanggung oleh perusahaan, melainkan oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Krisis agraria juga melahirkan paradoks pangan. Negeri yang subur justru semakin bergantung pada impor. Tanah yang seharusnya bisa ditanami padi atau jagung justru digunakan untuk komoditas ekspor seperti sawit atau industri ekstraktif. Petani kehilangan tanah, dan pada saat yang sama negara kehilangan kemampuan untuk menjamin kedaulatan pangan. Inilah wajah nyata dari pembangunan yang salah arah: rakyat lapar di negeri yang kaya.
Persoalan agraria sejatinya adalah persoalan distribusi. Tanpa distribusi tanah yang adil, segala bentuk reformasi hanyalah formalitas. Sertifikat tanah memang memberi kepastian bagi mereka yang sudah punya, tetapi tidak menjawab ketimpangan struktural. Mereka yang tidak memiliki tanah tetap hidup dalam ketergantungan. Bahkan ada masyarakat adat yang tanahnya diwariskan turun-temurun, tetapi tiba-tiba dinyatakan sebagai kawasan konsesi tanpa persetujuan mereka.
Demokrasi sejati menuntut keberanian untuk membela rakyat kecil. Tetapi yang terlihat selama ini, negara lebih sering memilih berpihak pada modal. Perizinan diberikan dengan mudah kepada perusahaan, sementara masyarakat harus berjuang keras hanya untuk diakui haknya. Mekanisme partisipasi publik jarang dijalankan, dan jika dijalankan pun hanya sebagai formalitas belaka. Demokrasi tanpa keadilan agraria hanyalah topeng yang menutupi praktik oligarki.
Konflik agraria yang berulang seharusnya menjadi alarm keras bahwa pendekatan negara keliru. Ketika suara rakyat diabaikan, mereka akan melawan. Perlawanan itu bisa muncul dalam bentuk demonstrasi, blokade jalan, hingga aksi pendudukan tanah. Dan setiap kali perlawanan terjadi, aparat hadir dengan tameng dan senjata. Kekerasan menjadi jawaban negara atas jeritan rakyat. Inilah titik paling rapuh dari demokrasi: ketika rakyat justru diperlakukan sebagai musuh.
Reforma agraria yang sejati tidak bisa lagi ditunda. Ia bukan hanya tentang memberikan sertifikat, melainkan membalikkan logika kepemilikan tanah yang timpang. Tanah harus diprioritaskan untuk rakyat kecil, bukan untuk korporasi yang hanya mencari keuntungan jangka pendek. Masyarakat adat perlu diakui secara penuh haknya, bukan sekadar diberikan pengakuan simbolik. Negara harus menghentikan praktik kriminalisasi petani dan mulai menggeser paradigma dari “pembangunan untuk modal” menjadi “pembangunan untuk rakyat”.
Keadilan agraria bukan sekadar urusan teknis, tetapi menyangkut masa depan bangsa. Negara yang membiarkan rakyatnya tercerabut dari tanah berarti membiarkan mereka kehilangan martabat. Tanpa tanah, rakyat tidak bisa berdiri tegak sebagai warga negara yang mandiri. Mereka akan selalu menjadi buruh murah di tanahnya sendiri, atau menjadi penganggur yang terpaksa mencari penghidupan di kota.
Jika negara benar-benar ingin memperkuat demokrasi, maka langkah pertama adalah mengembalikan tanah kepada rakyat. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual lima tahunan yang hampa. Bagaimana rakyat bisa percaya pada demokrasi jika setiap hari mereka harus berjuang hanya untuk mempertahankan ruang hidup?
Krisis agraria bukan sekadar konflik atas lahan, tetapi juga pertarungan makna negara. Apakah negara berdiri untuk melindungi rakyatnya, atau hanya menjadi alat yang memperkuat kepentingan modal? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah demokrasi ke depan. Jika tanah terus dikuasai segelintir elit, maka demokrasi hanya akan menjadi cerita kosong. Tetapi jika tanah dikembalikan pada rakyat, maka demokrasi akan tumbuh dari akar yang kuat.
Pilihan itu kini berada di tangan negara. Rakyat sudah terlalu lama menunggu janji reforma agraria ditepati. Mereka sudah terlalu sering menjadi korban atas nama pembangunan. Sudah saatnya negara berani membuktikan bahwa demokrasi bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang memberi ruang hidup bagi semua. Tanah untuk rakyat, atau tanah untuk modal? Sejarah akan mencatat pilihan yang diambil hari ini. (*)
There is no ads to display, Please add some