Amanat 5 September 1945, Peran Krusial Yogyakarta Menopang Republik

beritabernas.com – Anggota DPR RI Dr Raden Stevanus Christian Handoko S.Kom MM mengatakan, proklamasi 17 Agustus 1945 hanya permulaan. Karena Republik muda ini harus bertahan di tengah krisis legitimasi, kas negara kosong hingga bayang-bayang kembalinya penjajah.

Maka Amanat 5 September 1945 atau hanya 19 hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia menghadapi momen krusial yakni memilih bertahan sebagai negara merdeka atau runtuh sebelum sempat berdiri tegak

“Negara yang baru diproklamasikan harus segera membangun fondasi kuat di tengah situasi genting,” kata Dr Raden Stevanus C Handoko, Jumat 5 September 2025.

Di Jakarta ketika itu para pendiri bangsa bergerak cepat melalui sidang BPUPK dan PPKI. Mereka merumuskan dasar filosofis negara, menyusun rancangan Undang-Undang Dasar yang kelak menjadi hukum tertinggi. Rancangan ini mencakup bentuk negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, hingga hak-hak dasar warga negara.

“Perlu diingat, banyak tokoh besar yang berasal dari Yogyakarta, turut aktif dalam membantu memerdekakan Indonesia melalui BPUPK/PPKI,” kata Dr Raden Stevanus.

Baca juga:

Tokoh-tokoh asal Yogyakarta juga turut berperan penting, seperti Bandoro Pangeran Hario Purubojo, Bendoro Pangeran Hario Bintoro, Dr KRT Rajiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPK), Abdul Kahar Muzakir, Ki Bagus Hadikusumo, dan Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat). Mereka ikut serta dalam BPUPK maupun PPKI untuk memperjuangkan fondasi negara yang baru lahir.

Tak boleh dilupakan, Dr Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat, tokoh asal Yogyakarta yang menjadi Ketua BPUPK. Ia berperan penting karena melalui pertanyaan mendasarnya di awal sidang “Negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk, dasarnya apa?” Dengan pertanyaan itu, ia berhasil memicu lahirnya gagasan tentang Pancasila.

Menurut Dr Raden Stevanus, kondisi Indonesia pasca-proklamasi jauh dari stabil. Legitimasi pemerintah pusat masih rapuh, kas negara kosong, dan informasi kemerdekaan belum tersebar luas ke seluruh pelosok. Di sisi lain, pasukan Jepang masih bersenjata. Sementara sekutu termasuk Belanda melalui NICA bersiap kembali menancapkan kekuasaan di Indonesia.

“Kekosongan kekuasaan ini berpotensi memicu kekacauan, bahkan perpecahan bangsa. Situasi itu sangat berpotensi menggagalkan berdirinya negara yang merdeka,” tegas Dr Raden Stevanus.

Di tengah ketidakpastian itu, Yogyakarta mengambil langkah bersejarah. Pada 5 September 1945, hanya 19 hari setelah proklamasi, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat 5 September 1945.

Langkah ini bukan sekadar pengakuan, melainkan deklarasi politik yang luar biasa. Yogyakarta secara sukarela menyatakan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. “Keputusan ini memberikan legitimasi moral dan politik bagi pemerintah pusat yang baru terbentuk, sekaligus menjadi dorongan semangat bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Dr Raden Stevanus.

Dukungan Yogyakarta kala itu terbukti sangat krusial. Ia memenuhi syarat-syarat terbentuknya suatu negara: adanya rakyat yang mendukung, wilayah teritorial yang diakui, pemerintahan yang berdaulat, serta pengakuan dari negara lain.

“Dengan keberanian politik itu, Yogyakarta menjadi penopang penting bagi tegaknya Republik Indonesia,” kata Dr Raden Stevanus. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *