Biarkan Cendrawasih Tetap Menari di Tanah Papua, Martabatnya Jangan Dibakar

Oleh: Daniel Pana Werre, Mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial, STPMD ”APMD” Yogyakarta

beritabernas.com – Burung cendrawasih adalah simbol yang hidup dalam napas masyarakat Papua. Ia bukan sekadar satwa endemik yang tinggal di pucuk-pucuk pohon rimba, tetapi bagian dari harga diri orang Papua. Keindahannya yang memancarkan warna emas, putih, dan coklat bukan hanya memukau mata, tetapi juga menyampaikan makna yang dalam tentang hubungan manusia dan alam.

Bagi saya, cendrawasih adalah jiwa Papua yang mengepakkan sayapnya di langit biru, menjadi simbol keindahan dan spiritualitas yang diwariskan turun-temurun. Namun, dalam kenyataan sosial dan politik hari ini, simbol itu semakin terancam. Peristiwa pembakaran atribut adat yang terbuat dari bulu cendrawasih di depan Kantor BBKSDA merupakan tamparan keras bagi martabat masyarakat Papua.

Tindakan yang dilakukan atas nama hukum dan konservasi itu justru memicu luka sosial yang mendalam. Bagi saya, negara telah salah langkah. Memang, satwa ini dilindungi undang-undang. Tetapi membakar simbol adat-yang diwariskan dengan penuh makna-adalah tindakan yang tidak memahami esensi budaya yang ingin dilindungi.

Kita perlu bertanya: ketika negara memusnahkan benda adat yang memuat bulu cendrawasih, apa sesungguhnya yang mereka bakar? Sekadar properti yang dianggap ilegal? Ataukah simbol suci yang mengikat identitas Papua? Menurut saya, jawabannya jelas: yang dibakar adalah luka kolektif, bukan sekadar benda.

Dalam berbagai momen adat, cendrawasih hadir sebagai lambang kehormatan. Mahkota adat yang dihiasi bulu cendrawasih tidak bisa disamakan dengan barang perdagangan ilegal. Ia adalah tanda penghormatan terhadap leluhur dan alam. Ada proses panjang yang tidak terlihat tentang bagaimana masyarakat adat menjaga hutan, mengatur hubungan dengan makhluk lain, dan memastikan keseimbangan alam tetap terjaga.

Baca juga:

Mereka mengambil secukupnya, bukan serakah. Mereka menghormati kehidupan, bukan mengeksploitasi. Jika negara ingin menghentikan perburuan liar, maka seharusnya yang ditindak adalah pelaku komersialisasi, bukan masyarakat adat yang justru menjadi pelestari alam sesungguhnya.

Saya melihat bahwa persoalan ini terjadi karena minimnya pemahaman negara terhadap kearifan lokal Papua. Negara seolah hadir sebagai penguasa tunggal makna, menetapkan apa yang benar dan salah tanpa membuka ruang dialog dengan pemilik budaya itu sendiri. Padahal, budaya tidak bisa diatur hanya dengan pasal dan dokumen hukum. Budaya tumbuh dari nilai, pengalaman sejarah, dan rasa yang hidup di dalam masyarakat.

Lebih menyakitkan lagi, pada saat yang sama hutan Papua terus mengalami eksploitasi besar-besaran. Tanah digusur, pohon ditebang, dan hewan kehilangan habitat mereka. Di mana negara ketika cendrawasih kehilangan rumahnya? Di mana suara keras dalam melindungi hutan yang menjadi panggung tarian burung itu?

Ada ironi besar di sini: Bulu cendrawasih pada mahkota adat dianggap ancaman, tetapi pembabatan hutan justru dianggap pembangunan. Saya beropini bahwa ini bukan hanya masalah hukum, melainkan masalah cara pandang. Negara terlalu fokus mengatur simbol, tetapi lupa melindungi esensi. Perlindungan satwa tanpa perlindungan adat hanya membuat kebijakan kosong tanpa ruh.

Jika pemerintah benar-benar ingin menjaga cendrawasih, maka lindungilah hutan Papua. Berikan ruang kepada masyarakat adat sebagai penjaga alam, bukan menjadikan mereka objek penertiban. Saya percaya bahwa jalan terbaik adalah dialog yang setara. Masyarakat Papua tidak menolak aturan. Mereka hanya ingin dihormati. Mereka ingin budaya mereka dihargai sejajar dengan hukum yang berlaku. Mereka ingin negara melihat bahwa mahkota adat yang dihiasi bulu cendrawasih bukan barang kriminal, tetapi dokumen hidup tentang identitas.

Dengan berdialog, negara bisa memahami bahwa pelestarian alam tidak bisa dipisahkan dari pelestarian budaya. Tidak ada cendrawasih tanpa Papua, dan tidak ada Papua tanpa cendrawasih. Dua entitas itu menyatu dalam sejarah dan kehidupan.

Ketika saya membayangkan cendrawasih menari di pucuk pohon setinggi langit, saya melihat harapan. Selama tarian itu masih berlangsung, saya percaya bahwa jati diri Papua masih terjaga. Tetapi bayangkan suatu hari nantinya: ketika tarian itu berhenti, ketika hutan menjadi sunyi, ketika burung itu menghilang dari pandangan kita. Apa yang akan tersisa? Apakah bangunan tinggi dan jalan raya bisa menggantikan roh Papua? Tentu tidak.

Karena itu, saya menolak keras tindakan yang merendahkan simbol budaya kami. Saya menolak pembakaran mahkota adat sebagai solusi. Saya menolak anggapan bahwa masyarakat Papua adalah ancaman bagi pelestarian satwa. Justru kami yang selama ini menjaga burung cendrawasih tetap ada. Kami yang menghayati hubungan spiritual dengan burung itu. Kami yang memastikan bahwa burung itu tetap menari untuk generasi masa depan.

Saya ingin menegaskan bahwa menjaga cendrawasih bukan hanya tugas Papua, tetapi tugas seluruh bangsa Indonesia. Burung itu telah menjadi simbol keindahan nusantara yang dikenali dunia. Namun, siapa pun harus tahu bahwa simbol itu lahir dari tanah Papua dan darah masyarakat adat yang menjaganya.

Negara seharusnya hadir sebagai mitra budaya, bukan penghukumnya. Hadir sebagai penjaga identitas bersama, bukan perusak kehormatan daerah. Hadir dengan pemahaman, bukan pemaksaan.

Pada akhirnya, saya ingin menyampaikan satu pesan: Jika negara ingin melindungi cendrawasih, maka hormatilah juga budaya yang menghidupkan makna cendrawasih itu. Cendrawasih harus tetap menari di langit Papua dengan bebas, tanpa rasa takut pada manusia yang seharusnya menjadi penjaga, bukan pemadam kehidupan.

Selama sayapnya mengepak di atas hutan, selama tarian itu masih mengisi udara pagi Papua, selama masyarakat adat masih memegang teguh kearifan leluhur, maka kita percaya bahwa martabat Papua tak akan pernah padam.

Mari kita jaga tarian itu. Mari kita jaga martabat itu. Karena ketika cendrawasih berhenti menari, identitas kita pun bisa ikut mati. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *