Dialog Kempemimpinan di Paroki Warak: Ketua Lingkungan jadi Kekuatan Organisasi Gereja Katolik di Akar Rumput

beritabernas.com – Ketua lingkungan (Kaling) merupakan kekuatan organisasi Gereja Katolik di akar rumput. Sebab, merekalah yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan umat dan memahami kebutuhan konkret umat.

“Kekuatan sejati sebuah organisasi {Gereja Katolik, red) terletak pada kepemimpinan di tingkat paling bawah (ketua lingkungan, red). Mereka yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan kehidupan umat dan memahami denyut nadi kebutuhan umat serta dengan tulus mengasuh komunitas layaknya keluarga sendiri,” kata Albertus Magnus Nanda Widyatama dari Tim Pelayanan Litbang dan Pengembangan SDM Paroki Santo Petrus Warak dalam sarasehan (dialog) bagi para ketua lingkungan dan ketua wilayah di Kapel Santo Antonius Plaosan, Minggu 23 November 2025.

Acara yang dihadiri oleh 26 lingkungan lama, 1 lingkungan baru dan 7 wilayah dengan melibatkan puluhan pemimpin komunitas yang menjadi tulang punggung organisasi keagamaan di tingkat umat ini diadakan dalam rangka memperkuat kepemimpinan di tingkat akar rumput.

Acara sarasehan pengurus lingkungan dan wilayah di Kapel Santo Antonius Plaosan, Minggu 23 November 2025. Foto: Istimewa

Dalam sarasehan/dialog itu terungkap sejumlah tantangan nyata yang dihadapi oleh para pemimpin komunitas, seperti ketua lingkungan dan ketua wilayah serta pimpinan komunitas lainnya, yakni sulitnya mengajak umat untuk terlibat aktif dalam kegiatan komunitas. Selain itu, banyak umat, terutama generasi muda dan keluarga muda, memilih bergabung dengan komunitas lain (seperti klub olahraga) ketimbang komunitas lingkungan.

Tantangan lain adalah kesulitan mencari kader pemimpin baru yang bersedia melanjutkan kepemimpinan, rendahnya partisipasi dalam pertemuan dan kegiatan bersama dan tantangan berkomunikasi dengan warga yang memiliki aktivitas beragam.

“Ini hanya sebagian kecil dari kegelisahan yang muncul,” kata salah satu peserta. “Pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di sini, tapi dialami oleh banyak organisasi masyarakat di seluruh Indonesia,” lanjut peserta tersebut.

Filosofi kepemimpinan di organisasi gereja: melayani, bukan berkuasa

C Driya Tamtama, praktisi kepemimpinan komunitas dari Magelang yang pernah menjabat sebagai Ketua Wilayah, Kepala Bidang dan Wakil Ketua Dewan selama beberapa periode, membagikan filosofi kepemimpinan yang menyentuh yakni “Pamong” (pemimpin) sejatinya adalah ngemong (mengasuh).
“Kepemimpinan bukan tentang jabatan atau kekuasaan, melainkan tentang kepedulian,” kata Driya Tamtama.

Seorang peserta sarasehan/dialog menyampaikan pertanyaan. Foto: Istimewa

Ia mengajarkan tiga prinsip dasar kepemimpinan yakni ngayemi (memberi rasa damai), nganyemi (memberi rasa nyaman), dan ngemong (merawat dan menjaga). Tamtama juga menekankan lima tugas pokok pemimpin komunitas, pertama, mengetahui kondisi riil setiap warga (siapa yang sakit, pindah, butuh bantuan); kedua, memastikan program berjalan dengan baik, bukan sekadar formalitas; ketiga, menjadi jembatan komunikasi dua arah antara organisasi dan warga; keempat, mempersiapkan regenerasi kepemimpinan; dan kelima, melakukan pendampingan personal, bukan hanya menyebarkan informasi.

“Lakukan pendekatan personal satu per satu, pastikan program relevan dengan kebutuhan warga dan berikan tugas kecil terlebih dahulu untuk melatih calon pemimpin baru,” saran Tamtama.

Filosofi yang diajarkan dalam sarasehan ini sejalan dengan tren kepemimpinan modern yang dikenal dengan istilah servant leadership (kepemimpinan yang melayani) yakni sebuah konsep yang kini banyak diadopsi oleh organisasi-organisasi progresif di seluruh dunia.

Pastor Ignatius Fajar Kristianto yang memberikan peneguhan spiritual menekankan pentingnya karakter pemimpin yang melayani: empati (kemampuan menempatkan diri dan memahami orang lain), manajerial yang tertib, integritas, keberanian mengambil risiko, dan visi untuk masa depan.

Baca juga:

“Pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki naluri alamiah untuk melayani terlebih dahulu. Tujuannya agar orang yang dilayani bertumbuh menjadi pribadi yang utuh dan mandiri,” kata Romo Fajar.

Ia juga mengingatkan bahwa kepemimpinan komunitas bukan tugas yang mudah tapi membutuhkan pengorbanan. “Jadikan keluarga sebagai pendukung utama, bagi tugas dengan baik, libatkan orang lain, dan tetaplah rendah hati,” kata Romo Fajar.

Sarasehan Paroki Santo Petrus Warak ini memberikan pelajaran berharga bagi organisasi masyarakat di Indonesia. Di tengah tantangan modernisasi yang membuat banyak orang lebih memilih komunitas berbasis hobi atau kepentingan sesaat, organisasi berbasis teritorial seperti RT, RW atau komunitas lingkungan di Gereja Katolik menghadapi dilema serupa.

Romo Ignatius Fajar Kristianto. Foto: Istimewa

Solusi yang ditawarkan sederhana namun revolusioner yakni kembali pada pendekatan personal, memastikan relevansi program dengan kebutuhan riil masyarakat dan memberikan kesempatan bertahap bagi calon pemimpin baru. “Bukan tradisi yang sudah tidak relevan yang harus dipertahankan, melainkan pelayanan yang menyentuh kebutuhan konkret warga,” tegas salah satu peserta.

Membangun fondasi kokoh

Dengan memperkuat kapasitas para pemimpin komunitas, Paroki Santo Petrus Warak sedang membangun fondasi kokoh untuk visi jangka panjang. Ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan investasi spiritual dan sosial yang menyasar pada esensi kepemimpinan: melayani dengan tulus.

“Ketika pemimpin diberdayakan, ketika kegelisahan didengar, ketika nilai-nilai kepemimpianan yang melayani ditanamkan, di situlah organisasi benar-benar hidup,” kata Richardus Sapto Hartono menutup acara.

“Bukan di gedung megah atau struktur formal, melainkan dalam hati para pelayan yang rela berkorban dan mengabdi dengan sepenuh hati,” kata Sapto Hartono menambahkan.

    Acara ini bukan sekadar pertemuan rutin, melainkan ruang untuk para pemimpin komunitas berbagi pengalaman, tantangan dan mencari solusi bersama.

    Richardus Sapto Hartono, Wakil Dewan Pastoral Paroki Harian (DPPH), menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari visi Guyub Gumbregah-membangun keguyuban dari tingkat komunitas terkecil hingga organisasi besar-sebagai persiapan menuju 2026 dengan target menjadi organisasi yang bahagia, menginspirasi dan menyejahterakan. (Hans Salvatore)



    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *