Oleh: Raden Roro Maria Anggraeni Paramita Sari
beritabernas.com – Pasar properti di Yogyakarta telah mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didorong oleh dua faktor utama yakni meningkatnya investasi properti dari luar daerah dan kebutuhan hunian bagi penduduk lokal.
Sebagai kota pendidikan dan pariwisata, Yogyakarta menarik minat banyak investor yang tertarik untuk memanfaatkan pertumbuhan sektor-sektor tersebut. Namun, fenomena ini memunculkan tantangan serius, terutama bagi warga lokal yang berpenghasilan rendah hingga menengah, karena harga properti yang terus meningkat.
Pertumbuhan investasi properti, terutama dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, telah meningkatkan harga properti di Yogyakarta secara drastis. Investor melihat properti di Yogyakarta sebagai aset yang memiliki potensi kenaikan nilai di masa depan, yang menyebabkan kenaikan harga tanah dan rumah hingga tak terjangkau oleh sebagian besar warga lokal.
Salah satu faktor utama dari kesenjangan ini adalah rendahnya Upah Minimum Regional (UMR) Yogyakarta, yang pada tahun 2024 berada di kisaran Rp 2,1 juta, jauh lebih rendah dibandingkan UMR Jakarta yang mencapai Rp 4,9 juta.
Di sisi lain, harga rumah di Yogyakarta terus melonjak. Menurut laporan yang dirilis oleh situs properti Lamudi, harga rumah di dalam kota Yogyakarta berkisar antara Rp 500 juta hingga lebih dari Rp 1,5 miliar, tergantung lokasi dan fasilitas.
BACA JUGA:
Di pinggiran kota seperti Sleman dan Bantul, harga rumah juga bervariasi antara Rp 300 juta hingga Rp 900 juta. Dengan pendapatan rata-rata warga lokal yang rendah, banyak yang kesulitan untuk bersaing dalam memiliki properti. Akibatnya, warga yang bekerja di sektor informal atau pariwisata tidak mampu mengimbangi kenaikan harga properti yang terus berlangsung karena daya beli yang rendah. Ketimpangan antara pendapatan lokal dan harga properti menciptakan kesenjangan yang semakin tinggi, terutama bagi penduduk asli Yogyakarta.
Dampak sosial ekonomi
Kondisi ini membawa dampak sosial-ekonomi yang cukup serius bagi warga lokal. Banyak dari mereka terpaksa menyewa hunian karena tidak mampu membeli rumah sendiri. Ketidakstabilan hunian ini memaksa warga sering kali berpindah tempat tinggal ketika kontrak sewa habis, sehingga mempengaruhi kualitas hidup, termasuk stabilitas keluarga dan pendidikan anak-anak.
Selain itu, ketidakmampuan warga lokal untuk memiliki properti di kotanya sendiri mengakibatkan tergerusnya identitas sosial-budaya Yogyakarta. Pergeseran demografis terjadi ketika penduduk asli berpindah ke pinggiran kota, sementara area perkotaan didominasi oleh investor luar. Pergeseran ini memperburuk hilangnya keterikatan budaya dan menciptakan jarak antara warga asli dengan pendatang.
Kesenjangan sosial juga semakin melebar antara mereka yang memiliki properti dan yang tidak. Investor luar daerah dengan modal besar mendominasi pasar properti, sementara warga lokal hanya mampu menyewa atau bahkan tidak memiliki akses terhadap hunian yang layak. Segregasi sosial berisiko terjadi, di mana kawasan-kawasan tertentu hanya dapat dihuni oleh kalangan dengan daya beli tinggi, sehingga menciptakan jurang sosial yang semakin besar di tengah masyarakat.
Pemerintah daerah berupaya menghadapi fenomena ini dengan berbagai intervensi, seperti program pemberdayaan ekonomi lokal dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, upaya ini belum cukup untuk mengatasi krisis akses properti. Rendahnya UMR dan tingginya harga properti tetap menjadi tantangan utama.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Pariwisata: Kunci Kemajuan Ekonomi Labuan Bajo?
- Menjaga Samudra Biru, Mencerahkan Pariwisata Bahari Labuan Bajo
Meski pemerintah pusat menyediakan subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, program ini tidak selalu efektif. Banyak perumahan bersubsidi berada di daerah yang jauh dari pusat kota dan kurang strategis, sehingga tidak menarik bagi warga yang bekerja di dalam kota. Selain itu, pengembang lebih tertarik membangun apartemen mewah atau properti komersial yang lebih menguntungkan, ketimbang menyediakan hunian rakyat.
Solusi kebijakan dan intervensi
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berfokus pada kebutuhan masyarakat lokal. Pemerintah perlu mendorong pembangunan hunian terjangkau di lokasi-lokasi strategis serta meningkatkan alokasi subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Peningkatan UMR juga merupakan langkah penting untuk memperkuat daya beli warga lokal. Sinergi antara pemerintah, pengembang properti dan bank sangat dibutuhkan untuk menciptakan skema pembiayaan yang lebih fleksibel, seperti sewa-beli atau cicilan ringan, agar warga lokal memiliki akses yang lebih baik terhadap kepemilikan hunian.
Langkah lain yang dapat diambil adalah memperketat regulasi terhadap investasi spekulatif yang berpotensi memperburuk keseimbangan pasar properti di Yogyakarta. (Raden Roro Maria Anggraeni Paramita Sari, Mahasiswi Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some