beritabernas.com – Stabilitas makro ekonomi Indonesia saat ini dipengaruhi dinamika ekonomi global yang bergerak cepat. Tingginya suku bunga acuan Bank Sentral AS (Federal Fund Rate/FFR) saat ini menjadi sumber spekulasi ekonomi global. Sampai saat ini FFR belum turun, sehingga investor mengalihkan investasi di mata uang dollar AS dan menjadikan mata uang tersebut cenderung menguat. Sementara di sisi lain mata uang Rupiah sedikit mengalami depresiasi.
Faktor lain adalah kondisi geopolitik, khususnya memanasnya hubungan Israel dengan Iran. Kondisi tersebut mendorong harga minyak dunia naik dan pasokan produk pangan dunai terganggu. Kedua hal tersebut dapat mendorong terjadinya inflasi di pasar domestik.
Hal itu disampaikan Indra Astrayuda (Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter) dalam acara BI Sapa Akademisi yang diadakan Departemen Komunikasi Bank Indonesia (Dekom BI) di Hotel The Stones, Legian, Bali.
Kegiatan tersebut berlangsung 2 hari yakni pada 6-7 Mei 2024. Pada hari pertama, digelar Focused Group Discussion (FGD) tentang Diseminasi Kebijakan Terkini BI dan pada hari kedua digelar seminar secara hybrid dengan topik Implementasi QRIS Tuntas.
Nita A Muelgini, Direktur Dekom BI, yang membuka acara tersebut mangatakan bahwa forum ini merupakan diseminasi kebijakan BI terkini yang ditujukan bagi akademisi dan peniliti. Menurut Nita, para akademisi dan peneliti diharapkan menjadi salah satu channel untuk menyalirkan informasi kebijakan BI baik dalam bentuk artikel opini di media, artikel riset di jurnal maupun sebagai materi kuliah.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Menurut Indra, kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global.
Kebijakan tersebut juga sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability. Untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global, BO terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial dan sistem pembayaran.
Dalam sesi kedua, Dhaha Praviandi Kuantan, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial, menyajikan makalah dengan topik Peran Kebijakan Makroprudensial dalam Mendorong Pertumbuhan Kredit. Menurut Dhaha, BI melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif tahun 2024. “Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan mendorong pertumbuhan kredit, menjaga ketahanan sistem keuangan serta mendorong keuangan inklusif dan hijau”, kata Dhaha.
BACA JUGA:
- Dewan Komisioner OJK: Kondisi Sektor Perbankan Indonesia Tetap Resilien
- Ibrahim Gantikan Budiharto Setyawan sebagai Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY
Dikatakan, BI akan memperluas cakupan kredit sektor usaha lewat industri perbankan dengan memanfaatkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan BI tersebut akan berpengaruh terhadap bank, khususnya di masa pengetatan suku bunga saat ini karena sektor cakupan itu akan menambah likuiditas ke perbankan Rp 81 triliun di pertengahan tahun dan diperkirakan bisa mencapai Rp 115 triliun sampai akhir tahun 2024, jelas Dhaha Praviandi Kuantan. Dengan demikian kebijakan makroprudensial lebih fokus ke pro-growth atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
“BI sejak tahun 2019 mengakselerasi pembayaran digital untuk memenuhi kebutuhan pembayaran,” kata Novi Maryaningsih, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran.
Menurut Novi, BI menerapkan QRIS pada tahun 2019 dan BI Fast pada tahun 2021. Selanjutnya BI telah melakukan uji coba QR Cross-border dengan Malaysia dan Thailand yang memungkinkan konsumen dan pedagang di kedua negara dapat melakukan dan menerima pembayaran barang dan jasa melalui QR Code.
Menurut Novi, QR Cross-border memiliki peran penting untuk meningkatkan efisiensi transaksi, mendukung digitalisasi perdagangan dan investasi, dan menjaga stabilitas makroekonomi dengan memperluas penggunaan penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal (LCS).
QR Cross-border diharapkan dapat meningkatkan transaksi UMKM, karena memudahkan konsumen mancanegara untuk bertransaksi saat membeli produk lokal. Di sektor pariwisata, para wisatawan asing nantinya cukup menggunakan QR Cross-border untuk bertransaksi dan sebaliknya.
Catatan dari FGD Diseminiasi Kebijakan Terkini BI adalah BI terus memperkuat bauran kebijakan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dari dampak rambatan global. Kebijakan BI harus mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, mencegah portfolio outflow maupun menjaga likuiditas dalam negeri dalam rangka menjaga stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan dan stabilitas fiskal,
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan moneter terus difokuskan pada menjaga stabilitas atau pro-stability. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem keuangan, pendalaman pasar uang, dan program ekonomi inklusif dan hijau terus diarahkan untuk menjaga dan mendorong momentum pertumbuhan atau pro-growth.
Menurut Y Sri Susilo, Dosen FBE UAJY yang juga salah satu peserta FGD dan anggota Anggota Forum Penulis Akademisi Kebijakan Bank Indonesia (Forum APIK BI), FGD diikuti oleh 40 akademisi dan peneliti yang mewakili perguruan tinggi dan lembaga riset di Indonesia.
Dikatakan, Dekom BI secara rutin menyelenggarakan FGD dengan mengundang akademisi dan peneliti setiap 3 bulan sekali. (lip)
There is no ads to display, Please add some