Hijab dan Bias Pendidikan Umum

Oleh: Cinde Laras Yulianto

beritabernas.com – Polemik tentang “paksaan mengenakan hijab” di DIY baru-baru ini seperti digiring  untuk disoroti secara aqidah iman beragama dan regulasi formalnya. Padahal kasus tersebut lebih tepat kalau disoroti dari perspektif niat awal politik pendidikan kita.

Alenia IV Preambule UUD 1945 di antaranya memuat tujuan dan fungsi pendirian Negara Indonesia yaitu dalam rangka “mncerdaskan kehidupan bangsa. Stressing permasalahan yang ingin ditekankan dalam kalimat ini adalah bahwa yang ingin dicerdaskan adalah “bangsa”, tentunya bangsa Indonesia sehingga software atau program yang disiapkan untuk merealisasikan the ultimate goal ini menggunakan label “Nasional” (Pendidikan Nasional).

Jadi tegas di sini pendidikan adalah urusan nation/negara/bangsa atau urusan umum, bukan urusan orang per orang atau urusan privat. Sehingga praktek pendidikan adalah praktek Public Service atau sebagai tempat negara melayani urusan umum (lembaga pelayanan).

Karena pendidikan adalah menyangkut urusan umum, maka dalam pelaksanaannya pendidikan harus mengedepankan kepentingan “umum” bukan kepentingan orang per orang atau privat, termasuk dalam hal berseragam.

Sekolah di Banguntapa, Bantul DIY itu adalah sekolah umum, bukan sekolah khusus (Agama). Di Sekolah umum mestinya busana guru-murid harus juga busana umum. Seperti dulu, anak sekolah tak boleh memakai Salib bagi yang Kristiani, tak boleh memakai jilbab untuk yang beragama Islam. Karena memang busana dan perhiasan tersebut adalah identitas yang bersifat pribadi ataupun khusus (Agama).

Guru dan murid, tentu boleh berjilbab kalau mengajar di sekolah khusus agama Kristiani, seperti di Sekolah Kataketik, dan lain-lain. Demikian pula dengan yang muslim, di sekolah agama khusus Islam seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, silahkan Guru-Murid berdandan dengan busana khusus, seperti berjilbab.

Di DIY, Rektor UGM yag sekarang memberi contoh yang baik. Meski dia muslim yang taat, bahkan konon putri dari Dosen Senior IAIN, namun karena UGM itu adalah sekolah umum, maka dia tidak berjilbab.

Memang repot kalau Agama terus “dimainkan” dalam kehidupan bernegara seperti sekarang. Adik saya lulusan UII tahun 2000, saat itu semua mahasiswanya tidak ada yang berjilbab seperti sekarang. (Cinde Laras Yulianto, pengamat sosial, politik dan budaya tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *