Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, The Political Economy of The Rent-Seeking Society
beritabernas.com – Kosa kata negara sebagai pemburu rente bukan hal yang asing bagi kita. Kosa kata ini menjadi kajian akademik di kampus-kampus. Kosa kata ini merujuk pada negara yang memperoleh sebagian besar pendapatan nasionalnya dari sumber daya alam, seperti minyak atau gas, alih-alih dari kegiatan produktif domestik seperti perpajakan dan produksi.
Ketergantungan pada pendapatan dari “rente” atau keuntungan dari sumber daya alam ini sering kali menyebabkan dampak politik dan ekonomi yang khas, seperti berkembangnya rezim otoriter dan terbatasnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan produktif.
Dalam artikel berjudul Rent Capitalism, State and Democracy (dalam buku State and Civil Society in Indonesia; Arief Budiman (editor, 1990), Olle Tornquist menyebutkan kemunculan kapitalisme yang berbeda dimana negara tidak hanya gemar campur tangan tapi juga sewenang-wenang tanpa mengindahkan kepentingan umum.
Menurut Tornquist, kekuasaan negara dan para pejabatnya bersandar pada praktek pemungutan rente. Pendapatan negara diperoleh melalui pemungutan rente atas produksi dan perdagangan minyak bumi. Pemburuan rente ekonomi ini merupakan penjarahan sumberdaya milik negara untuk mempekaya diri, rente atas administrasi publik dan rente atas aset-aset publik.
Bagi Tornquist, praktek pemburu rente merupakan basis material dari hubungan patron-klien dalam politik Indonesia. Menurut Tornquist, hubungan patron-klien memiliki basis material pada kapitalisme rente. Dimana kompetisi antar elite politik paska kolonial bersumber pada proses kemunculan negara sebagai arena utama akumulai keuntungan bagi elite-elite pemerintahan. Dalam konteks ini mereka berposisi sebagai kapitalis birokratik yang menumpuk kekayaan (rente) atas modal kewenangan yang dimilikinya.
Relasi patron klien
Kompetisi politik antar elite dipahami sebagai ketegangan para kapitalis birokratik dalam memperebutkan sumberdaya yang dimiliki oleh negara. Dalam model negara birokratik rente, negara bukan sebagai entitas yang utuh. Lembaga-lembaga negara terpecah menjadi beragam fraksi pejabat sipil dan militer yang terlibat dalam pertarungan kekuasaan untuk mengamankan tujuan masing-masing.
Model ini juga mengasumsikan bahwa setiap aktor dalam birokrasi memiliki tujuan-tujuan khusus dan akan menggunakan cara yang efektif untuk memperoleh capaian politiknya. Relasi patron-klien tidak lagi menjadi sesuatu yang harus diterima oleh client (karena warisan masa lalu), namun ia bebas memutuskan dan ia merupakan proses tawar-menawar dengan rasionalisasi keuntungan bagi client, dan ia bebas membuat keputusan.
Baca juga:
- Politik Pengelolaan SDA di Papua Selatan, dari Food Estate, Ekspansi Perkebunan hingga Perampasan Ruang Hidup Rakyat
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Dalam hal ini setiap aktor tidak punya posisi permanen dimana ia akan memberikan loyalitas kepada patron. Namun ia lebih mempunyai watak free rider karena bisa membuat alternatif dan menghitung secara rasional konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif. Alternatif yang dipilih adalah pilihan yang bisa memaksimalisasi self intereset-nya. Salah satu cara untuk mendapat capaian politik tadi adalah menggunakan relasi patron client, namun dibaca sebagai metode untuk mendapatkan akses ekonomi maupun politik yang lebih baik.
Dengan demikian, sistem kapitalisme yang terbangun sejak Orde Baru sampai saat ini, memiliki formasi sosial yang tidak harmonis. Sistem ini dibangun di atas kontradiksi baik di wilayah ekonomi maupun ranah politik. Kontradiksi dan krisis dalam wilayah prduksi (ekonomi) akan menimbulkan perubahan dalam struktur politik, karena konflik dan krisis pada dasarnya membutuhkan tatanan politik yang baru.
Pembacaan seperti itu menunjukkan bahwa formasi sosial kapitalisme Orde Baru akan selalu menghadapi ancaman penggerusan dari dalam (kontradiksi internal). Salah satunya adalah ketegangan antar kapitalis birokrat yang hubungannya dibangun berdasarkan koneksi politik.
Selain itu, kecenderungan rezim membangun patronase selalu akan mendapatkan tentangan dari faksi kapitalis yang menginginkan kompetisi ekonomi dijalankan. Ketegangan ini berkembangs ejak tahun 1980-an ketika negara mulai mengurangi perannya dalam yang brlebihan dalam pembangunan ekonomi.
State qua state
Dengan menggunakan analisa sejarah (historis), dalam konsepsi State Qua State (Michael Oakeshott dan Ben Anderson, 1983), memberi tekanan kuat pada Negara (state). Ia menjelaskan State Qua State (Negara sebagai negara) berarti negara dalam kapasitasnya sebagai negara, yang berfokus pada hakikat, fungsi, dan karakteristik esensialnya, alih-alih kebijakan, sejarah, atau hak-hak individu warga negaranya yang spesifik.
Istilah ini, yang dipopulerkan oleh Michael Oakeshott dan Benedict Anderson, digunakan untuk menganalisis kualitas-kualitas fundamental suatu negara, seperti kedaulatan, integritas teritorial, kerangka kelembagaan dan tujuan bersama yang dimiliki bagi para anggotanya.
Ben Anderson menyebutkan sebagai Old State New Society. Anderson berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan Rezim Orde Baru hanya dapat dimengerti secara baik dari kepentingan negara sendiri. Dia memberikan gambaran bahwa negara Indonesia modern sebagai kesatuan yang mengurus dirinya sendiri, yang mengejar pemenuhan kepentingannya sendiri dengan resiko berbenturan dengan kepentingan yang timbul dalam masyarakat.
Dalam analisisnya tentang relasi negara dengan masyarakat di Indonesia, Ben Anderson mempunyai kesimpulan bahwa terdapat pemisahan hubungan yang mendasar (disjunction fundamental) antara kepentingan negara dan masyarakat. Negara mengambil sikap menyisihkan diri dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang mandiri (otonom), sehingga kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan refleksi dari kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan kelas atau kelompok, dengan pengecualian modal luar negeri. Dalam pandangan ini maka terdapat ruang yang sempit (kecil) untuk partisipasi dari luar negera dan hampir tidak mempertimbangkan representasi kepentingan dari kelompok sosial di luar negara.
Tindakan negara ditujukkan untuk mempertahankan kekuasaannnya. Sehingga negara berkepentingan untuk mengamankan kendalinya atas sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari sumberdaya alam, terutama minyak bumi. Sokongan finansial negara pendonor membantu negara Indonesia sejak era Soeharto sampai era Prabowo Subianto menjadi entitas politik yang mandiri
Perpolitikan Indonesia Modern bisa dijelaskan dari model State Qua State. Model ini memberikan titik tekan yang berbeda dari pandangan yang melihat negara akan merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Dalam model ini, Negara dibaca: 1) Kekuatan tunggal, 2) Homogen, 3) Pemisahan hubungan yang mendasar (disjunction fundamental) antara kepentingan negara dan masyarakat. 4) Negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan dan kepentingan sendiri yang mandiri (otonom), sehingga kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan refleksi dari kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan kelas atau kelompok. 5) Dalam pandangan ini tidak terdapat ruang untuk partisipasi dari luar negara dan Negara sama sekali tidak mempertimbangkan representasi kepentingan dalam masyarakat.
Negara-bisnis
Mengapa negara campur tangan dalam ekonomi? Dan apa dampaknya pada hubungan negara dengan kelompok modal (Kelompok Bisnis)? Dalam menganalisi pertanyaan tersebut penulis menggunakan kerangka analisis Yahya Muhaimin (1990), Arief budiman (1991), Yoshihara Kunio (1988), yang memusatkan perhatian pada kondisi struktural ekonomi yang dihadapi Indonesia ketika lepas dari kolonialisme yang sangat mempengaruhi hubungan negara dengan kelas sosial.
Analisis Yahya Muhaimin ini melihat secara lebih jauh reaksi elite politik-pemerintahan terhadap dominasi Cina dan asing dalam perekonomian (minoritas) pasca kolonial. Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan menerapkan beberapa kebijakan yang nasionalistik yakni dengan menerapkan program Banteng yang dimulai tahun 1950 yang memberikan preferensi kepada para saudagar pribumi dalam alokasi devisa. Pada bulan Novemver 1959, pemerintah mengeluarkan aturan yang disebut PP Nomor 10 yang melarang pedagang Cina berusaha di daerah pedesaan. Selanjutnya tahun 1958 mulai menerapkan kebijakan nasionalisasi pada perusahan asing dan Cina. Termasuk pada 1961, pemerintah Indonesia menasionalsiasikan perusahan Cina terbesar pada waktu itu Kian Gwan.
Kerangka analisis Arief Budiman memusatkan pada industralisasi yang terlambat. Dengan melihat pengalaman pengalaman Rusia- seperti yang dipaparkan Gerschenkron- Arief Budiman menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh negara-negara generasi pertama yang melakukan industrialisasi dengan negara generasi berikutnya sangat berbeda.
Salah satu perbedaannya adalah peran negara yang semakin besar dalam negara yang terlambat melakukan industrialisasi. Mengapa negara semakin besar peranannya? Karena, modal yang diperlukan semakin besar. Sehingga, industralisasi di negara pertama bisa dilakukan oleh swasta, tanpa campur tangan negara. Sebaliknya, di negara-negara yang terlambat, ketrelibatan negara lebih banyak terutama untuk mengumpulkan modal. Selain itu, negara juga melakukan apa yang disebut Dieter Senghaas (1995) sebagai selective delingking untuk memperkuat ekonomi domestiknya.
Tesis utama dari buku Yoshihara Kunio yang berjudul The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (1988), menyatakan bahwa kaitalisme yang berkembang di Asia Tenggara adalah Kapitalisme Ersatz, alias kampitalisme semu. Apa itu Kapitalisme Ertsatz? Ersatz berasal dari bahasa Jerman yang berarti “subsitusi” atau “pengganti”. Kata ini kemudian digunakan dalam bahasa Inggris, dalam arti yang lebih berbeda, yakni “pengganti yang lebih inferiror”. Dengan demikian kapitalisme ersazt berarti bukan kapitalisme yang tulen, melainkan kapitalisme subsitusi yang lebih inferior.
Munculnya kapitalisme semu ini merupakan buah dari campur tangan pemerintah (negara) terlalu berlebihan sehingga menganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme menjadi tidak dinamis. Intervensi ini juga menimbulkan tumbuhnya pencari rente di kalangan birokrat pemerintah, sehingga kaum wiraswasta (borjuasi) sesungguhnya tidak berkembang. Hal ini memunculkan pemburu rente dalam struktur ekonomi politik Indonesia; dimana kapitalis bisa mendapatkan keuntungan yang cepat dari hubungan dengan pemerintah.
Varian dari pemburu rente ini meliputi: Kapitalis Kraton; Keluarga- Presiden; Kapitalis Konco; Kapitalis Birokrat; Politis yang beralih menjadi Kapitalis; Kapitalis yang beralih menjadi politisi; kapitalis lain yang berkoneksi dnegan Pemerintah.
Selain itu, Kunio menyebutkan kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadai, sehingga tidak berlangsung industrialisasi yang mandiri. Kalaupun bergerak di bidang industri, ia hanya berperan sebagai kapitalisme komprador (bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negerinya sendiri).
Dengan demikian makan dipastikan bahwa perkembangan industralisasi di Indonesia yg ditandai campur tangan (intervensi) negara dalam perekonomian, menyebabkan munculnya: pola hubungan patron-klien antara negara dengan kelompok modal domestic, dan munculnya kapitalis semu atau pemburu rente. Inilah yang menjadi kendala terbesar dalam tata ekonomi Indonesia pascakemerdekaan sampai saat ini. Sehingga sulit rasanya untuk memberantas kapitalis rente ini.
Kita membutuhkan political will pemerintah, setidakk mereduksi kapitalis rente dalam berbagai sumber produksi ekonomi Indonesia. Ini;ah pekerjaan rumah pemerintah saat ini maupun ke depan. (*)
There is no ads to display, Please add some