Oleh: Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY
beritabernas.com – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan mekanisme krusial dalam hubungan industrial Indonesia, yang harus diimbangi dengan transparansi administratif. Namun, kewajiban mencatatkan PHK ke Dinas Ketenagakerjaan sering diabaikan oleh perusahaan demi efisiensi, padahal hal ini dapat menimbulkan akibat hukum serius. Di era pasca-UU Cipta Kerja, ketidakpatuhan ini tidak hanya melanggar regulasi, tapi juga merugikan pekerja dan stabilitas ekonomi.
Dasar hukum utama pelaporan PHK terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang direvisi oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022. Pasal 151 UU Ketenagakerjaan mewajibkan pemberitahuan PHK secara tertulis kepada pekerja dan pelaporan ke instansi ketenagakerjaan daerah dalam 7 hari kerja. Revisi melalui Pasal 81A dan 151A UU Cipta Kerja mempertahankan esensi ini, sambil menyederhanakan prosedur untuk kemudahan berusaha.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PHK merinci dokumen laporan, termasuk alasan PHK, masa kerja dan hak pekerja seperti pesangon (minimal 1 bulan upah per tahun, Pasal 40). Ketentuan ini bertujuan mencegah penyalahgunaan dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip keadilan, termasuk prioritas pekerja rentan (Pasal 151B). Pelaporan juga terkait kewajiban BPJS dan pajak, di mana ketidaklaporan bisa memicu sanksi lintas lembaga.
Kewajiban perusahaan dalam pelaporan
Perusahaan bertanggung jawab melaporkan PHK secara lengkap, baik individual maupun massal. Laporan harus mencakup identitas pekerja, upah terakhir, alasan pemutusan (efisiensi, pelanggaran, atau pensiun), dan bukti kompensasi. Untuk PHK massal (lebih dari 50 pekerja), keterlibatan serikat pekerja wajib, dengan pemberitahuan awal 14 hari. Prosedur dilakukan via SISNAKER atau langsung ke Dinas Ketenagakerjaan, dengan arsip disimpan minimal 5 tahun.
Baca juga:
- Peran Dinas Ketenagakerjaan dalam Melindungi Hak-hak Upah Pekerja
- Pengadilan Sebagai Benteng Terakhir bagi Pencari Keadilan
- Jika DPR Dapat Dibubarkan, Siapa yang Berwenang Membubarkan
Kewajiban ini diawasi oleh inspektur ketenagakerjaan, yang dapat melakukan audit. Ketidaklengkapan laporan dianggap pelanggaran administratif awal, berpotensi eskalasi ke sanksi lebih berat. Tujuannya adalah transparansi untuk mencegah sengketa dan melindungi hak pekerja, sesuai mandat konstitusional Pasal 28D UUD 1945
Ketidakpatuhan mencatatkan PHK menimbulkan akibat berlapis. Sanksi administratif pertama: Pasal 188 UU Ketenagakerjaan mengenakan denda hingga Rp100 juta per kasus, plus perintah perbaikan dalam 30 hari. Pelanggaran berulang bisa berujung pencabutan izin usaha atau penghentian operasional sementara oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Sanksi pidana lebih tegas: Pasal 189 ayat (1) huruf e ancam kurungan hingga 4 tahun atau denda Rp 400 juta bagi pengurus perusahaan yang sengaja melanggar, terutama jika bertujuan hindari pesangon atau pajak. Dalam praktik, pekerja dapat gugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), di mana ketidaklaporan jadi bukti kuat; perusahaan wajib bayar upah pengganti hingga 9 bulan (contoh: Putusan MA Nomor 789/Pdt.Sus-PHI/2023). Akibat perdata termasuk tuntutan ganti rugi dari pekerja, plus klaim BPJS atas iuran tertunggak.
Kasus nyata, seperti PHK di industri tekstil 2022, menunjukkan ketidaklaporan picu boikot dan litigasi panjang, merusak reputasi. Pemerintah perkuat penegakan via digitalisasi, dengan sanksi progresif untuk deterensi.
Pelaporan PHK ke Dinas Ketenagakerjaan adalah fondasi kepatuhan hukum yang tak tergantikan. Ketidakpatuhan berisiko sanksi administratif, pidana, dan perdata, yang bisa mengancam kelangsungan usaha. Perusahaan disarankan konsultasi hukum dini untuk patuhi UU Cipta Kerja, memastikan keseimbangan antara efisiensi dan perlindungan pekerja. Transparansi ini mendukung iklim industrial berkelanjutan, di mana hak semua pihak terjaga. (*)
There is no ads to display, Please add some