beritabernas.com – Dr Ahmad Luthfi dari Pusat Studi Forensika Digital (PUSFID) dan Dosen Jurusan Informatika FTI UII mengatakan, salah satu aspek penting dan krusial dari tahapan investigasi forensik digital adalah memastikan integritas data yang dikumpulkan sehingga dapat disajikan sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Selain itu, pada sebuah proses utuh investigasi forensik digital, ada dua sub-proses besar, pertama, practice investigative yaitu pada tahapan pelestarian (preservation) bukti digital, pengumpulan bukti digital (collection/location) dan analisis (analysis) bukti digital.
Kedua, legal investigative yaitu membangun argumen (construct argument) berdasarkan pandangan hukum dan penyajian (presentation) bukti di pengadilan.
Hal itu disampaikan Dr Ahmad Luthfi dalam Press Conference secara daring yang diadakan oleh Jurusan Informatika, Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, Jumat 11 November 2022. Jumpa pers diadakan terkait digelarnya The 2022 IEEE 7th International Conference on Information Technology and Digital Applications (ICITDA) yakni forum internasional untuk pertukaran ide, pengetahuan dan pengalaman tentang perkembangan terkini di bidang teknologi informasi dan aplikasi digital di antara para peneliti dari akademisi, insinyur dan praktisi dari industri.
Menurut Ahmad Luthfi, di antara proses practice investigative dan legal investigative ada potensi celah kesalahan interpretasi karena hasil investigasi yang dilakukan pada proses pertama tidak melewati tahapan validasi.
Akibatnya, hasil interpretasi terkait perspektif hukum, teori kemungkinan siapa aktor di belakang kasus pelanggaran digital dan laporan hasil investigasi tidak tepat dan solid (berdasarkan kajian ilmiah).
Karena itu, dengan mempertimbangkan tantangan dan pandangan ilmiah, dalam penelitian yang dilakukan mereka mengusulkan model validasi dengan pendekatan yang teruji dan sistematis.
Pertama, alat bantu analisis sebaiknya memiliki kumpulan data empiris (empirical datasets) yang dapat dikonfigurasikan sebagai basis pengetahuan terhadap kasus kejahatan komputer/siber yang serupa.
Kedua, pengembangan sebuah matriks untuk mengukur presisi dan akurasi metode dan alat forensik (tools) yang digunakan, termasuk kemungkinan ditemukan kesalahan analisis (bug). Ketiga, membangun konsensus tentang kerangka hukum dan teknis investigasi antara praktisi dan akademisi. Dan keempat, memanfaatkan teknik pembelajaran mesin (machine learning) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk beralih dari teknik semi otomatis investigasi menjadi analisis otomasi menyeluruh.
Sementara Dr R Teduh Dirgahayu, Ketua Jurusan Informatika FTI UII, mengatakan, The 2022 IEEE 7th International Conference on Information Technology and Digital Applications (ICITDA) diharapkan dapat membuka peluang kolaborasi antar peserta untuk memajukan teori dan praktik di bidang teknologi informasi.
Dikatakan, ICITDA merupakan forum internasional untuk pertukaran ide, pengetahuan dan pengalaman tentang perkembangan terkini di bidang teknologi informasi dan aplikasi digital di antara para peneliti dari akademisi, insinyur, dan praktisi dari industri.
Kurniawan Dwi Irianto ST MT, Ketua Pelaksana ICITDA 2022 & & Dosen Jurusan Informatika FTI UII, mengatakan, penelitian yang dilakukan didasarkan pada beberapa fenomena yang selama ini terjadi pada domain forensic digital. Pertama, pengembangan studi bidang forensik digital masih didominasi oleh para praktisi atau profesional (professional-driven).
Kedua, studi di bidang forensik digital cenderung bersifat ad hoc, didorong oleh penyidik dan berdasarkan pengalaman individu (investigator’s experience). Dan ketiga, para investigator forensik digital memiliki ketergantungan yang cukup kuat terhadap hasil investigasi berdasarkan siklus proses alat bantu (tools) analisis forensik digital.
“Mengingat konteks ini, analisis forensik digital masih memiliki banyak kekurangan dan kerentanan, terutama selama tahap validasi,” katanya. (lip)