Internasionalisasi Pendidikan Harus Berakar pada Keterlibatan yang Bermakna dengan Komunitas Lokal

beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, tema APAIE (Asia-Pasific Association for International Education) yakni Membentuk Ulang Pendidikan melalui Kolaborasi Internasional: Pendidikan Transnasional, Transformasi Digital dan Relevansi Lokal adalah berbicara langsung tentang transformasi pendidikan tinggi saat ini.

Dengan tema itu, UII merasa ditantang untuk tetap terhubung secara global, namun tetap berpijak pada lokal; maju secara teknologi, namun tetap berpusat pada manusia.

“Di UII, kami percaya bahwa internasionalisasi harus berakar pada, bukan terpisah dari, keterlibatan yang bermakna dengan komunitas lokal,” kata Peof Fathul Wahid, Rektor UII, dalam sambutan pada pembukaan Program Peningkatan Kapasitas APAIE dengan tema Membentuk Ulang Pendidikan melalui Kolaborasi Internasional: Pendidikan Transnasional, Transformasi Digital dan Relevansi Lokal yang digelar di Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Selasa 28 Oktober 2025.

Menurut Fathul Wahid, melalui program pengabdian masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang telah berlangsung lama, UII bermitra dengan sekitar 100 desa setiap tahun di seluruh Indonesia. Kemitraan ini tidak terbatas pada kunjungan singkat. Mereka adalah kolaborasi multi-tahun yang mendampingi desa-desa selama beberapa tahun hingga mereka menjadi mandiri secara sosial.

Pendekatan berkelanjutan ini, menurut Rektor UII, memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk bersama-sama mengembangkan solusi komunitas, dari memperkuat literasi digital di kalangan pengusaha mikro, meningkatkan tata kelola lokal dan ketahanan lingkungan, hingga melestarikan warisan budaya dan memajukan inovasi hijau. Melalui pengalaman ini, mahasiswa dan dosen kami belajar bahwa pengetahuan menemukan makna sebenarnya ketika berakar dalam masyarakat.

Baca juga:

Di UII, kata Fathul Wahid, prinsip ini mengulangi pesan Al-Qur’an, Surat Ibrahim, ayat 24 dan 25, di mana Tuhan menyamakan kata yang baik dengan pohon yang baik: “akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit; ia menghasilkan buah pada setiap waktu, dengan izin Tuhannya.”

Dalam semangat yang sama, kami berusaha agar pendidikan dan kolaborasi tumbuh seperti pohon itu- berakar kuat pada nilai-nilai, namun menjangkau ke luar untuk berbagi manfaat dengan orang lain. Kolaborasi kami, baik lokal maupun global, harus menghasilkan buah yang memelihara kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan.

“Kunjungan ke Candi Borobudur hari ini mengingatkan kita tentang keseimbangan ini antara tradisi dan transformasi, antara warisan dan inovasi. Ini menunjukkan kepada kita bahwa belajar tidak hanya tentang transfer pengetahuan tetapi juga tentang memupuk makna, identitas dan kepedulian terhadap kemanusiaan bersama,” Fathul Wahid.

Ia menambahkan, saat terlibat dalam diskusi selama dua hari ke depan tentang pendidikan transnasional, kecerdasan buatan dan transformasi digital, ia mengajak untuk merefleksikan bagaimana inovasi-inovasi ini dapat tetap berpusat pada manusia dan didorong oleh komunitas. Mari kita pastikan bahwa teknologi yang kita bangun dan kemitraan yang kita bentuk terus memberdayakan orang-orang-membawa naungan, nutrisi dan harapan, seperti pohon yang digambarkan dalam ayat yang tak lekang oleh waktu itu.

Sementara Dr Dwita Rahmi, Dosen Arsitektur UGM, yang tampil dalam sesi pertama seminar, mengatakan, Borobudur atau candi-candi dan kawasan sekitarnya, menjadi laboratorium hidup bagi UGM, karena banyak ilmu dapat dipelajari dari Borobudur, antara lain geografi, arkeologi, sosial, budaya, arsitektur, religi, geologi, biologi, dan lain-lain.

Ada sekitar 20 desa tradisional yang berada di sekitar Candi Borobudur yang harus berusaha mandiri agar mendapatkan keuntungan dari kegiatan wisata yang terus berkembang di Candi Borobudur. Banyak kegiatan telah dilakukan oleh UGM di Kawasan Borobudur, khususnya kegiatan yang berkolaborasi dengan masyarakat lokal. Salah satu tujuan kegiatan adalah pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kepedulian masyarakat akan potensi desanya dan perlunya kelestarian desa.

Menurut Dwita Rahmi, salah satu kegiatan UGM yang telah lama berlangsung adalah penyelenggaraan International Field School on Borobudur Cultural Landscape Heritage atau disingkat Borobudur Field School (BSF). BSF pertama kali diselenggarakan tahun 2004 oleh Center for Heritage Conservation, Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, bekerja sama dengan Kanki Laboratory, Kyoto University, Jogja Heritage Society, dan masyarakat lokal.

BFS diselenggarakan selama 7 kali sampai dengan tahun 2013. Peserta berasal dari berbagai tempat, dalam dan luar negeri, dan penduduk lokal. Outcome kegiatan yang berjalan lama ini adalah penduduk desa menjadi mengerti potensi yang dimiliki desanya, dan semakin percaya diri mengambil peluang menjadikan desanya sebagai desa tujuan wisata.

“Saat ini masyarakat desa dapat merasakan keuntungan adanya perkembangan wisata, karena desa-desa menjadi tempat kunjungan wisata selain ke Candi Borobudur,” kata Dwita Rahmi.

Dikatakan, kegiatan-kegiatan pendampingan masyarakat terus dilakukan oleh UGM sampai saat ini. Program-program kegiatan di Borobudur yang didanai oleh UNESCO dan Kemen ATR dilakukan oleh UNESCO Chair UGM bekerjasama dengan pemerintah lokal. Sementara penelitian-penelitian juga banyak dilakukan tentang Borobudur, baik untuk disertasi doktor maupun tesis master. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *