IPW akan Bedah Kasus Dugaan Korupsi dan Penyalahgunaan Dana HPP Hakim Agung Rp 97 Miliar

beritabernas.com – Indonesia Police Watch (IPW) bersama sejumlah elemen penggiat anti korupsi akan membedah kasus dugaan korupsi pemotongan dan penyalahgunaan dana Honorarium Penanganan Perkara (HPP) bagi Hakim Agung yang mencapai Rp 97 miliar.

Acara bedah kasus tersebut dilakukan dalam diskusi publik yang diadakan IPW bersama penggiat anti korupsi lainnya di Jakarta dalam waktu dekat. Diskusi akan diikuti dan dihadiri oleh pegiat anti korupsi, advokat, mahasiswa fakultas hukum dan mengundang Direktorat Penyidikan KPK, Direktorat Tipikor Bareskrim Polri, Dirdik Pidsus Kejagung dan Komisi Yudisial.

Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Rabu 11 September 2024, mengungkapkan, dgaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berkaitan dengan permintaan paksa atau pemerasan jabatan (kneveleraij) yang dilakukan secara berlanjut, yakni pemotongan dan penyalahgunaan dana Honorarium Penanganan Perkara (HHP) bagi Hakim Agung tahun anggaran 2022-2023-2024 dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang mencapai Rp 97 miliar.

Menurut Sugeng Teguh Santoso, kasus dugaan korupsi dana HPP tersebut dikualifisir melanggar Pasal 12 huruf E dan  F jo Pasal 18 UU RI 20 tahun 2021 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP  jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

“Kami ingin menjaga marwah MA sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan dan agar Mahkamah Agung hanya boleh dihuni oleh Hakim Agung yang berintegritas tinggi yang mampu memberikan keadilan, kepastian hukum  dan kemanfaatan lembaga peradilan,” kata Sugeng Teguh Santoso SH.

Kronologis kasus

Menurut  Sugeng Teguh Santoso, kasus ini bermula ketika pada 10 Agustus 2021 dikeluarkan penetapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Nomor 55 tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

BACA JUGA:

Peraturan ini yang mendasari hakim agung berhak atas honorarium dalam penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali paling lama 90 hari kalender sejak perkara diterima oleh unit penerima surat pada Ketua Majelis sampai perkara dikirim ke pengadilan pengaju, sebagaimana  yang tercantum dalam Nota Dinas Panitera. 

Kemudian, sejak tahun 2022 secara berlanjut sampai dengan tahun 2024 ternyata terjadi pemotongan dana Honorarium Penanganan Perkara Para Hakim Agung. Pada tahun 2022 pembayaran Dana Honorarium Penanganan Perkara (HPP) para Hakim Agung dilakukan dengan penyerahan uang cash dan disertai tanda terima dalam 2 bentuk yaitu bukti tanda terima hakim agung yang 100 persen dan tanda terima bukti hakim agung yang dana Honorarium Penanganan Perkaranya (HPP) telah dipotong.  

Selanjutnya pada 12 September 2023, menurut Sugeng Teguh Santoso, landasan pemotongan dituangkan dalam Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung yang terakhir Surat Keputusan Sekretariat Mahkamah Agung RI Nomor  649/SEK/SK.KU1.1.3/VIII/2023 tanggal 23 Agustus 2023 tentang Perubahan Atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 12/SEK/SK/II/2023 tentang Standar Biaya Honorarium Penanganan Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung tahun anggaran 2023 dan Nota Dinas Panitera MA Nomor 1808/PAN/HK.00/9/2023 tentang Pemberitahuan Alokasi Honorarium Penanganan Perkara (HPP) tahun 2023. 

Tata cara pembagian dan/atau penyerahan dana HP Ppara Hakim Agung diawali, kepaniteraan Mahkamah Agung RI, dalam hal ini AN selaku Penanggungjawab HPP menyiapkan laporan majelis yang menyelesaikan perkara 90 hari. Kemudian mengajukan permintaan pembayaran dan selanjutnya Bank Syariah Indonesia (BSI) selaku bank yang membayar mengirimkan sejumlah uang sebagaimana permintaan AN ke rekening masing-masing Hakim Agung yang berhak. 

Selanjutnya pada hari yang sama, Bank BSI secara otomatis memotong dana HPP sebesar 26,95 persen dari rekening Hakim Agung, di luar pemotongan untuk penitera pengganti sebesar 7,5 persen, panitera muda kamar 1 persen operator 3,55 persen dan staf majelis kolektif 2 persen ( untuk perkara dengan majelis 3 hakim). Potongan yang sama juga untuk perkara dengan majelis 5 hakim dan perkara dengan Hakim Tunggal.

Menurut Sugeng Teguh Santoso, potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari Hakim Agung dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh AN.Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 persen adalah perbuatan korupsi yang terjadi dan diduga sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan para Hakim Agung yang berhak. 

“IPW mendapat informasi pemotongan dana HPP pernah mendapat penolakan dari sejumlah Hakim Agung. Selanjutnya diduga atas intervensi pimpinan Mahkamah Agung RI, para Hakim Agung diminta untuk membuat surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai, yang pada pokoknya menyatakan bersedia dilakukan pemotongan dana HPP sebesar 40 persen, dengan rincian 26,95 persenuntuk “tim pendukung teknis yudisial”, sisanya dibagikan kepada supervisor dan tim pendukung administrasi yudisial. Dana HPP yang menjadi hak Hakim Agung diberikan atas dasar PP Nomor 82 tahun 2021 pasal 13 ayat (1) huruf a. Jo. Pasal 13 B ayat (1) jo. Pasal 13 C ayat (1) dimana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan pemotongan. Pemotongan HPP Hakim Agung harus dilakukan berdasarkan aturan dalam Peraturan per-UU-an, tidak boleh atas putusan pimpinan MA. Melakukan pemotongan honor memakai dasar hukum surat pernyataan adalah tidak sesuai aturan.Tentu hal ini ironis dan memperihatinkan,” tegas Sugeng Teguh Santoso.

Jumlah perkara

Mengutip Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2023, jumlah perkara yang diputus tahun 2023 sebanyak 27.365, tahun 2022 sebanyak 28.024 perkara. Tahun 2023, terdapat pemotongan dana HPP para  Hakim Agung untuk perkara kasasi biasa sejumlah Rp 47,9 miliar. Apabila diasumsikan pemotongan sebesar 25.95 persen per perkara kasasi biasa (3 Majelis Hakim) x Rp 6.750.000,00 x perkara yang diputuskan setahun. Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan dana HPP para Hakim Agung sebesar Rp 49 miliar. 

Berdasarkan penjelasan juru bicara Mahkamah Agung RI Suharto kepada Tempo.co, Senin 12 Agustus 2024, ada 9 proses untuk menyelesaikan sebuah perkara di MA yang tidak hanya melibatkan Hakim Agung, tapi juga staf lainnya.

Mempertimbangkan hal tersebut, pimpinan Mahkamah menyepakati dana HPP sebanyak 40 persen didistribusikan (dipotong) kepada supporting unit atau tim pendukung yang terdiri dari supervisor, tim pendukung teknis dan manajemen, yang dituangkan dalam Keputusan Panitera Mahkamah Agung Nomor: 2349/PAN/HK.00/XII/2023 tentang Penetapan Satuan Besaran Honorarium Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung RI. 

“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, diduga telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi pemotongan dan penyalahgunaan dana HPP bagi Hakim Agung tahun anggaran 2022-2023-2024 yang perlu didalami siapa pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pemotongan tersebut yang sedikitnya bernilai sebesar Rp 97 miliar,” tulis Sugeng Teguh Santoso dalam siaran pers itu. 

 Laporan ke KPK

Sementara itu, menurut Sugeng Teguh Santoso, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah melaporkan kepada KPK atas dugaan pemotongan dan penyalahgunaan dana HPP bagi para Hakim Agung senilai Rp 97 miliar dan/atau TPPU, yang telah terkonfirmasi sebagai tindak pidana korupsi.

Setidaknya kontruksi hukumnya serupa dan sebangun dengan dugaan perkara korupsi pemotongan dana hasil insentif pajak untuk pegawai Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menyebabkan Kepala  Dinas BPPD Aris Suryono dituntut JPU selama 7 tahun dan 6 bulan penjara di PN Tipikor Sidoarjo (9/9/24).

Dugaan korupsi terdakwa Subhi, mantan Kepala BPPRD Kota Jambi yang telah divonis hakim 4 tahun, 5 bulan di Pengadilan Tipikor Jambi pada 20 Junuari 2022 lantaran dengan kekuasaannya melakukan pemotongan pembayaran dana insentif pemungutan pajak tahun 2017 hingga 2019.

 “Materi diskusi publik membahas tentang judicial corruption yang terjadi bukan lantaran kebutuhan (corruption by need) melainkan dikualifikasi corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. Kami akan mengundang sejumlah ahli hukum dan tokoh penggiat anti korupsi, dengan peserta dari kalangan akademisi Fakultas Hukum Universitas yang ada di Jakarta, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, juru bicara MA, Direktorat Penyidikan Kejagung, Direktorat Penyidikan KPK dan Direktorat Tipikor Bareskrim Polri. Hasil rumusan diskusi publik akan kami serahkan kepada KPK, KY dan Komisi III DPR RI untuk kepentingan penindakan dan pengawasan,” kata Sugeng Tegung Santoso SH. (*/lip) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *