Jangan Takut Menjadi Hakim

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Profesi hakim sering menjadi sorotan publik. Betapa tidak! Banyak hakim tertangkap tangan KPK karena jual beli perkara. Reaksi masyarakat pun bertubi-tubi, menilai hakim begitu mudah melecehkan hukum dan keadilan hanya karena masalah suap menyuap antara hakim dan pencari keadilan.   

Terkait kasus suap menyuap di kalangan hakim kita tidak perlu mencari kambing hitam. Itu semua adalah hasil pendidikan masyarakat kita. Hakim hidup di masyarakat dan dibesarkan oleh masyarakat juga. Ibaratnya hakim itu tinggal di “masyarakat maling”.

Kasus suap menyuap di kalangan hakim adalah sebuah isyarat terhadap profesi hakim saat ini, bahwasannya keadilan itu bukan lagi tinggal di hati nurani sang hakim, melainkan telah bergeser fungsinya ke telapak tangan dan ujung palu.

Seorang teman saya bahkan pernah bergurau, katanya “putusan hakim itu terletak pada ujung palu dan telapak tangannya”, untuk menunjukkan beberapa kasus tertentu. Hanya sekarang tinggal pandai-pandai membolak-balikkan telapak tangan dan palunya. Bunyi palu isyarat hukum sudah berhenti dan sudah selesai, alias “palu culata causa vinita”.

 Profesi hakim tidak luput dari sorotan dan kecaman, sedikit pujian dari masyarakat. Maka tulisan ini agak menyerempet profesi hakim (mohon maaf jika ada hakim yang tersinggung).

Independensi Hakim

Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara hukum, tentunya harus konsisten menjunjung tinggi nilai-nilai hukum, menegakkan supremasi hukum. Dalam perkara yang ditangani pengadilan, independensi hakim harus dihormati. Tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Bahkan Presiden pun tidak boleh, kecuali menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan saja.

Karena kita harus konsisten dengan undang-undang dasar kita. Di sana sudah tercantum mengenai independensi hakim. Itulah resikonya ketiadaan campur tangan pihak luar terhadap kebebasan hakim. Lantas hakim bekerjasama dengan pencari keadilan, menerima suap, melelangkan palunya, mengkomersilkan palunya.

Barangkali ini adalah suatu kiasan yang menyatakan bahwa hakim adalah mulut dari perkataan undang-undang atau penjaga undang-undang (subsumptif otomat). Putusan hakim adalah suatu undang-undang bagi pihak yang berperkara atau pencari keadilan (justiabelen). Maka sepantasnyalah hukum pun harus ditegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Hakim  tidak boleh memihak pada salah satu pihak, sekalipun ada tawaran yang menggiurkan hati berupa uang atau sogok. Profesi hakim adalah profesi terhormat (nobless oblige). Oleh karena itu hakim hendaknya memiliki perasaan takut. Takut pada Tuhan, sebab berbuat demikian haram hukumnya.

Dari putusan hakim harus terasa bahwa keadilan dan kebenaran ditegakkan. Hakim adalah benteng terakhir para pencari keadilan. Agar hakim sebebas-bebasnya dalam menjatuhkan putusannya, yang paling baik adalah kalau ia memiliki perasaan takut pada Tuhan dan tidak mendapat tekanan atau godaan, ancaman. Hal itulah yang dibutuhkan oleh hakim.

Barangkali telah keroposnya keadilan kita selama ini yang dinilai cukup krusial adalah sinyalemen independensi hakim. Dalam hal ini rasanya lebih bijaksana untuk berpedoman pada pendapat Mr A Blom yang mengatakan bahwa beter snel recht en goed recht (lebih baik hukum yang cepat dari pada hukum yang baik).

Independensi hakim adalah merupakan kehendak asli dari konstitusi kita. Sehubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim, terutama mengenai gaji dan tunjangan para hakim harus lebih tinggi dari pada pegawai negeri biasa, agar para hakim tidak tergoda dengan hal-hal yang tidak diinginkan.

Dewasa ini muncul di kalangan masyarakat sinyalemen tentang independensi hakim, di antaranya, pertama, hakim dari dulu sampai sekarang tidak pernah bebas. Putusan hakim biasanya sudah diketahui sebelumnya terutama yang menyangkut perkara korupsi atau perkara Narkotika, atau perkara sejenis. Sinyalemen ini merupakan fakta emperis bagi para ahli hukum maupun masyarakat.

Kedua, merasa keberatan kalau hakim bebas mutlak. Menurut sinyalemen itu bahwa citra pengadilan, keputusan hakim dan penampilan para penegak hukum sangat merosot karena keadilan tidak diperoleh di gedung yang megah dan angker. Kondisi yang demikian karena 10 persen pengaruh atasannya dan 90 persen karena uang. Oleh karena itu masih perlu ada KY dan Kemenkum dan HAM, sebab jika tidak demikian maka independensi hakim yang negatif akan meraja lela.

Ketiga, sinyalemen dari hakim itu sendiri. Para hakim menginginkan untuk bebas dari campur tangan pelaksana atau rekomendasi dari ekstrajudisiil. Atas dasar pemikiran ini, kalangan hakim merasa tidak sreg dengan adanya institusi KY dan Kemenkum dan dan HAM.

Ketiga sinyalemen tersebut dapat dianggap sebagai ungkapan conflict of intrest dan conflict agains interest. Atas dasar kemauan politik bahwa baik KY maupun Kemenkum dan HAM adalah boss kembar siam para hakim.

Kalau di kemudian hari yang menjadi bossnya hakim hanya MA, apakah independensi itu in optima forma seorang hakim itu dapat dirumuskan lebih cermat? Pertanyaan lebih jauh, apa jaminannya hakim dapat menggunakan independensi itu dengan baik? Semuanya terpulang pada moral hakim itu sendiri.

Independensi itu hanya terdapat pada saat di mana hakim itu menjatuhkan vonis pada pencari keadilan. Pada saat itulah hakim melakukan zelf verantwoordelijke zelf bepaling. Hakim memilih sendiri dari sekian alternatif, dan harus bertanggungjawab sendiri atas pilihannya, terutama pada Tuhan.

Pada saat inilah dia harus berhadapan dengan norma lain, yaitu keputusan hakim adalah keputusan suara hati dan sekaligus adalah suara Tuhan. Oleh karena itu hakim tak perlu takut apalagi takut menjadi hakim, karena Tuhan ataupun atasannya akan turut bertanggungjawab dan bahkan melindungi dan membenarkannya, jika hakim berpihak kepada keadilan dan kebenaran.

Keadilan itu baru muncul apabila sudah diterapkan di ruang pengadilan dan diputus oleh hakim berdasarkan nilai keadilan menurut perasaan hukum masyarakat.

Pada setiap kepala putusan hakim berbunyi “Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Artinya sebelum hakim memvonis suatu perkara ia harus mengingat Tuhan, di hati nuraninyalah letak keadilan.  Tetapi persoalannya amat sedikit hakim takut pada Tuhan. Karena menurut perasaan mereka itu urusan di akirat.

Mantan anggota DPR Centis da Costa ketika rapat dengar pendapat dengan MA di Komisi III DPR tahun 80-an, pernah bertanya kepada hakim MA, apa dan bagaimana jawaban Tuhan atas kepala putusan “Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”?

Semakin pudarnya profesi hakim, maka semakin menipis pula kepercayaan masyarakat pada hakim.  Dengan demikian, keadilan bukan lagi berorientasi pada pencari keadilan atau Tuhan, akan tetapi berorintasi pada pembangunan hakim.

Akan muncul pula penilaian tertunda-tundanya jalannya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pengadilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed is justice denied). Hukum yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelek hakim, but of his spirit.

Masih sedikit hakim yang jujur, karena ia takut pada Tuhan dan atasannya. Tetapi celakanya sering terjadi bahwa sebelum perkara diputus oleh pengadilan ada orang sudah bermain di PT, demikian seterusnya sampai pada MA.

Kalau kita membaca berita di media massa, berita kasus korupsi atau kasus suap yang melibatkan para hakim hampir tidak pernah terlewatkan. Pertanyaan muncul, mengapa masalah korupsi dan penyuapan menjadi sorotan? Apakah sukar diberantas ataukah ada mafia di dalam mafia? Ataukah ada jejaringan yang begitu rapi? Ataukah moral hakim sudah semakin membusuk?

Itu semua adalah hambatan penegakan hukum dewasa ini, yang perlu ditangani secara serius. Yang harus dibenahi adalah mental para hakim, jaksa, dan polisi, atau bahkan pencari keadilan. Selain itu, fakultas hukum di setiap universitas, tidak hanya diajarkan menghafal seluruh isi pasal-pasal dalam kitab undang-undang, tetapi pendidikan moral dan karakter perlu diajarkan dan menjadi mata kuliah tersendiri, dan bagi mereka yang ingin menjadi calon hakim atau jaksa adalah benar-benar  orang yang memiliki sence of justice dan sence of moral yang tinggi.

Secara jujur kita akui bahwa setelah mawas diri dari semua bidang profesi hukum, kita harus menelan kenyataan telah terjadi kemunduran dan kemerosotan dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum di negara kita.

Kendatipun pembangunan di bidang hukum telah banyak mengalami  kemajuan, tetapi masalah yang paling mendalam, seperti kewibawaan hakim, pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, menjadi masalah yang belum terpecahkan dan menjadi sorotan tajam publik. Kewibawaan pengadilan semakin terobek oleh oknum kelompok kepentingan. Ini semua adalah pengurus kultur dan insan penegak hukum itu sendiri, sehingga masalah power dan money masih dirasakan dominan. Adalah suatu gejala penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dalam penyelenggaraan penegakkan hukum.

Sudah terlalu lama hukum kita diselewengkan, malah seringkali diperdagangkan, sehingga tumbuh pameo yang diajarkan di fakultas hukum adalah hukum dagang (handelsrecht), sedangkan yang terjadi dalam masyarakat adalah dagang hukum  (rechthandels).

Kalau kita menjunjung tinggi rule of law, maka adalah kewajiban pemerintah untuk menjamin kehidupan para hakim, bahwasannya gaji para hakim below subsistence level, tetapi sampai kini perbaikan gaji mereka masih belum memadai, pada hal mereka berhak mendapatkan pelayanan yang istimewa, sehingga tidak tergerak hatinya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Mengenai gaji hakim ada yang berpendapat ini ada yang pro dan kontra.

Perjuangan penegakan hukum, bukanlah perjuangan yang mudah ataupun yang dapat dengan cepat selesai, mungkin bahkan tidak selesai-selesainya sebagaimana apa yang dikatakan oleh Von Jhering der camp zum recht ist das charater des lebens (perjuangan penegakan hukum adalah watak dari seseorang)

Maka dengan demikian seharusnyalah mengeluarkan kejutan di bidang hukum untuk menggebrak indolence dan lethargy (baca: moral hakim) yang selama ini menimpa dunia hukum kita dan untuk menggugah hati nurani hakim di tempat dimanapun mereka bekerja untuk bersama-sama menegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta mengetahui denyut jantung pencari keadilan di tanah air yang kita cintai ini sambil berdoa, niscaya Tuhan melindungimu. Jangan takut menjadi hakim. (Ben Senang Galus, dosen dan penulis buku, tinggal di Yogyakarta)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *