Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi

Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta dan Ketua PMKRI Komisariat Kampus APMD

beritabernas.com – Tanah papua adalah tanah yang kaya dengan sumber daya alam. Dari hutan tropis, gunung, sungai hingga laut yang kaya ikan, Papua menawarkan kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan ini bukan hanya menjadi modal ekonomi, tetapi juga saksi bisu sejarah panjang peradaban masyarakat adat Papua yang hidup selaras dengan alam. Namun, ironisnya, kekayaan ini justru menjadi sumber ketidakadilan, penindasan dan eksploitasi.

Sejarah panjang sumber daya Papua menunjukkan pola di mana rakyat Papua asli tidak pernah menikmati hasil dari tanah sendiri, sementara pejabat yang seharusnya menjadi pelindung justru terjebak dalam ambisi pribadi dan permainan politik dengan Jakarta.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua 2024 menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi tahunan di Papua mencapai 5,3%, namun tingkat kemiskinan masyarakat asli tetap tinggi, yaitu 28,9%, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9,1%. Artinya, meski sumber daya melimpah, kesejahteraan rakyat asli Papua tidak meningkat secara signifikan.

Ketimpangan ini membuktikan bahwa pembangunan di Papua lebih menguntungkan pihak luar dan pejabat tertentu, sementara rakyat asli tetap mengalami marginalisasi ekonomi di seluruh tanah Papua.

Pejabat orang Papua asli yang duduk di posisi strategis, baik di DPRD Papua maupun instansi pemerintah provinsi, seharusnya menjadi jembatan perlindungan bagi masyarakat. Namun, kenyataannya banyak yang lebih fokus pada kepentingan pribadi atau hubungan strategis dengan Jakarta. Hal ini tampak jelas pada pengelolaan tambang Grasberg di Mimika, salah satu tambang emas terbesar dunia.

Laporan Human Rights Watch 2023 menunjukkan bahwa masyarakat adat lokal mengalami perampasan lahan, pencemaran lingkungan dan minimnya kompensasi ekonomi. Tanah adat yang hilang untuk ekspansi tambang seharusnya menjadi tanggung jawab pejabat Papua untuk melindungi rakyatnya, tetapi beberapa pejabat malah terlibat dalam hubungan bisnis dengan perusahaan yang berbasis di Jakarta.

Baca juga:

Diskriminasi dan penindasan terhadap masyarakat Papua juga terjadi di bidang pendidikan, pekerjaan, dan birokrasi. Data Komnas HAM Papua 2023 mencatat lebih dari 150 kasus diskriminasi dalam lima tahun terakhir, mulai dari rendahnya perwakilan asli Papua di jabatan strategis non-pemerintahan hingga marjinalisasi mereka dalam peluang ekonomi. Ironisnya, pejabat asli Papua yang seharusnya menjadi advokat rakyat justru sering mendukung kebijakan yang menguntungkan pusat dan korporasi besar, bukan rakyat Papua sendiri.

Permainan birokrasi antara pejabat Papua dan Jakarta semakin memperburuk kondisi rakyat. Kebijakan strategis seperti Percepatan Pembangunan Kawasan Strategis Nasional (PSN) dan transmigrasi skala besar menempatkan rakyat asli pada posisi rentan. Tanah adat diambil  dengan dalih pembangunan, sementara pejabat Papua yang duduk di DPR atau DPRD terkesan pasif atau bahkan memberikan legitimasi terhadap pengambilalihan tersebut.

Data Kantor Staf Presiden 2024 menunjukkan, dari 120 proyek PSN di Papua, hanya 12% yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat asli, sedangkan sisanya dikuasai sepenuhnya oleh investor dan pemerintah pusat.

Ambisi pribadi pejabat asli Papua juga memperkuat ketimpangan. Investigasi Tempo 2023 menemukan adanya pejabat lokal yang memiliki saham di perusahaan tambang dan perkebunan besar, yang tanahnya diambil dari masyarakat adat. Konflik kepentingan ini menunjukkan bahwa rakyat kehilangan tanah dan sumber daya, sementara sebagian pejabat menikmati keuntungan dari proses perampasan tersebut. Dalam konteks ini, pejabat Papua asli justru menjadi bagian dari mesin kolonial modern yang mengambil alih tanah, sumber daya, dan hak-hak dasar masyarakat adat.

Penindasan dan diskriminasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi juga budaya dan politik. Di kota-kota besar, masyarakat asli Papua menghadapi marginalisasi dalam pekerjaan formal, pendidikan tinggi, dan partisipasi politik. Laporan LBH Papua 2023 mencatat bahwa 70% anak asli Papua di Jayapura dan Merauke menghadapi hambatan akses pendidikan karena biaya dan diskriminasi sosial. Pejabat yang seharusnya menjadi advokat rakyat sibuk memperkuat hubungan dengan pusat, mengamankan proyek strategis, dan membangun karier pribadi, sementara rakyat menghadapi kesulitan sehari-hari.

Situasi semakin diperparah oleh militerisasi di Papua. Amnesty International 2023 mencatat intervensi militer di wilayah adat sering dibenarkan pemerintah pusat dengan dalih melindungi proyek tambang atau perkebunan. Protes masyarakat adat atas perampasan tanah sering dianggap mengganggu keamanan nasional, bukan sebagai bentuk pembelaan atas hak mereka. Pejabat asli Papua seharusnya menjadi perisai hukum bagi rakyat, tetapi banyak yang diam atau memberi legitimasi atas tindakan represif tersebut.

Ketidakadilan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pejabat orang Papua asli masih mewakili rakyat, atau mereka telah menjadi bagian dari mesin kolonial modern yang mengeksploitasi tanah, sumber daya, dan hak masyarakat adat? Data konkret menunjukkan kesenjangan ekonomi, politik, dan budaya yang semakin nyata. Di satu sisi, pejabat menikmati akses politik dan ekonomi; di sisi lain, rakyat menghadapi kemiskinan, diskriminasi, dan perampasan tanah adat.

Solusi atas situasi ini harus dimulai dari penguatan kesadaran pejabat asli Papua tentang tanggung jawab mereka. Mereka harus menempatkan kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi, melindungi hak atas tanah adat, dan menolak praktik korupsi yang menguntungkan Jakarta dan investor besar. Salah satu langkah konkret adalah penerapan regulasi partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti Peraturan Daerah tentang Perlindungan Tanah Adat yang melibatkan masyarakat asli dalam setiap keputusan proyek pembangunan.

Selain itu, pendidikan dan kesadaran politik rakyat sangat penting. Dengan data, bukti, dan partisipasi aktif, masyarakat asli Papua dapat menuntut pertanggungjawaban pejabat mereka. Data BPS, Komnas HAM, dan laporan investigatif media harus menjadi alat advokasi yang kuat, bukan sekadar angka di atas kertas. Partisipasi aktif rakyat adalah kunci agar suara mereka tidak lagi diabaikan.

Perjuangan rakyat Papua bukan sekadar soal ekonomi atau politik, tetapi juga soal keberlangsungan budaya, identitas, dan hak hidup di tanah leluhur kita. Pejabat orang Papua asli memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan perlindungan, bukan penghambat. Jika ambisi pribadi diletakkan di atas kepentingan rakyat, diskriminasi, penindasan, dan perampasan hak atas tanah adat akan terus berlanjut.

Papua adalah rumah kita bersama. Kekayaan alamnya bukan untuk dijadikan alat kekayaan pribadi pejabat atau untuk kepentingan pusat semata, tetapi untuk kesejahteraan, keberlanjutan, dan martabat masyarakat adat Papua. Sudah seharusnya  pejabat asli Papua memilih keberpihakan pada rakyat, bukan hanya pada ambisi dan permainan politik dengan Jakarta. Tanah kita, hak kita, hidup kita, semuanya berada dalam taruhannya.

Kebijakan yang berpihak pada rakyat, perlindungan hak atas tanah adat dan transparansi pengelolaan sumber daya alam harus menjadi prioritas. Rakyat Papua membutuhkan pejabat yang memiliki keberpihakan jelas, yang menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau hubungan strategis dengan Jakarta. Tanpa kesadaran ini, Papua akan terus menjadi lahan perampasan, bukan tempat tumbuhnya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat.

Perjuangan ini adalah perjuangan kolektif. Masyarakat adat, organisasi mahasiswa, komunitas lokal, dan seluruh elemen masyarakat Papua harus bersatu untuk menuntut hak mereka. Dengan dukungan data, advokasi hukum, dan tekanan politik yang konsisten, suara rakyat Papua dapat didengar, dan pejabat asli Papua akan terpaksa mempertanggungjawabkan posisi mereka.

Kita tidak bisa lagi membiarkan ambisi pribadi pejabat menindas rakyat. Papua adalah tanah leluhur, dan hak atas tanah, sumber daya, dan budaya harus diutamakan. Pejabat asli Papua harus mengingat janji moral dan politik mereka: melindungi rakyat, bukan menjadi jembatan bagi eksploitasi oleh pihak luar. Kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan di Papua bergantung pada keberpihakan pejabat kepada rakyat, bukan kepada kekuasaan atau kekayaan pribadi.

Papua bukan sekadar wilayah administratif atau sumber daya yang bisa dieksploitasi. Ia adalah rumah, identitas, dan kehidupan bagi masyarakat adatnya. Oleh karena itu, perjuangan mempertahankan hak-hak rakyat asli Papua adalah perjuangan mempertahankan kemanusiaan, budaya, dan martabat. Pejabat asli Papua harus memilih: menjadi pelindung rakyat atau menjadi bagian dari mesin perampasan. Pilihan itu akan menentukan masa depan Papua dan generasi yang akan datang. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *