Kekuasaan Bisnis: Modal Mengalahkan Moral

Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com –Pada bulan Maret 1998, ketika mewawancarai manajer cabang sebuah bank milik salah satu konglomerat di Indonesia, seorang peneliti Dr B Herry Priyono dari STF Driyarkara, mengajukan pertanyaan yang mungkin terdengar naif: Mengapa kredit macet karena pinjaman perusahaan-perusahaan kelompok begitu luas?

Jawabnya kedengaran biasa: ”Kolusi, dan manajer kayak saya tidak bisa mencegahnya. Bahkan para pejabat tak berdaya menghadapi praktek itu, karena uang dapat membeli segalanya” (B Herry Priyono, Negara Leviathan Baru. 2002).

Rupanya, makna ”segalanya” di sini berarti peraturan, supervisi dan regulasi. Lebih jauh lagi ”segalanya” juga berarti jabatan, otoritas, bahkan hati nurani. Soal ini bukan gejala baru, melainkan sekedar penjelmaan diktum klasik ”siapa memiliki emas, dialah yang menentukan aturan”. Lantas di manakah moralitas, nasionalisme atau nilai-nilai dan makna semacam itu di kalangan masyarakat kita?

Barangkali ada yang tidak beres dalam asumsi ekonomi-politik yang selama ini dipakai. Kita biasa mulai dari pengandaian bahwa kolusi luas dalam relasi bisnis-pemerintah muncul terutama karena dominasi kekuasaan para pejabat negara atas sektor bisnis. Kalau tidak, penyebab diletakkan pada tindakan semau gue mereka.

Pengandaian seperti itu bertebaran, misalnya dalam berbagai dokumen Bank Dunia dan IMF tentang korupsi. Bukannya pola itu salah, tetapi ada kausalitas empiris sebaliknya yang rupanya lolos dari ”pisau bedah” kita, yakni kebiasaan berburu rente di kalangan elite bisnis dan politik kita.

Kasus kegagalan proyek food estate-rRibuan hektare sawah di Kalteng terbengkalai dan beralih jadi kebun sawit. Proyek ini mirip dengan kegagalan Program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) pada masa Orde Baru, dan saat ini, sebagian lahan telah ditumbuhi semak belukar atau beralih menjadi perkebunan sawit milik swasta,  menjadi contoh lain dari perilaku berburu rente.

Proyek itu pertama-tama lahir bukan dari Soeharto atau kabinetnya, melainkan dari upaya pengusaha raksasa untuk mengeruk dana reboisasi dan APBN yang bernilai + US$ 367 juta. Kemudian proyek tersebut dilanjutkan pada era presiden sesudah reformasi.

Kelemahan filosofis

Dalam basis lebih rutin, uang/fasilitas siluman dalam relasi bisnis-pemerintah juga menggejala bukan hanya karena pemerasan para pejabat terhadap bisnis. Arah sebaliknya juga terjadi. Kelemahan apa yang melekat dalam perspektif tradisional? Mungkin tidak langsung jelas, karena perkaranya menyangkut kelemahan filosofis dalam rupa ketertinggalan cara pandang (epistemic lag).

Kondisi baru ekonomi-politik yang ditandai ekspansi kekuasaan bisnis selama beberapa dekade terakhir belum menjadi aksis ontologis (ontological axis) dari refleksi tentang berbagai masalah yang mendera kita.

Baca juga:

Jika kita hidup di Tembagapura, Timika, dan tidak juga mengenali bahwa yang berkuasa di situ bukanlah Bupati Timika, melainkan PT Freeport, maka apa yang kita pahami (epistemologi) tidak cocok dengan fakta sosio-material yang ada (ontologi). Tanpa kesesuaian keduanya, corak refleksi yang mendasari berbagai pendekatan praktis kita pada banyak masalah akan selalu ketinggalan kereta. Singkatnya, sementara sungai sejarah yang terus mengalir melahirkan berbagai realitas baru, kita ada dalam bahaya  jika masih memakai cara pandang yang itu-itu juga (B. Herry Priyono, 2002).

Negara sebagai biang keladi

Sekali kita menerima fakta ekspansi kekuasaan bisnis yang begitu dramatis dalam beberapa dasawarsa ini, dan sekali kita menggagas serius implikasi yang dibawa oleh konsentrasi pemilikan kekuasaan dalam suatu masyarakat, mungkin kita jadi maklum mengapa kita gagap menanggapi tanda-tanda zaman.

Kalau pemahaman tradisional punya kelemahan serius, bingkai alternatif apa yang mungkin bisa diajukan? Kita terbiasa memandang ”negara” (state) sebagai biang keladi setiap soal yang memprihatinkan: dari luasnya konsumerisme sampai kondisi buram kaum buruh dan dari luasnya kolusi sampai pencemaran lingkungan.

Bukankah asas tunggal cara pandang itu datang dari pengandaian monistik bahwa aparatur negara merupakan pemegang tertinggi kekuasaan di masyarakat? Kalau pengandaian itu tidak lagi selalu benar secara empiris lantaran pergeseran-pergeseran konstelasi kekuasaan dalam sejarah, bukankah bersama itu juga kita membutuhkan pembaharuan  pisau analisa kita?

Paling tidak ada dua pokok mengapa kita perlu menganggap serius ekspansi kekuasaan bisnis sebagai aksis ontologis bagi refleksi kita. 

Pertama, sumber dan bentuk kekuasaan atas suatu masyarakat bukan tunggal (monocentrist), melainkan jamak (polycentrist). Kekuasaan finansial pemodal dan stafnya untuk melakukan atau tidak melakukan investasi, membeli keputusan pengadilan atau mendesakkan penggusuran, sama konkritnya dengan kekuasaan presiden untuk mengundangkan peraturan.

Karena itu, amat menyesatkan menganggap kinerja kekuasaan hanya sekedar soal otoritas legal-formal aparatur negara.

Kekuasaan atas masyarakat tidak terbatas pada kontrol atas institusi negara, tidak juga pada jabatan pemerintahan. Apakah kita masih percaya bahwa pemerintah merupakan penguasa riil atas masyarakat, bila 15 keluarga menguasai 61,7 persen kapitalisasi pasar di Indonesia, dan sedikitnya 71,5 persen perusahaan go public dikuasai oleh keluarga? Ini ditambah lagi dengan skandal BLBI Rp 650 trilyun yang sampai saat ini belum jelas penyelesaianna dan beban utang luar negeri Indonesia pada triwulan II 2025 tercatat sebesar USD 433,3 miliar (atau sekitar Rp 7,039 triliun), yang membebani rakyat begitu berat.

Kedua, kekuasaan bisnis berakar dari kapasitasnya untuk melakukan dan tidak melakukan investasi. Di sinilah kekuatan modal mampu mengalahkan kekuatan moral. Karena itu, nasionalisme tanpa supremasi hukum, rule of law yang tegas, memiliki transparansi, kepastian dan akuntabilitas, hanya akan menjadi nasionalisme yang hampa makna. Hal ini sangat berbeda dengan RRC (China) yang dalam proses modernisasi dewasa ini secara tegas memberlakukan law enforcement.

Ambillah contoh modernisasi China. China dewasa ini adalah China yang bersolek. Di kota-kota utama terdapat ratusan gedung pencakar langit, taman kota yang luas, jalur pejalan kaki yang teduh dan lebar, transportasi publik dan infrastruktur yang modern tumbuh subur dalam kedipan mata.

China hari ini memang sedang berlari dan berpesta, jauh meninggalkan tetangga-tetangganya di Asia bahkan dunia yang masih lemah tertatih oleh pukulan krisis ekonomi dalam negeri dan beban hutan luar negeri yang begitu besar.

Dengan modal pertumbuhan ekonomi tujuh persen yang stabil, kota-kota di China serempak membangun, mempercantik diri dan berlomba-lomba mengundang investasi asing. Ini termasuk memanggil secara moral keturunan China di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi di negeri berpenduduk 1,4 milyar ini. Tak heran jika pejabat Indonesia melawat ke China hanya menyiratkan rasa kaget akan kemajuan pembangunan di China yang sebagian terbaca dari citra fisik kota-kotanya.

China dewasa ini adalah juga China yang kukuh, terutama dalam pemberantasan korupsi. Sejak awal tahun 1980-an ratusan ribu kasus korupsi dibawa kepengadilan. Para pejabat negara yang terlibat korupsi dan pengusaha-pengusaha yang ia beri kemudahan dalam urusan bisnis dihukum mati.  Seberapa pun besarnya nilai korupsi yang dilakukan pejabat di China, langsung dihukum mati. Untuk ukuran korupsi di Indonesia, jangankan milyaran, triliyuan yang biasanya dengan banyak alasan berakhir dengan ringannya hukuman atau bebasnya si pelaku oleh pengadilan.

”Sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak!” sumpah Zhu Rongji, Perdana Menteri China, dalam satu kesempatan. ”Itu jika di akhir jabatan nanti, saya terbukti melakukan secuil korupsi”. Efek sumpah Zhu Rongji ini memang ampuh bergema di negeri yang sempat dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia ini.

Konsep clean government mulai terasa pada beragam aspek, dengan penerapan kompetisi dan transparansi dalam mekanisme pembangunannya. Inilah nasionalisme China. Bandingkan dengan nasionalisme kita yang tak mengindahkan keadilan, law enforcement dan kepastian hukum, melainkan hanya verbalisme belaka dalam pemberantasan KKN! (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *