Oleh: Nikodemus Nahri Gemsa, Jurusan Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta
beritabernas.com – Kesuksesan biasanya dipandang sebagai sesuatu yang harus diraih setiap orang. Ia menjadi simbol perjuangan, kebanggaan sekaligus tanda kemajuan. Namun, bagi sebagian masyarakat Boven Digoel, kesuksesan justru berubah menjadi hambatan. Sarjana yang mestinya menjadi aset pembangunan sering kali dibebani stigma, bahkan dijadikan korban kecemburuan sosial. Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks dalam kehidupan sosial: pendidikan dipandang penting, tetapi keberhasilan dari pendidikan sering kali justru mendatangkan bahaya.
Sejak dimekarkan pada tahun 2002, Kabupaten Boven Digoel mencatat peningkatan jumlah sarjana hingga sekitar 65%. Sebuah angka yang seharusnya menjadi modal berharga bagi daerah yang masih bergulat dengan keterbatasan. Pemerintah berusaha mengakomodasi keberadaan sarjana melalui kebijakan pengadaan pegawai negeri sipil. Pada tahun 2024, dikeluarkan Pengumuman Nomor: 800/1576/BUP/VIII/2024 tentang Pengadaan CPNS Formasi tahun 2024, yang menyediakan 144 formasi di lingkungan pemerintahan daerah. Para lulusan ditempatkan sesuai jurusan masing-masing, diharapkan mampu memberikan pelayanan publik yang lebih baik.
Namun realitas di lapangan tidak selalu sesuai dengan harapan. Pelayanan publik masih berbelit-belit, birokrasi masih panjang, dan masyarakat tetap sulit mengakses kebutuhan dasar. Mengurus KTP saja sering kali mengharuskan warga melewati proses verifikasi berulang dan melibatkan pihak ketiga. Praktik suap menjadi jalan pintas, mencerminkan lemahnya integritas pelayanan. Dalam konteks ini, kehadiran sarjana tidak serta-merta menyelesaikan masalah, karena struktur birokrasi yang kaku membuat mereka tak leluasa bergerak.
Baca juga:
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Politik Pengelolaan SDA di Papua Selatan, dari Food Estate, Ekspansi Perkebunan hingga Perampasan Ruang Hidup Rakyat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Meski demikian, masyarakat tetap menaruh harapan pada pendidikan. Mereka percaya, sekolah adalah jalan keluar dari kemiskinan. Orangtua berjuang agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi, bahkan hingga ke luar Papua atau Jawa. Sebab, sebagaimana kata Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Tetapi tidak semua mampu bertahan; ada yang putus sekolah, ada yang berhenti di tengah jalan. Namun semangat untuk menjadikan anak lebih baik dari orangtuanya selalu hidup, bahkan di tengah keterbatasan ekonomi.
Sayangnya, keberhasilan pendidikan tidak selalu diterima dengan lapang dada. Di Boven Digoel, kesuksesan seseorang sering memunculkan kecemburuan sosial. Kesuksesan dimaknai sederhana: punya pekerjaan tetap, mampu membantu keluarga, atau mengenakan seragam pegawai. Tetapi begitu seorang sarjana pulang kampung dengan status “orang sukses”, ia justru menghadapi tatapan sinis. Keluarga besar yang semestinya menjadi pelindung kadang berubah menjadi ancaman. Perasaan tersaingi menumbuhkan dengki, yang berujung pada upaya menjatuhkan bahkan menghabisi nyawa.
Fenomena ini bukan sekadar isu sosial biasa. Ia sudah menjadi pola yang merusak kepercayaan antaranggota masyarakat. Seseorang yang berhasil sering dianggap “penjarah”-orang yang sukses karena mengambil hak orang lain. Pandangan ini melahirkan jarak sosial yang makin lebar. Alih-alih menjadi teladan, orang sukses dipandang sebagai musuh. Akibatnya, banyak sarjana memilih menutup diri, jarang tampil di ruang publik, bahkan membatasi interaksi demi keselamatan diri.
Kisah Benediktus Tambonop (1975–2020), Bupati Boven Digoel, menjadi ilustrasi nyata betapa rapuhnya penerimaan masyarakat terhadap kesuksesan. Meski secara resmi dinyatakan meninggal akibat sakit jantung, berbagai spekulasi muncul mengenai penyebab kematiannya. Sebagian orang meyakini ada keterkaitan dengan tekanan politik maupun kecemburuan sosial. Kasus ini menegaskan bahwa bahkan pejabat tinggi pun tidak kebal terhadap bahaya iri hati.
Masalah kecemburuan sosial ini berakar pada struktur sosial yang masih rapuh. Dalam masyarakat yang berbasis kekerabatan, keberhasilan seseorang seharusnya menjadi kebanggaan bersama. Namun, ikatan kekerabatan justru sering berubah menjadi sumber konflik. Keluarga terdekat bisa menjadi pihak yang paling merasa tersaingi. Keberhasilan seseorang dilihat sebagai pamer, bukan sebagai peluang untuk memperbaiki kehidupan bersama. Hal ini menimbulkan kontradiksi: di satu sisi masyarakat menginginkan pendidikan, tetapi di sisi lain mereka khawatir pada dampak kesuksesan.
Dalam jangka panjang, fenomena ini berbahaya. Generasi muda bisa kehilangan semangat untuk sekolah jika melihat pendidikan membawa risiko. Alih-alih dipandang sebagai jalan perubahan, sekolah dianggap sebagai jalan menuju masalah. Pola pikir ini bisa melanggengkan kemiskinan, karena masyarakat enggan berusaha lebih baik akibat takut menghadapi kecemburuan sosial.
Opini saya sederhana: kesuksesan tidak boleh dipandang sebagai ancaman. Kesuksesan harus dilihat sebagai milik bersama, bukan milik individu semata. Sarjana adalah aset yang bisa membangun daerah, bukan pesaing yang harus dijatuhkan. Dalam masyarakat adat yang kaya akan nilai solidaritas, mestinya ada kesadaran baru bahwa keberhasilan satu orang berarti keberhasilan komunitas. Jika satu orang menjadi dokter, guru, atau pegawai, itu bukan berarti dia lebih tinggi dari yang lain, melainkan menjadi jembatan bagi kemajuan bersama.
Pemerintah daerah, tokoh adat, gereja, hingga aparat keamanan punya peran penting dalam mengubah paradigma ini. Mereka harus menanamkan pemahaman bahwa iri hati hanya akan melahirkan keretakan sosial. Sebaliknya, kerja sama dan penerimaan akan memperkuat solidaritas. Pendidikan harus terus dipromosikan sebagai jalan keluar, bukan jalan buntu.
Boven Digoel memiliki potensi besar untuk bangkit jika kecemburuan sosial bisa diatasi. Bayangkan jika setiap sarjana diberi ruang aman untuk mengabdi, maka pelayanan publik akan lebih baik, birokrasi akan lebih lancar, dan masyarakat akan merasakan manfaat langsung. Tetapi selama kesuksesan dipandang sebagai penjarah, daerah ini akan terus terjebak dalam lingkaran konflik, ketidakpercayaan, dan keterbelakangan.
Menjadi sukses memang tidak mudah. Tetapi lebih sulit lagi ketika kesuksesan dianggap sebagai dosa. Di sinilah tantangan terbesar masyarakat Boven Digoel: bagaimana mengubah cara pandang agar kesuksesan tidak lagi dibasmi, melainkan dirangkul. Sebab pada akhirnya, masa depan tidak bisa dibangun dengan kecemburuan, melainkan dengan kebersamaan. (*)
There is no ads to display, Please add some