Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Rumah seharusnya menjadi benteng perlindungan, tempat di mana rasa aman dan kasih sayang bersemi. Namun, data yang baru saja dirilis mengejutkan kita semua. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, dengan sebagian besar kasus ini justru terjadi di dalam lingkup rumah tangga. Angka ini bukan sekadar statistik; di baliknya ada ribuan kisah pilu, trauma mendalam dan harapan yang hancur.
Ini adalah panggilan darurat bagi kita semua untuk melihat lebih jernih, bahwa bahaya tak selalu datang dari luar, melainkan seringkali bersembunyi di balik pintu-pintu yang seharusnya melindungi. Lantas, ketika rumah yang semestinya menjadi surga berubah menjadi neraka, siapa yang akan bertanggung jawab atas keamanan dan pemulihan mereka yang paling rentan? Kita tidak bisa lagi diam, karena setiap kasus adalah cerminan kegagalan kita bersama dalam menciptakan ruang yang benar-benar aman bagi setiap perempuan dan anak.
Rumah. Kata ini seharusnya memicu perasaan aman, nyaman dan hangat. Sebuah tempat di mana kita dapat menjadi diri sendiri, tumbuh, dan dilindungi. Namun, data terbaru yang baru saja kita terima adalah pukulan telak yang menyakitkan ‘dari Januari hingga Juni 2025, Indonesia mencatat 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan yang paling memilukan adalah mayoritas kekerasan itu terjadi di dalam lingkup rumah tangga.’
Ini bukan sekadar angka yang melintas. Ini adalah cerminan mengerikan dari kegagalan kolektif kita, masyarakat, dan negara, untuk memastikan bahwa rumah benar-benar menjadi benteng perlindungan, bukan malah zona perang bagi mereka yang paling rentan.
Bagaimana bisa sebuah tempat yang diasosiasikan dengan kasih sayang dan keamanan justru menjadi lokasi paling berbahaya? Realitas ini menuntut kita untuk melihat lebih dalam dan mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah masalah personal atau aib keluarga yang harus disembunyikan. Ini adalah isu struktural yang berakar pada ketidaksetaraan gender, budaya patriarki yang masih kuat, dan minimnya kesadaran akan hak asasi manusia di dalam unit terkecil masyarakat.
BACA JUGA:
- Siapa yang Menjaga Api, Siapa yang Bebas Pergi?
- Mengenang ’98, Membela Hari Ini: Pemerkosaan Bukanlah Rumor
- Perempuan sebagai Agen Perubahan Besar bagi Dunia
Data dari Komnas Perempuan, misalnya, seringkali menunjukkan bahwa KDRT mendominasi laporan kekerasan terhadap perempuan, dan tren ini tampaknya terus berlanjut. Bahkan, studi global dari UN Women dan WHO (2021) secara konsisten menemukan bahwa satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, sebagian besar dilakukan oleh pasangan intim mereka. Ini bukan fenomena lokal, melainkan permasalahan global yang diperparah oleh norma sosial yang mentolerir, atau bahkan membenarkan kekerasan di balik tembok rumah.
Ketika rumah tidak lagi menjadi surga, melainkan berubah menjadi neraka bagi perempuan dan anak, kita harus berani menunjuk hidung dan bertanya ‘Siapa yang bertanggung jawab? Apakah kita sudah cukup serius menangani akar masalahnya, atau hanya sibuk dengan penanganan kasus per kasus tanpa menyentuh fondasi masalahnya?’
Data 11.850 kasus ini harus menjadi panggilan bangun, bukan sekadar statistik yang berlalu begitu saja. Ini adalah darurat kemanusiaan yang menuntut intervensi serius, perubahan paradigma, dan komitmen nyata dari setiap elemen masyarakat, dari individu hingga institusi negara.
Minimnya pelaporan dan stigma puncak gunung es yang tak terlihat
Angka 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia selama Januari hingga Juni 2025, dengan mayoritas kasus di dalam rumah tangga, adalah angka yang mencengangkan. Namun, sebagai seorang aktivis yang berkomitmen pada keadilan gender, saya harus dengan tegas menyatakan bahwa angka ini, meski sudah sangat tinggi, kemungkinan besar hanyalah puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.
Ini adalah realitas pahit yang harus kita hadapi ‘ada puluhan, bahkan ratusan ribu kasus kekerasan lain yang tak pernah terlaporkan, yang tersembunyi di balik dinding-dinding rumah tangga, di bawah karpet stigma, dan di balik kebisuan yang dipaksakan.’
Mengapa begitu banyak kasus yang tidak muncul ke permukaan? Ada banyak lapisan penyebab yang kompleks. Pertama, rasa takut adalah faktor dominan. Takut akan ancaman pelaku, takut kehilangan dukungan finansial, takut dikucilkan keluarga atau masyarakat, atau bahkan takut akan proses hukum yang berbelit dan tidak berpihak pada korban.
Kedua, stigma sosial masih sangat kuat. Korban seringkali disalahkan, dianggap aib, atau malah didorong untuk ‘memaafkan’ demi menjaga keutuhan keluarga. Budaya patriarki yang mengakar kuat di banyak komunitas seringkali menempatkan “kehormatan keluarga” di atas keselamatan dan hak asasi individu, terutama perempuan dan anak. Ini selaras dengan temuan Komnas Perempuan yang secara konsisten menyoroti minimnya akses korban untuk melapor dan mendapatkan keadilan, seringkali karena hambatan budaya dan sosial.
Lebih lanjut, kurangnya kesadaran akan hak-hak korban, ketidaktahuan tentang jalur pelaporan dan ketiadaan dukungan emosional dan finansial yang memadai juga menjadi penghalang besar. Organisasi seperti LBH APIK Jakarta, yang kerap menangani kasus KDRT, sering melaporkan bagaimana korban menghadapi kesulitan luar biasa dalam mencari bantuan, mulai dari proses verifikasi yang invasif hingga tekanan untuk berdamai.
Bila kita serius ingin mengatasi epidemi kekerasan ini, kita tidak dapat hanya berfokus pada angka yang tercatat. Kita harus berinvestasi dalam membangun sistem dukungan yang komprehensif, menciptakan lingkungan yang aman di mana korban merasa berdaya untuk bersuara, dan secara agresif menantang stigma yang membungkam mereka.
Mandulnya sistem perlindungan dan penegakan hukum
Angka 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di paruh pertama tahun 2025, yang sebagian besar terjadi di rumah tangga, bukan hanya sekadar statistik yang menyedihkan. Ini adalah cerminan telanjang dari kemandulan sistem perlindungan dan penegakan hukum kita yang belum optimal, atau bahkan dapat dikatakan, mengecewakan.
Bila sistem yang ada sudah berjalan efektif, angka-angka ini seharusnya jauh lebih rendah, atau setidaknya, korban akan merasa aman dan mendapatkan keadilan dengan cepat. Realitasnya justru sebaliknya, dan ini memunculkan pertanyaan kritis “Apakah kita telah menyediakan perangkat yang cukup kuat untuk melawan epidemi kekerasan ini?”
Apakah aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga hakim, sudah dibekali dengan sensitivitas gender dan pemahaman trauma yang memadai? Seringkali, korban kekerasan, terutama KDRT, justru mengalami viktimisasi sekunder saat melapor. Mereka diinterogasi dengan cara yang tidak peka, kasusnya diremehkan, atau bahkan didesak untuk berdamai.
- Indonesia untuk Kemanusiaan dan Komnas Perempuan Kembali Menggelar Give Back Sale
- Mimpi Perempuan, Milik Perempuan
- Ketangguhan Perempuan Indonesia di Era Modern
Data dari berbagai lembaga bantuan hukum, seperti LBH APIK atau PUSPAYA, kerap menunjukkan bagaimana proses hukum yang berlarut-larut, kurangnya bukti yang kuat karena ketiadaan visum atau saksi, serta minimnya putusan yang memberikan efek jera, seringkali membuat korban putus asa. Sebagai contoh, laporan Komnas Perempuan selalu menyoroti bahwa banyak kasus kekerasan, termasuk KDRT, berakhir tanpa keadilan yang memadai bagi korban, atau bahkan malah pelaku lolos dari jerat hukum.
Selain itu, apakah kita memiliki mekanisme pencegahan yang proaktif? Atau kita hanya reaktif, menunggu kasus terjadi baru bertindak? Edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, hak-hak perempuan dan anak, serta pentingnya kesetaraan gender masih sangat minim dan belum menyentuh semua lapisan masyarakat.
Belum lagi berbicara tentang rehabilitasi komprehensif bagi korban yang sangat krusial untuk pemulihan jangka panjang, atau program deradikalisasi yang efektif bagi pelaku. Tanpa upaya menyeluruh yang mencakup pencegahan, penanganan yang sensitif gender, penegakan hukum yang adil, dan rehabilitasi yang memadai, kita hanya akan terus-menerus terjebak dalam siklus kekerasan ini.
Data 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di paruh pertama 2025, yang mayoritas terjadi di rumah tangga, adalah sebuah cermin yang menunjukkan bahwa ini bukan lagi masalah privat, melainkan masalah publik yang mendesak dan membutuhkan tanggung jawab kolektif. Kita tidak lagi mampu berlindung di balik asumsi bahwa “urusan rumah tangga adalah urusan pribadi”.
Kekerasan di dalam rumah, seperti yang ditunjukkan oleh angka-angka ini, adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan merusak fondasi masyarakat kita.
Pemerintah memikul beban tanggung jawab yang besar. Mereka harus memperkuat regulasi, tidak hanya sekadar membuat undang-undang, tetapi memastikan implementasi yang efektif. Ini berarti meningkatkan alokasi anggaran yang signifikan untuk lembaga-lembaga perlindungan seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), rumah aman, dan layanan konseling. Data menunjukkan bahwa banyak lembaga ini masih kekurangan sumber daya.
Sebagai contoh, laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sendiri seringkali menggarisbawahi kebutuhan peningkatan kapasitas dan jangkauan layanan. Selain itu, penegakan hukum yang berpihak pada korban harus menjadi prioritas utama. Ini mencakup pelatihan sensitivitas gender bagi aparat penegak hukum, memastikan proses hukum yang cepat dan transparan, serta memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku.
Namun, tanggung jawab ini tidak berhenti di pemerintah. Masyarakat juga harus menjadi agen perubahan yang aktif. Dimulai dari lingkungan terdekat, kita harus meninggalkan budaya permisif terhadap kekerasan dan berhenti mencari pembenaran atas tindakan yang merendahkan martabat manusia. Ini berarti tidak menutup mata saat melihat tanda-tanda kekerasan, memberikan dukungan nyata kepada korban tanpa menghakimi, dan membangun komunitas yang peduli serta saling melindungi. Edukasi tentang kesetaraan gender dan hak-hak anak perlu diintegrasikan secara masif, mulai dari bangku sekolah hingga lingkungan keluarga.
Organisasi masyarakat sipil dan aktivis seperti kita terus berjuang untuk mendorong kesadaran ini, karena kita tahu bahwa perubahan sejati hanya akan terjadi ketika setiap individu merasa memiliki andil dalam menciptakan masyarakat yang aman dan adil. Ini saatnya kita semua bertindak, mengubah norma-norma usang, dan memastikan setiap rumah benar-benar menjadi tempat yang aman bagi perempuan dan anak.
Angka 11.850 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam enam bulan pertama 2025 adalah pengingat yang menyakitkan ‘rumah tangga, yang seharusnya menjadi benteng teraman, justru menjadi sarang kekerasan.’ Namun, kita harus ingat, angka ini kemungkinan besar hanyalah puncak dari gunung es.
Ribuan kasus lain masih tersembunyi dalam kebisuan, terbungkus stigma, dan terperangkap oleh ketakutan. Ini adalah tantangan besar bagi kita semua. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memecah kebisuan ini. Kita harus menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman untuk bersuara, tanpa rasa takut akan penghakiman atau viktimisasi ulang. Ini berarti memperkuat sistem dukungan, memastikan akses mudah ke layanan bantuan hukum dan psikologis, serta secara aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghapus stigma terhadap korban.
Mari kita berhenti menormalisasi kekerasan dalam bentuk apa pun dan mulai membangun budaya di mana setiap perempuan dan anak merasa dilindungi dan dihargai, baik di dalam maupun di luar rumah. Hanya dengan begitu, kita dapat berharap untuk melihat angka-angka ini menurun, dan setiap rumah kembali menjadi tempat yang benar-benar aman. (*)
There is no ads to display, Please add some