Oleh: Marselinus R Sawoi, Mahasiswa Studi Akhir STPMD “APMD” Yogyakarta
beritabernas.com – Kepemimpinan sesungguhnya menuntut keteladanan, keadilan dan keberanian untuk berdiri di depan masyarakat dengan integritas. Seorang kepala kampung, sebagai pemimpin lokal, memikul tanggung jawab besar untuk melindungi hak-hak warganya, menjamin kesejahteraan dan menegakkan hukum.
Peran ini menuntut kesadaran bahwa setiap keputusan yang diambil akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, dan setiap tindakan harus mencerminkan kejujuran serta kepedulian terhadap rakyat.
Namun, peristiwa yang terjadi di Kampung Yenanas, Kabupaten Raja Ampat justru menunjukkan ketimpangan antara prinsip kepemimpinan ideal dan kenyataan di lapangan. Kepala Kampung Marsallinus Rudolof Sawoi menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan pelanggaran etika yang serius. Ketidakadilan dalam pembagian bantuan sosial, termasuk BLT dan fasilitas lainnya, memunculkan keresahan di kalangan warga. Tindakan kepala kampung ini dinilai menimbulkan konflik, ketidakpercayaan, dan ketidakadilan.
Lebih jauh, laporan mengenai perusakan rumah warga menambah catatan kelam kepemimpinannya. Tindakan yang seharusnya mencerminkan perlindungan terhadap masyarakat justru berbalik menjadi ancaman. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana seorang pemimpin yang dipercayai masyarakat dapat mengabaikan tanggung jawabnya hingga melakukan perbuatan yang merugikan rakyat sendiri?
Peristiwa di Yenanas seharusnya menjadi alarm bagi pengawasan dan akuntabilitas kepemimpinan tingkat lokal. Keteladanan seorang pemimpin bukan hanya soal kebijakan formal, tetapi juga perilaku nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang merusak tidak hanya mengancam kesejahteraan warga, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Masyarakat berhak mendapatkan pemimpin yang adil, transparan dan bertanggung jawab. Kasus Marsallinus Rudolof Sawoi menegaskan bahwa kekuasaan tanpa integritas akan berpotensi menimbulkan kerusakan sosial, konflik, dan ketidakpercayaan yang mendalam. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi, pengawasan yang ketat dan langkah-langkah hukum dan etika untuk memastikan bahwa kepemimpinan lokal benar-benar menempatkan rakyat sebagai prioritas utama.
Kronologi masalah
Masalah bermula saat pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang diberikan bersamaan dengan bantuan fiber. Warga mengeluhkan ketidakadilan distribusi, karena bantuan yang seharusnya fokus pada yang membutuhkan justru diberikan kembali kepada warga yang sebelumnya sudah menerima bantuan lain, termasuk fasilitas transportasi atau kendaraan bermotor. Contohnya, ada warga yang baru membangun rumah tetapi tetap menerima bantuan fiber, sementara warga lain yang tidak memiliki akses transportasi laut justru terabaikan.
Baca juga:
- Ketika Birokrasi Melucuti Hak-hak Adat, Krisis Identitas pun Terjadi di Papua Selatan
- Birokrasi Papua Selatan dan Ancaman Terhadap Kebebasan Mahasiswa Merauke di Yogyakarta
Selain itu, ada indikasi bahwa data KTP warga hanya dijadikan “hiasan” untuk menambah jumlah penduduk di atas kertas, tanpa diikuti distribusi yang adil. Kepala kampung beralasan pembagian dilakukan secara bergiliran, namun kenyataannya kelompok tertentu lebih diutamakan, sehingga menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat.
Ketegangan meningkat ketika warga menyampaikan protes. Masyarakat menenangkan situasi melalui dialog, kepala kampung justru terpancing emosi. Dalam kondisi tak terkendali, ia mendatangi rumah salah satu warga dengan nada mengancam, lalu melakukan perusaka. Kaca jendela pecah, pintu rusak, dan menciptakan rasa takut di tengah masyarakat. Tindakan ini jelas melanggar hak warga atas rasa aman dan harta benda yang dijamin konstitusi.
Pelanggaram etika dan moral kepemimpinan
Perbuatan Marsallinus Rudolof Sawoi jelas melanggar prinsip etika kepemimpinan, yang seharusnya menekankan keadilan, keteladanan dan keberpihakan pada rakyat, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pelanggaran utama yang dapat diidentifikasi meliputi:
Ketidakadilan dalam distribusi bantuan. Sebagai pemimpin, kepala kampung memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap warga mendapatkan haknya secara adil. Namun, Marsallinus diduga menyalurkan bantuan sosial secara diskriminatif, lebih mengutamakan kerabat atau pihak yang dekat dengannya. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan dan ketegangan di masyarakat dan melukai prinsip dasar pemerintahan yang adil dan merata.
Kepemimpinan yang etis menuntut pemisahan yang tegas antara kepentingan pribadi dan publik. Tindakan Marsallinus, seperti penggunaan fasilitas desa untuk kepentingan pribadi atau mengatur proyek demi keuntungan kelompok tertentu, menunjukkan penyalahgunaan wewenang yang merusak integritas jabatan.
Pemimpin harus menjadi contoh dalam bersikap dan bertindak. Marsallinus, melalui perilaku yang merusak rumah warga dan memicu kericuhan, justru menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan di tengah masyarakat. Hal ini menurunkan wibawa jabatan dan mencederai kepercayaan publik terhadap pemimpin lokal.
Prinsip kepemimpinan etis menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama. Tindakan yang tidak mempertimbangkan dampak sosial, seperti keputusan yang merugikan warga atau tidak merata dalam pembagian bantuan, menunjukkan ketidakpedulian terhadap kebutuhan dan hak rakyat yang seharusnya dilindungi.
Etika kepemimpinan juga menuntut pemimpin menjaga harmoni dan solidaritas komunitas. Dengan perilaku yang memecah belah warga atau menciptakan konflik internal, Marsallinus telah merusak fondasi sosial yang seharusnya diperkuat melalui kepemimpinan yang bijak.
Bantuan sosial adalah hak rakyat dan harus diberikan sesuai kebutuhan. Memberikan bantuan kepada warga yang telah menerima fasilitas lain merupakan penyalahgunaan wewenang. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap orang memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama.
Kepala kampung seharusnya menyelesaikan masalah melalui musyawarah, bukan intimidasi. Perusakan rumah termasuk tindak pidana menurut Pasal 406 KUHP. Alih-alih menjadi pelindung, tindakan tersebut menebarkan ketakutan, bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas rasa aman dan perlindungan harta benda.
Kepercayaan masyarakat adalah modal utama seorang pemimpin. Sekali hilang, legitimasi kepemimpinan runtuh. Kepala kampung yang bertindak sewenang-wenang merusak fondasi demokrasi lokal dan memicu ketidakstabilan sosial.
Tindakan Kepala Kampung Marsallinus Rudolof Sawoi bertentangan dengan sejumlah aturan hukum dan konstitusi. UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum; setiap tindakan aparat desa harus berada dalam koridor hukum. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945: setiap warga berhak atas perlindungan diri, keluarga, martabat, dan harta benda.
Kemudian Pasal 28H ayat (2) UUD 1945: setiap orang berhak mendapat kesempatan dan manfaat yang sama untuk keadilan sosial. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945: fakir miskin dipelihara oleh negara, sehingga BLT harus diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan.
Sementara UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, Pasal 26 ayat (4): kepala desa wajib:
a. Memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 serta menjaga keutuhan NKRI.
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Menjalankan demokrasi yang adil dan akuntabel.
d. Menegakkan pemerintahan desa yang transparan dan profesional.
KUHP Pasal 406 ayat (1): ancaman pidana bagi yang merusak harta benda orang lain.
Kejadian ini menunjukkan krisis kepemimpinan lokal. Kepala kampung yang seharusnya menjadi simbol persatuan, justru menimbulkan konflik. Warga yang berharap mendapat perlindungan dan keadilan disuguhi ketidakadilan dan ancaman. Mereka yang sudah memiliki kendaraan mendapat bantuan lagi, sementara warga yang kesulitan transportasi laut hanya menjadi penonton.
Krisis ini mengganggu stabilitas sosial dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Tindakan emosional kepala kampung menegaskan penyalahgunaan wewenang dan merusak prinsip demokrasi lokal.
Jalan keluar
Beberapa langkah penting untuk menanggulangi masalah ini. Pertama, evaluasi dan investigasi aparat berwenang. Camat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat atau Kepolisian perlu menindaklanjuti perilaku kepala kampung yang melanggar hukum dan etika.
Baca juga tulisan lainnya:
- Pemkab Merauke Harus Transparan dan Tata Ulang Pengelolaan Asrama Putri di Yogyakarta
- Dua Model Pendekatan Ini Dilakukan Pemerintah dalam Membangun Tanah Papua
Distribusi bantuan harus transparan. Data penerima harus diverifikasi bersama tokoh masyarakat agar tidak terjadi praktik pilih kasih, sesuai Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945.
Kepala kampung harus meminta maaf secara terbuka, memberikan ganti rugi yang layak, dan menunjukkan komitmen menegakkan etika kepemimpinan. Pendidikan etika bagi kepala kampung penting agar jabatan dipahami sebagai amanah, bukan alat untuk menekan rakyat.
Kasus Kepala Kampung Marsallinus Rudolof Sawoi di Yenanas mencerminkan kepemimpinan lokal yang kehilangan arah. Ketidakadilan distribusi bantuan, ancaman, dan perusakan rumah warga menunjukkan jauhnya tindakan tersebut dari nilai kepemimpinan yang sejati.
Secara hukum perbuat ini melanggar UUD 1945 terkait hak rasa aman, keadilan, dan perlindungan harta benda, UU Desa terkait kewajiban kepala desa melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan KUHP terkait tindak pidana perusakan.
Masyarakat Yenanas membutuhkan pemimpin yang adil, beretika dan berpihak pada rakyat kecil, bukan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) tidak boleh membiarkan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal. Jika dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa. (*)
There is no ads to display, Please add some