beritabernas.com – Di hari kini, aktual kini, di mana senirupa menjadi profesi tak dapat disalahkan jika penyikapan atas profesi kesenirupaan itu pun disikapi secara industrial. Meski pada saat yang bersamaan senirupa masih saja menunjukkan sisi misteriusnya antara arga material dengan nilai immaterialnya-atau jangan-jangan, komoditi yang bersandar pada dunia ide dan platonik ini yang justru berhasil dimainkan oleh kaum saudagar seni rupa.
Bagaimana bagi mereka yang tak berbakat merangkap jadi saudagar? Mungkin ada baiknya bersandar pada kebijakan satir : jodoh ada di tangan Tuhan, rejeki tak lari kemana-mana.
Kelompok Parkiran adakah komunitas lama di Yogyakarta. Tumbuh di area Parkiran FSRD ISI Yogyakarta. Tanpa bermaksud sok gagah, kemudaan kelompok parkiran pada saatnya kelompok yang menolak kemapanan, meski menjadi manusia sejatinya pada pengertian tertentu akan sampai pada kemapanan dan tak bisa menolak kemapanan. Tentu saja, soal ini masih bisa diperdebatkan. Sayang saya tak punya kapabilitas untuk itu.
Dalam suatu pameran di Galery Nasional tahun 2011 Jim Supangkat menulis, ‘Berbeda dengan kelompok lain yang mengusung sesuatu keyakinan seni atau bahkan ideologi, kelompok ini tidak punya ikatan, tidak punya keanggotaan tetap dan tidak punya ideologi bahkan tidak punya tujuan. Kelompok parkiran ini dikenal sebagai kelompok pemabuk yang sering diangkut polisi.
Di satu sisi, kelompok ini bisa dilihat sebagai kaum terbuang-eperti halnya street artists. Namun di sisi lain, kelompok ini bisa dilihat sebagai orang-orang yang cenderung berada di luar sistem.’ Demikian kata Jim Supangkat. Wajar, dalam prosesnya kelompok parkiran bertindak yang dalam kacamata mainstream disebut aneh-aneh (sebut contohnya).
Hari menggambar nasional bagi kelompok Parkiran menjadi momen reflektif untuk memerdekakan diri menempuh jalan meditasi estetik dengan titik tekan setiap manusia berhak atas kegiatan itu demi suatu pencapain hakekat kebermainan yang puluhan tahun lampau diingatkan oleh seorang filsuf bernama Johan Huizinga melalui teorinya Homo Ludens.
Bagi saya sebagai seorang aktor, melukis adalah perayaan kesenangan, melepaskan tenaga dari himpitan kekhawatiran pikiran, tanpa membatasi lontaran tenaga sendiri supaya tidak membendung chi sendiri, dengan menemukan kanal atau portal yang sehat.
Merayakan kesadaran atas penemuan bahwa ternyata estetika itu seperti limpahan air di samudra yang debitnya bisa luas tak terbatas, dalam tak terselam, seperti teori pucuk gunung es di tengah lautan dan terkadang kita hanya berhasil mendapat percikan, sementara magma di dalamnya bergejolak luar biasa.
Penemuan seperti ini sangat membahagiakan saya. Bersyukur bagi mereka yang menemu kearifan metode perawatan estetika dalam hidup sehari-hari, sebab keberadaan maupun jenis media terasa amat kecil-meski tak dapat dipungkiri hal tehnik tetap saja musti ditempuh dalam pembiasaan.
Yang mengagetkan bagi saya muncul suatu kesadaran bahwa estetika tak pernah mati. Kita hanya tak hirau dengan keberadaannya. Kesalahan banyak manusia adalah tak hirau dengan talentanya sendiri.
Di abad milenial ini, dimana ruang dan waktu hanyalah lipatan-lipatan origami yang dimainkan oleh ujung jari melalui layar handphone, dimana batas-batas profesi mungkin tak selalu pararel dengan identitas atau sebaliknya. Siapa pun boleh menggambar. Pandangan inilah yang membuat pada hari ini bisa ikut pameran.
Pada kesempatan ini secara pribadi saya mengucapkan terimakasih kepada para sahabat yang mendorong saya ikut menggambar/ melukis. Mereka-mereka inilah yang mensuport saya baik secara materiil, immateriil dan teknik. Mereka adalah Sitok Srengenge, Rismanto masinis Spoor, Meuz Praz, Rifzikka Atmadiningrat, Klowor Waldiono, kurator Heri Kris, dan tentu saja yang memberi ruang dan kesempatan : kelompok Parkiran.
Mari kita ucapkan selamat pada diri sendiri, pada sesama teman dalam forum pameran di hari menggambar nasional ini, dengan penuh hormat pada masyarakat yang telah berinteraksi dengan kita. Tak lupa juga kepada semesta. Semoga Yang Maha Estetik memberikan anugerahnya kepada kita bersama. Amin. Selamat malam. Terimakasih. (Whani Darmawan, seorang aktor dan pelukis)
There is no ads to display, Please add some