Membangun Core Capability Desa

Oleh: Ben Senang Galus, Pemerhati masalah desa, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Sudah amat sering kita dengar diskusi baik di media cetak, elektronik, media daring bertema dinamisasi pembangunan desa. Diskusi  itu berkisar pembangunan desa semakin terpinggirkan dan terisolasi dan tidak bisa menikmati hasil-hasil pembangunan.

Dampaknya, masyarakat desa tidak percaya pada pemerintah, bahkan bisa berakibat buruk, manakala masyarakat akan menarik diri dari kesetiannya pada pemerintah dan membentuk getho kesibukan sendiri. Dikkhawatirkan pula sikap-sikap ini agaknya akan berkelanjutan dan dengan demikian kemiskinan  menjadi salah satu masalah sosial yang terus menerus menjadi bagian dari kehidupan desa.

Konsentrasi pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan kota tidak sesuai dengan esensi filosofi pembangunan yakni desa menjadi roh sebuah negara. Kalau rohnya tidak pernah di benahi bagaimana mungkin tubuhnya (kota ) bisa berkembang. Sehingga tidak heran sering terjadi disparitas antara desa dan kota. Desa menjadi pusat kantong-kantong kemiskinan absolut, sementara kota menjadi tempat pertarungan para konglomerat sebagai arena balapan menumpuk harta kekayaan, baik itu diperoleh dengan cara halal, maupun dengan cara melegitimasi kemiskinan untuk memperoleh kedudukan empuk mereka. 

Para ahli ekonomi Barat, seperti Boeke (1980) mengkonstatasikan, keberhasilan pembangunan bukan diukur dari perubahan drastis pada kota, tetapi bagaimana perubahan  yang terjadi pada desa yang membawa dampak kesejahteraan pada kota. Dampak pertumbuhan ekonomi pada desa mengurangi terjadi urbanisasi besar-besaran ke kota dan mengurangi angka pengangguran dan tawuran di kota

Karena itu apa yang dipersoalkan selama ini adalah apa yang dinamakan ekonomi kerakyatan atau ekonomi berbasis desa. Karena itu pembanguan yang berwawasan desa adalah usaha sadar untuk ekonomi rakyat banyak. Dan sasaran utamanya adalah  menggerakkan potensialitas desa sehingga menimbulkan perubahan-perubahan sosial ekonomi pada masyarakat.

Ini berarti transformasi besar dari kebudayaan pertanian tradisional menuju ke budaya  industri yang berorientasi pasar. Transformasi tidak  cukup hanya mendirikan pabrik-pabrik dan menerapkan teknologi tinggi. Sangat diperlukan transformasi sosial, mentalitas, dan cara hidup bermasyarakat, yang artinya perlu adanya transformasi kebudayaan.

Proyek humanisasi

Usaha ini tidak mungkin berhasil tanpa partisipasi penuh masyarakat desa. Dalam pembanguan berorientasi desa, “industrialisasi desa” merupakan conditio sine qua non. Sebab petani tidak mungkin kesejahteraannnya meningkat dengan lahan kurang dari dua hektar, walau dengan teknologi dan manejemen pertanian mutakir sekalipun. Dengan demikian penduduk pedesaan, yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia harus memperoleh penghasilan dari industri dan jasa di pedesaan itu sendiri.

BACA JUGA:

Karena itu pembangunan berorientasi desa menekankan perlunya revolusi industri masif di desa, tanpa terlepas dari keseluruhan pembangunan dan industrialisasi.

Gagasan ekonomi kerakyatan yang menekankan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi ini, sebenarnya bukanlah perkara baru. Hal ini dilontarkan sebagai strategi paling tepat untuk melawan pendekatan pembanguan yang sering kita pakai yakni pendekatan “developmentalisme”. Tekanan developmentalisme ini adalah pada struktur perubahan produksi sementara perubahan sosial hanya merupakan produk ikutan.

Menjadi persoalan apakah gagasan ekonomi kerakyatan ini bisa diterapkan, sementara pembangunan di Indonesia sudah telanjur menerapkan  developmentalisme. Dengan demikian konsep pembanguna semestinya selalu berarti suatu proyek humanisasi, yang merangkul aspek pembebasan manusia desa, partisipasi masyarakat desa secara penuh, dan pembebasan struktur, di dalamnya manusia melaksanakan peran sesuai dengan statusnya.

Pendekatan Pembangunan

Dalam rangka proyek humanisasi ini, Karl Donald Jackson (2001) mencoba menawarkan empat langkah pendekatan pembangunan. Pertama, pendekatan asistensialis. Model pendekatan ini mengacu kepada bantuan materiil dan pelayanan sosial. Misalnya pada masa krisis, seperti keadaan darurat atau perang, bencana banjir, gempa bumi, letusan gunung, tsunami atau kekeringan, atau keadaan kekurangan fisiologis biologis yang tak dapat dipulihkan seperti penyandang cacat.

Pendekatan ini sifatnya temporer dan merupakan bala bantuan sementara dan terbatas pada mereka yang kebetulan menjadi korban. Pendekatan pembangunan  seperti ini memang baik, namun tak berkasiat banyak untuk membantu dan  membahas akar problematika masyarakat.

Pendekatan ini didasarkan atas adanya perasaan belaskasihan sesama umat atau merasa iba terhadap penderitaan orang lain. Pendektan ini tidak memecahkan masalah, namun mempertajam persoalan serta gagal menembus dimensi faktual untuk mengerti akar permasalahan. Pendekatan ini lalu menjadikan asistensialistik mengekalkan sikap dependency pada diri mereka yang membantunya. Pendekatan ini ibaratnya memberi ikan kepada peminta ikan, tanpa memberi peralatan pancing para peminta ikan.

Kedua, pendekatan fungsionalistik. Karena pembangunan itu meliputi berbagai dimensi  kehidupan manusia, maka untuk mencapai sasaran itu  diperlukan kesebandingan dalam pembangunan. Tidak saja pemenuhan kebutuhan pembangunan dalam arti fisik, tapi juga nonfisik. Dalam artian fisik, misalnya pendidikan memerlukan sarana dan prasarana belajar, buku, ruang laboratorium, ruang kelas yang nyaman, orang sakit memerlukan tempat perawatan yang nyaman.

Orang berjualan memerlukan sarana pasar, orang bepergian memerlukan transportase yang nyaman, orang berkomunikasi memerlukan sarana telepon, orang butuh penerangan memerlukan listrik, orang minum, mandi dan masak memerlukan air.

Pendekatan fungsionalistik memang membantu agar semua sistem dalam masyarakat berfunsgi lebih baik, tetapi sukses dinilai hanya berdasar angka peroleh kuantitatif saja. Pendektan ini mungkin lebih aman secara politis, tetapi ia tak menggugah masyarakat untuk mempertanyakan sistem yang sedang berlaku.

Ketiga, pendekatan, amelioratis, seperti berbagai jenis bantuan sosial yang hanya memecahkan masalah secara simptomatik, namun tidak memecahkan masalah struktur dan pelembagaan krisis itu sendiri, misalnya bantuan tenda darurat, obat-obatan, dan bahan makanan. Keempat, pendekatan partisipasi. Kiranya mengatasi bencana alam tidak cukup dengan melihat dari segi kebutuhan saja lebih melihat pada partisipasi masyarakat.

Pelayanan-pelayanan sosial hanya bisa dimanfaatkan kalau hal itu terintegrasikan ke dalam apa yang disebut self organization dan self management dari kelompok rentan di desa. Artinya, dengan self organization dan self management, mampu merumuskan strategi dan memilih alaternatif-alternatif yang diperlukan dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.

Maka yang perlu diperhatikan dalam pendekatan ini menurut Leonard Barton (1993), adalah kebersamaan dari masyarakat desa itu sendiri. Mereka perlu terlibat dalam mendiskusikan, sebab mereka sendiri mengetahui kebutuhan mereka sendiri. Sehingga di dalam kebersamaan tersebut tidak hanya dicapai self sufficiency terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar, tetapi juga self confidence unsur-unsur pokok bagi self  reliance.

Keempat pendektan tersebut, semuanya baik, namun implementasinya harus kondisional, artinya sesuai keadaan. Namun tak mengurangi makna, maka dari keempat pendekatan pembangunan tersebut saya mencoba  merekomendasikan pendekatan yang paling ideal untuk desa adalah pendekatan kedua dan keempat (fungsionalistik dan partisipasi).

Dengan alasan masyarakat desa cukup potensial untuk maju. Maka peran pemerintah di sini hanya mendorong, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat, serta mengkoordinasikan potensi masyarakat. Dengan konsekuensi perlu membentuk kelompok swadaya yang dinamis berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan, bekerja secara mandiri (self organization dan self management) dengan partisipasi anggota yang wajar serta terus menerus mengusahakan identifikasi masalah dan penentuan strategi dan alternatif pemecahan. Kedua pilihan ini lebih menggugah masyarakat untuk mempertanyakan sistem yang sedang berlaku.

Kelembagaan tradisional seperti arisan,  gotong royong karena sifanya temporer tidak mampu mengatasi masalah kekurangan pangan di desa, karena sifat lembaga tersebut meminjam terminologi Clifford Geertz, disebutnya sebagai “Normless dan Structureless.” Yaitu dengan mengembangkan potensi kepercayaan dan kemampuan masyarakat desa untuk mengorganisir diri sendiri serta membangun sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki.

Memfasilitasi

Secara konsepsional peran pemerintah meliputi tiga aspek pokok, yakni pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Peran pemerintah dalam bidang pemberdayaan  meliputi: pertama, menciptakan demokratisasi  pengelolaan pembangunan di desa   melalui mekanisme pengelolaan pembangunan secara partisipatif, dengan menempatkan masyarakat  sebagai peran utama pembangunan (community based development).

Instrumen yang digunakan untuk mewujudkannya  adalah; pedoman fasilitasi kelembagaan masyarakat sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta  mitra pemerintah desa  dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pedoman perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa, pedoman pendataan profil desa, pedoman evaluasi tingkat perkembangan desa dan sebagainya.

Kedua, memafasilitassi pemberdayaan masyarakat dalam bidang pembangunan  sosial budaya, yang meliputi: pemantapan nilai-nilai budaya lokal yang kondusif bagi pembangunan  masyarakat, peningkatan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga, fasilitassi pembedayaan perempuan,, fasilitasi penanganan ketenagakerjaan, termasuk penanggulangan pekerja anak di sektor informal.

Ketiga, memafasilitasi pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang meliputi: fasilitasi pengembangan ketahanan pangan masyarakat melaui pengembangan kelembagaan lumbung pangan masyarakat desa; fasilitasi pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin melalui program-program penanggulangan kemiskinan; fasilitasi pengembangan usaha mikro di pedesaan; serta fasilitasi penciptaan peluang pemasaran hasil usaha masyarakat melalui penguatan pasar desa.

Keempat, memfasilitasi peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup (community based resources management), yang meliputi: fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam mendayagunakan sumber daya alam, fasilitassi peningkatan peran masyarakat dalam konservasi lahan dan rehabilitasi lingkungan, fasilitasi peran serta dalam pembangunan infrastruktur pedesaan skala kecil (small scale infrastructure) melalui pendayagunaan sumber daya lokal, serta fasilitasi pemasyarakatan dan pendayagunaan teknologi tepat guna dalam mengelola sumber daya alam.

Kelima, memfasilitasi penyelenggaraan pemerintah desa, agar tercipta demokratisasi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa sesuai prinsip-prinsip otonomi desa.

Core capability

Dalam krangka untuk menguat peran desa, maka pemerintah harus membangun keunggulan daya saing desa atau brand, antara lain: perekonomian, sistem keuangan, governance, kebijakan, manajemen makro ekonomi. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah DIY saat ini dan mendatang. Membangun keunggulan lewat branding yang kuat akan muncul  kesan positif pada pemerintah.

Membangun brand adalah sebuah proses yang berkesinambungan, keluarannya adalah reputasi. Penelitian yang dilakukan oleh  Ammon (1995), Cunningham (1997), Martin dan Kettner ( 1996) menghasilkan temuan bahwa  pemerintah yang mampu memiliki keunggulan daya saing, yaitu yang mampu mencapai kinerja di atas normal pada pelbagai bidang ternyata adalah mereka yang memiliki reputasi sebagai penyelenggara pemerintah yang baik (good governance).

Selain itu pemerintah harus memelihara dan membangkitkan core capability yang memiliki empat dimensi, yaitu pengetahuan dan keterampilan, teknologi, manajemen, nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat (Leonard Barton, 2003). Menurut Barton, core capability  atau kemampuan inti adalah serangkaaian kemampuan yang di kembangkanan oleh perusahaan dalam bidang-bidang, seperti utililitas, layanan pelanggan, inovasi, pembinaan tim, fleksibilitas, cepat tanggap sehingga bisa mengungguli pesaingnya.

Dengan mengelola dan meningkatkan core capability secara langsung atau tidak langsung pemerintah itu sedang melakukan branding (logo/merek), maka dengan demikian pemerintah akan lebih mudah memasarkan produknya yang berupa kebijakan untuk menghasilkan general social goods yang memenuhi harapan seluruh warga desa dibandingkan dengan pemerintah yang tidak melakukan branding.

Ketersediaan general social goods yang berkualitas sebagai akibat keberhasilan melakukan branding akan memicu aliran investasi masuk ke desa tidak hanya capital, tetapi juga teknologi dan human brain.

Seperti halnya perusahaan, pemerintah berkepentingan menarik berbagai kelompok pelanggan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, harus memasarkan dan menjual produk, ide, dan jasa kepada orang-orang di dalam maupun luar negeri dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran warganya.

Brand adalah asset strategis, dengan brand organisasi memperoleh dukungan kekuatan dan keuangan. Brand yang kuat akan menjadi magnet yang memiliki daya tarik sehingga orang akan selalu menjadikannya sebagai referensi. Dalam kerangka percepatan pembangunan di DIY, maka diperlukan suatu image yang sangat kuat yang menjadikan dirinya tampil beda.

Brand adalah suatu proses yang berkesinambungan. Dr. Paul Temporal (1997) seorang pakar dalam brand creation, development and management, mengatakan ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membangun brand, yaitu: pertama, pemerintah harus memahami bahwa branding itu bukan sekadar membuat logo, melainkan melakukan kegiatan yang dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh pelanggan.

Kedua, brand yang kuat itu dibangun melalui strategi yang jelas. Brand yang kuat selalu dicirikan dengan mudah dipahami dan diingat oleh rakyat. Brand adalah janji dan oleh karena itu harus realistik, kredibel, dan dapat dipercaya. Satu hal yang paling penting brand harus mampu di deliver,

Ketiga, brand memerlukan konsistensi dalam berbagai bentuk. Keempat, perlu ada upaya yang serius untuk mengawal dan menjaga brand. Brand dalam konteks negara adalah aset strategis, oleh karena itu harus dipelihara sepanjang waktu oleh siapa saja baik oleh mereka yang berada dalam pemkab maupun oleh warga masyarakat.

Dengan demikian, maka pemerintah harus segera menetapkan desa sebagai  desa argopolitan dengan core competency di bidang pertanian, perikanan, kerajinan, pariwisata, pendidikan, agrowisata, dsbnya atau dengan kata lain sesuai dengan potensi wilayah desa. Untuk itu pemerintah  perlu memacu diri meningkatkan kapabilitasnya, yaitu kemampuan untuk melakukan dan mengembangkan tindakan efektif secara efisien.

Dengan peningkatan kapabilitas maka pemerintah dapat melakukan perubahan yang berkesinambungan pada core capability desa. Ini seperti yang dikatakan oleh Dean Joseph Nye dari Kennedy School’s of Government, bahwa pemerintah dengan jelas harus melakukan perubahan yang berkesinambungan sebagai suatu proses fundamental.

Tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan inovasi dalam pemerintah yang tidak hanya mencakup perubahan menuju best practise atau menyediakan informasi yang mudah diakses, tetapi yang lebih penting inovasi itu sendiri harus melembaga dalam pola pikir aparatnya yang benar-benar di pahami oleh masyarakat. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *