Memperingati WoDEF 2025, Pegiat Minta Perhatian Dunia Terhadap Penderitaan Hewan Akuatik

beritabernas.com – Dalam memperingati World Day for the End of Fishing and Fish Farming (WoDEF) pada 29 Maret 2025, para pegiat di seluruh dunia menyerukan perhatianterhadap penderitaan hewan akuatik. Miliaran hewan tersebut dieksploitasi dan dibunuh setiap tahun dalam industri perikanan dan akuakultur.

“Meski mereka adalah makhluk yang cerdas dan memiliki perasaan, ikan dan hewan laut lainnya sering
mengalami perlakuan tidak manusiawi, praktik yang tidak berkelanjutan dan perusakan lingkungan,” kata Lilo Dwi Julianto, Pegiat Kesejahteraan Hewan dari Animal Friends Jogja, dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Sabtu 29 Maret 2025.

Lilo Dwi Julianto yang menyampaikan hal yang sama dalam talkshowu di Love Jogja FM pada 26 Maret 2025 menekankan pentingnya kesadaran terhadap kesejahteraan hewan akuatik. “Saatnya industri dan pemerintah mengambil langkah nyata untuk menghentikan eksploitasi ikan dan memastikan praktik perikanan yang lebih etis. Tanpa regulasi yang ketat dan transisi ke sistem yang lebih berkelanjutan, kita hanya akan mempercepat krisis ekologis yang berdampak pada masyarakat luas,” kata Lilo Dwi Julianto.

Dikatakan, secara gobal diperkirakan 1,1 hingga 2,2 triliun ikan liar ditangkap setiap tahun,sementara 124 miliar ikan budidaya dibunuh untuk konsumsi. Banyak yang mengalami penderitaan selama berjam-jam sebelum mati, dibuang isi perutnya saat masih hidup, mati lemas atau dibunuh dengan metode yang menyakitkan.

Ikan hasil tangkapan. Foto: sinergiaanimalinternational.org

Dalam budidaya, ikan hidup dalam kondisi padat, kekurangan oksigen dan rentan terhadap penyakit. Sementara dalam budidaya udang, pemotongan tangkai mata dilakukan secara menyakitkan untuk mempercepat reproduksi.

Menurut PBB, kata Lilo, ekosistem laut terus-menerus berada dalam risiko akibat eksploitasi berlebihan dan praktik penangkapan ikan ilegal. Sekitar 64% stok ikan diklasifikasikan sebagai dieksploitasi secara berlebihan, dan 23% telah sepenuhnya dieksploitasi. Atinya, ikan ditangkap lebih cepat daripada kemampuan mereka untuk bereproduksi dan memulihkan populasi mereka.

Dampak lingkungan yang mengkhawatirkan

Menurut Lilo, eksploitasi hewan akuatik jarang menjadi sorotan dalam diskusi kesejahteraan hewan dan krisis lingkungan. Padahal, perikanan skala besar mempercepat overfishing, mengganggu keseimbangan ekosistem laut dan menyebabkan kepunahan spesies. Budidaya ikan yang tidak berkelanjutan juga merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan biodiversitas.

Dikatakan, industri perikanan juga menjadi penyumbang besar polusi laut. Investigasi terhadapGreat Pacific Garbage Patch mengungkap bahwa 46% sampah terapung terbesar di dunia berasal dari jaring ikan, dengan sebagian besar sisanya juga terkait industri perikanan.

BACA JUGA:

Setiap tahun, sekitar 600.000–800.000 ton jaring yang hilang atau ditinggalkan mencemari lautan, dan plastiknya butuh hingga 600 tahun untuk terurai dan terus melepaskan mikroplastik. Akibatnya, lebih dari 100.000 paus, lumba-lumba, anjing laut, dan penyu mati terjerat dalam alat tangkap yang terbengkalai.

Di sisi lain, budidaya ikan menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang mencemari perairan, termasuk kotoran ikan, sisa pakan, dan bahan kimia beracun seperti antibiotik dan pestisida. Tambak udang dan ikan sering kali mengakibatkan kerusakan hutan bakau, yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan habitat penting bagi keanekaragaman hayati pesisir.

Menurut Lilo, untuk memperingati WoDEF tahun ini, 190 organisasi di seluruh dunia mengadakan berbagai aksi untuk mengungkap dampak industri perikanan dan budidaya ikan. Di Indonesia, Animal Friends Jogja telah menyelenggarakan talk show bersama Love Jogja FM pada 26 Maret 2025 untuk membahas realitas di balik industri perikanan serta mengeksplorasi alternatif yang lebih etis dan berkelanjutan.

“Eksploitasi ikan melalui overfishing, terutama dengan metode tidak berkelanjutanseperti cantrang, menangkap ikan yang belum dewasa, merusak terumbu karang, dan mengganggu ekosistem pesisir Jawa. Akibatnya, populasi ikan menurun, bermigrasidan kehilangan habitat. Kerusakan terumbu karang serta berkurangnya spesiesmenghambat regenerasi ikan, mengancam keberlanjutan ekosistem laut, dan
menciptakan “kiamat kecil” di perairan utara Jawa,” ujar Wahyu Eka Styawan, Direktur WALHI Jawa Timur. (*)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *