Nasib Bahasa Indonesia di Ruang Publik

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia 

beritabernas.com – Bahasa adalah alat utama manusia untuk berkomunikasi, menyampaikan ide, gagasan dan informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa membantu individu untuk menyampaikan pendapat dan berinteraksi dengan orang lain. Bahasa tidak hanya digunakan oleh kalangan tertentu, tetapi juga oleh semua lapisan masyarakat, menjadikannya sebagai alat sosial. Bagi komunikasi yang efektif, bukan hanya penutur yang harus memahami bahasa, tetapi juga mitra tutur, agar terjadi pertukaran informasi yang benar.

Memasuki abad XXI atau yang juga disebut sebagai milenium ketiga, kita dihadapkan pada perubahan besar dalam struktur ekonomi, kekuasaan dan kebudayaan akibat globalisasi. Alvin Toffler menyebut perubahan ini sebagai “gelombang ketiga,” yaitu era di mana teknologi dan informasi menjadi pusat kekuasaan, menggantikan kapital dalam gelombang kedua (industri) dan tanah pada gelombang pertama (agrikultur). Globalisasi juga membawa dampak besar dalam penggunaan bahasa di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bisnis dan komunikasi publik.

Di Indonesia, termasuk kota-kota kecil seperti Kebumen, globalisasi telah mengubah cara masyarakat melihat bahasa. Sering kali, istilah asing lebih dipilih untuk digunakan di ruang publik karena dianggap memiliki daya tarik lebih besar. Ini bisa kita lihat pada nama-nama toko, restoran dan bisnis lainnya yang menggunakan istilah asing untuk menciptakan kesan modern dan menarik. Fenomena ini juga terjadi di media sosial, di mana bahasa yang digunakan dalam promosi produk lokal sering kali mencampurkan bahasa Indonesia dengan istilah-istilah asing yang populer.

BACA JUGA:

Sebagai contoh, di Kebumen, banyak bisnis kuliner yang memanfaatkan media sosial untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Restoran lokal tidak lagi hanya menawarkan masakan tradisional, tetapi sering kali mengemasnya dengan istilah asing seperti “authentic,” “premium,” atau “homemade” untuk menambah daya tarik bagi konsumen. Misalnya, sebuah restoran di Kebumen mungkin mempromosikan makanan khas lokal dengan iklan di Instagram yang berbunyi: “Rasakan kelezatan ‘authentic’ Nasi Penggel dengan bahan-bahan premium terbaik. Pesan sekarang dan nikmati pengalaman kuliner yang tidak terlupakan!”

Penggunaan bahasa dalam iklan media sosial seperti ini tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun citra yang sesuai dengan harapan konsumen, khususnya generasi muda yang lebih peka terhadap tren global. Dalam konteks ini, bahasa menjadi alat yang ampuh untuk menghubungkan produk lokal dengan aspirasi global. Penggunaan istilah asing juga memberikan kesan bahwa produk lokal memiliki nilai yang lebih tinggi, padahal sering kali produk tersebut sepenuhnya berasal dari bahan dan proses lokal.

Di sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana globalisasi mempengaruhi identitas budaya dan bahasa lokal. Bahasa daerah dan bahkan bahasa Indonesia kerap kali tergeser oleh bahasa asing dalam konteks pemasaran dan promosi. Misalnya, sebuah kafe di Kebumen yang menyajikan kopi lokal mungkin akan lebih memilih nama seperti “Kebumen Coffee Roastery” daripada nama dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Ini menegaskan bahwa daya tarik internasional kerap kali menjadi pertimbangan utama dalam penetapan nama dan strategi pemasaran.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan bahasa asing dalam iklan ini sering kali menjadi kebutuhan untuk bersaing di pasar global, terutama di era di mana media sosial menjadi platform utama untuk promosi. Di sinilah peran bahasa sebagai alat komunikasi di ruang publik menjadi semakin signifikan. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang penggunaan bahasa negara di ruang publik, Indonesia harus menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa asing untuk kepentingan bisnis dan mempertahankan identitas bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Bahasa di Ruang Publik

Globalisasi tidak hanya mengubah cara kita memandang bahasa, tetapi juga bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ruang publik. Dalam konteks sosiolinguistik, situasi dwibahasa dan multibahasa di Indonesia menandai bahwa bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing semuanya memiliki tempat dalam masyarakat kita. Namun, kecenderungan untuk lebih memilih bahasa asing dalam branding dan promosi menunjukkan bahwa prestise dan citra internasional sering kali menjadi prioritas bagi banyak bisnis.

BACA JUGA TULISAN LAINNYA:

Di Kebumen, meskipun dikenal sebagai kota yang memiliki kekayaan budaya lokal, dampak globalisasi juga terasa. Generasi muda di Kebumen lebih tertarik dengan produk-produk yang dikemas dengan gaya modern dan menggunakan istilah-istilah asing. Di media sosial, kampanye iklan untuk bisnis lokal sering kali menggunakan strategi ini untuk menarik perhatian konsumen.

Sebagai contoh, sebuah kedai kopi di Kebumen mungkin mempromosikan minuman mereka dengan tagline seperti: Start your day with the finest ‘artisan’ coffee, brewed to perfection just for you. Penggunaan kata artisan dan brewed to perfection memberi kesan bahwa produk tersebut memiliki nilai lebih tinggi dan lebih eksklusif.

Dengan demikian, globalisasi, perkembangan teknologi dan media sosial berkontribusi pada pergeseran penggunaan bahasa di ruang publik. Meski di satu sisi penggunaan istilah asing dapat membantu meningkatkan daya saing bisnis lokal, di sisi lain hal ini juga mempengaruhi identitas bahasa lokal.

Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara adaptasi dengan tren global dan pelestarian bahasa dan budaya lokal, terutama dalam konteks ruang publik dan promosi bisnis. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *