Oleh: Andreas Chandra
beritabernas.com – Di sebuah negeri yang konon merdeka, di mana rakyatnya diajarkan untuk menghormati hukum dan keadilan, ada ironi besar yang menampar wajah logika. Bukan konstitusi, bukan demokrasi, bukan pula suara rakyat yang berkuasa. Sebaliknya, benang merah yang mengendalikan sistem bukan lagi pena para pemikir atau suara keadilan, melainkan tangan-tangan gelap yang tak terlihat, mafia yang menguasai negara.
Mafia, dalam pengertian klasik, adalah organisasi kriminal yang bekerja dalam bayang-bayang. Namun, di negeri yang sudah dirasuki hingga ke sumsum kekuasaan, mafia tak lagi sekadar bayangan. Mereka ada di setiap lini kehidupan, mengendalikan ekonomi, politik, bahkan hukum. Negara bukan lagi alat untuk melayani rakyat, melainkan perusahaan besar yang dikelola oleh para elit rakus yang sibuk mengatur keuntungan pribadi mereka.
Demokrasi, dalam teori, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi di negara yang dikendalikan mafia, demokrasi hanya menjadi slogan murahan yang dijual dalam kampanye pemilu. Pemimpin-pemimpin yang terpilih bukan mereka yang mewakili kepentingan rakyat, tetapi boneka yang dipasang oleh kelompok-kelompok berkepentingan.
Lobi-lobi politik yang semestinya menjadi ruang diskusi bagi kesejahteraan rakyat berubah menjadi pasar gelap transaksi kepentingan. Undang-undang dibuat bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang. Anggaran negara yang berasal dari keringat rakyat lewat pajak dialokasikan bukan untuk kesejahteraan umum, tetapi untuk mengisi pundi-pundi kelompok tertentu.
Ekonomi yang digerogoti para bandar
Dalam sistem yang sehat, ekonomi dikelola untuk kesejahteraan bersama. Tetapi di negeri yang dikuasai mafia, ekonomi hanya menjadi permainan para bandar. Monopoli usaha dipegang oleh segelintir orang yang memiliki hubungan dengan penguasa. Bisnis-bisnis strategis dikendalikan oleh keluarga tertentu, sementara usaha kecil-kecilan diperas dengan pajak dan pungutan liar.

Korupsi menjadi budaya yang tak lagi dianggap memalukan. Dari proyek infrastruktur hingga distribusi bantuan sosial, ada tangan-tangan kotor yang mengambil keuntungan. Rakyat hanya mendapat remah-remah, sementara para elite tertawa di balik meja perundingan mereka.
Hukum seharusnya menjadi pedang keadilan yang tajam, tak pandang bulu. Namun, di negara yang dikendalikan mafia, hukum hanyalah alat untuk mengintimidasi dan melindungi kepentingan mereka. Aparat penegak hukum bukan lagi pelayan keadilan, tetapi pesuruh para mafia kekuasaan.
Kasus-kasus besar menguap begitu saja, sementara rakyat kecil yang mencuri karena lapar dijebloskan ke penjara tanpa ampun. Mereka yang berani berbicara dikriminalisasi, dikorbankan dalam permainan yang mereka bahkan tak mengerti aturannya. Hakim yang seharusnya independen justru menjadi bagian dari sistem yang korup dan pengacara yang membela kebenaran seringkali harus berhadapan dengan ancaman atau bahkan kematian misterius.
Dalam sistem mafia, kebebasan berekspresi adalah ancaman. Media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi dipelintir menjadi alat propaganda. Jurnalis yang berusaha mengungkap kebenaran diintimidasi, dibungkam atau bahkan menghilang tanpa jejak. Berita-berita yang beredar bukan lagi cerminan realitas, melainkan rekayasa yang telah disusun oleh mereka yang berkepentingan.
Di era digital, media sosial menjadi tempat terakhir bagi rakyat untuk berbicara. Namun, bahkan di dunia maya, penguasa bayangan ini tak tinggal diam. Buzzer dan pasukan siber dikerahkan untuk menggiring opini publik, membungkam kritik, dan menyebarkan propaganda demi mempertahankan status quo.
Rakyat yang terbiasa dengan ketidakadilan
Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah ketika rakyat tak lagi merasa bahwa mereka sedang dijajah oleh sistem. Ketika ketidakadilan menjadi hal yang biasa, ketika korupsi dianggap lumrah dan ketika suara protes dianggap sia-sia, di situlah mafia telah benar-benar menang.
BACA JUGA:
- Peran Penting Advokasi dalam Masyarakat untuk Mewujudkan Keadilan
- Pengawasan Pengupahan oleh Disnakertrans Penting untuk Melindungi Hak-hak Pekerja
- Keadilan jadi Pondasi Peradaban
Di pasar, harga melambung tanpa kendali, tetapi rakyat hanya mengeluh tanpa bertindak. Di jalan, pungutan liar merajalela, tetapi masyarakat lebih memilih diam ketimbang melawan. Di kantor pemerintahan, uang pelicin menjadi hukum tak tertulis, tetapi semua pihak memilih berpura-pura tidak tahu. Ketakutan dan keengganan untuk melawan menjadi bukti bahwa mentalitas rakyat telah dikondisikan untuk menerima kenyataan yang menyakitkan.
Namun, harapan tak boleh padam. Setiap rezim tirani selalu memiliki titik kelemahan yakni kesadaran rakyat. Ketika rakyat mulai sadar bahwa mereka adalah korban permainan kotor ini, maka perubahan menjadi keniscayaan.
Pendidikan adalah senjata utama. Masyarakat yang kritis tidak bisa ditipu dengan propaganda murahan. Kesadaran kolektif harus dibangun, suara kebenaran harus disuarakan, dan keberanian harus menjadi sikap. Hukum harus kembali kepada fungsinya sebagai penjaga keadilan, bukan alat intimidasi. Media harus kembali menjadi pengawas kekuasaan, bukan kaki tangan oligarki. Yang paling penting, rakyat harus kembali menjadi pemilik sah negara ini.
Negara yang dikendalikan mafia tak akan bertahan jika rakyat bersatu. Saatnya merebut kembali kedaulatan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kesadaran dan keberanian untuk mengatakan kebenaran, melawan ketidakadilan, dan menghancurkan sistem yang telah begitu lama menindas.
Karena sejatinya, negara ini bukan milik mereka. Negara ini milik bersama. (Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY)
There is no ads to display, Please add some