Pemerintah Perlu Membuat Aturan Khusus Perlindungan Kebebasan Akademik

beritabernas.com – Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sains dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Komnas HAM perlu merumuskan regulasi khusus atau melakukan amandemen Permendiktisaintek tentang kebebasan akademik.

Hal ini perlu dilakukan selain karena kebebasan akademik merupakan bagian dari hak asasi manusia, juga untuk melindungi hak berekspresi dosen dan mahasiswa, menjamin independensi riset dan pengajaran serta memberikan mekanisme pengaduan dan perlindungan.

Hal itu disampaikan Adinda Tenriangke Muchtar PhD, Direktur Eksekutif The Indonesia Institute (TII) dalam diskusi Kebebasan Akademik di Gedung Kuliah Umum Sardjito Kampus Terpadu UII, Kamis 18 September 2025. Diskusi merupakan bagian dari acara Diseminasi Hasil Riset The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research bertajuk Menjaga Kebebasan Akademik, Merawat Demokrasi Bangsa yang diselenggarakan oleh UII bersama The Indonesian Institute (TII).

Selain Adinda Tenriangke Muchtar, tampil sebagai narasumber adalah Prof Dr.rer.soc Masduki S.Ag MSi, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya dan Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, dan Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi HAM UII) dengan moderator Karina Utami Dewi (Ketua Prodi Hubungan Internasional UII).

Menurut Adinda Tenriangke Muchtar, selain pemerintah membuat peraturan khusus perlindungan kebebasan akademik, pergurun tinggi pun perlu membuat SOP (standar operasional prosedur) dan protokl perlindungan di kampus.

Rektor UII Fathul Wahid saat membuka diskusi Kebebasan Akademik di Gedung Kuliah Umum Sardjito Kampus Terpadu UII, Kamis 18 September 2025. Foto: Humas UII

“Setiap pergurun tinggi wajib memiliki SOP tanggap darurat terhadap intimidasi, represi, dan kekerasan digital terhadap sivitas akademika. Selain itu, kampus perlu mengintegrasikan perlindungan kebebasan akademik dalam kurikulum etika dan pembelajaran HAM,” kata Adinda Tenriangke Muchtar.

Adinda Tenriangke Muchtar juga meminta Kemendiktisaintek untuk merevisi aturan pemilihan rektor, terutama menghapus porsi 35 persen suara pemerintah yang selama ini mereduksi otonomi perguruan tinggi. Sementara itu, rektor dan beserta segenap jajarannya di lembaga pendidikan tinggi perlu meningkatkan komitmen untuk menciptakan ruang yang kondusif untuk kebebasan akademik.

Kebebasan akademik hadapi tantangan

Sementara Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, dalam beberapa dekade terakhir, kebebasan akademik menghadapi tantangan baru dari tiga arah (Rostan, 2010). Pertama, relasi antara negara dan perguruan tinggi bergeser dari kontrol langsung menuju penyetiran jarak jauh (distant steering). Ia memberi contoh, perguruan tinggi diberi otonomi yang lebih luas, namun disertai tuntutan akuntabilitas dan pengukuran kinerja yang ketat, bahkan pendanaan kini dikaitkan dengan performa.

Studi yang dilakukan oleh Pap (2020) menegaskan bahwa pendidikan tinggi dan sains seseringnya dianggap sebagai barang publik, tapi dalam praktiknya bisa diperlakukan seperti komoditas di bawah tekanan neoliberal.

Baca juga:

Di Hungaria, kata Rektor UII, pergeseran budaya politik yang lembut mempunyai pengaruh terhadap kebebasan akademik: sensor sendiri (self-censorship), pembatasan topik kritis, atau pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik (Pap, 2020).

Kedua, kata Fathul Wahid, di dalam perguruan tinggi, peran manajemen administratif semakin dominan. Ini adalah salah satu dampak pola pikir korporatisasi yang merupakan anak kandung neoliberalisme dana pendidikan tinggi. Efeknya, neoliberalisme memicu komersialisasi pendidikan tinggi: universitas dianggap sebagai institusi seperti bisnis, peneliti lebih bergantung pada pendanaan eksternal, dan kinerja serta produktivitas sering kali diukur berdasarkan variabel yang bersifat kuantitatif dan “terlihat” (Pap,2020).

Profesionalisasi manajemen atau korporatisasi memang membantu mengelola mahasiswa dan riset yang kompleks, tetapi juga memperkuat kontrol internal yang dapat mempersempit ruang kekebasan akademik.Korporatisasi dipercaya telah mendorong dunia akademik memasuki fase transisi yang penuh ketidakpastian, sebuah masa liminal, di mana identitas dan tujuan perguruan tinggi tengah dipertaruhkan.

Pergeseran menuju etos yang berorientasi konsumen mengancam untuk mengubah pendidikan dari sebuah proses pembentukan intelektual menjadi sekadar transaksi layanan (Alibašić et al., 2024).

Ketiga, tekanan dari ekonomi dan masyarakat semakin kuat. Perguruan tinggi diminta mendukung pembangunan, inovasi, dan menyiapkan lulusan siap kerja, sementara akademisi harus membuktikan relevansi riset dan pengajarannya bagi banyak pemangku kepentingan. Semua ini membawa manfaat, tetapi sekaligus menantang kemampuan kita menjaga kebebasan akademik sebagai fondasi kehidupan ilmiah.

Sementara di saat yang sama, dalam konteks yang lebih luas, temuan riset global selama hampir enam dekade menunjukkan bahwa kebebasan akademik sangat dipengaruhi oleh ekosistem politik. Demokrasi elektoral, parlemen bikameral, sistem pemilu proporsional, dan peradilan yang akuntabel terbukti memperkuat ruang kebebasan ini. Sebaliknya, sistem komunis menjadi hambatan terbesar bagi berkembangnya kebebasan akademik (Berggren & Bjørnskov, 2022).

Para narasumber (kiri ke kanan) Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi HAM UII), Prof Dr.rer.soc Masduki S.Ag MSi, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya dan Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Adinda Tenriangke Muchtar dan moderator Karina Utami Dewi (Ketua Prodi Hubungan Internasional UII).dan moderator diskusi kebebasan akademik Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Temuan ini, menurut Fathul Wahid, mengingatkan kita bahwa kebebasan akademik bukan hanya persoalan internal kampus. Ia adalah cermin kesehatan politik suatu bangsa, dan hanya dapat tumbuh subur ketika lingkungan politiknya inklusif, adil, dan memberi ruang bagi kebebasan berpikir.

Perspektif ini sejalan dengan gagasan tanggung jawab intelektual, seperti yang digaungkan oleh Chomsky. Menurutnya, tanggung jawab utama seorang intelektual adalah mencari dan mengungkap kebenaran, terutama kebenaran yang disembunyikan atau diputarbalikkan oleh pemerintah, korporasi, atau media arus utama.

Dalam esainya yang terkenal The Responsibility of Intellectuals, Chomsky menegaskan bahwa kewajiban intelektual adalah to speak the truth and to expose lies. Lebih dari itu, intelektual dituntut untuk selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan, khususnya kekuasaan negara, karena sering kali negara bertindak untuk melindungi kepentingan elit politik dan ekonomi, bukan kepentingan publik.

Menurut Fathul Wahid, tugas moral intelektual juga mencakup keberanian untuk menyuarakan kepentingan mereka yang tak bersuara, kelompok yang termarjinalkan, dan korban ketidakadilan. Sebab, diam di hadapan ketidakadilan sama artinya dengan menjadi bagian dari sistem yang menindas. (lip)


    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *