Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD dan Koordinator PMKRI Komisariat Kampus STPMD Yogyakarta
beritabernas.com – Asrama mahasiswa seharusnya menjadi rumah kedua bagi para pelajar yang merantau jauh dari kampung halaman. Lebih dari sekadar tempat istirahat, asrama adalah ruang tumbuh tempat pembentukan jati diri, latihan kemandirian, penguatan solidaritas dan nilai kepedulian sosial.
Asrama bukan sekadar bangunan dengan kamar tidur dan dapur bersama, melainkan ruang hidup yang idealnya dikelola secara terbuka, partisipatif dan manusiawi. Di sini, mahasiswa belajar hidup berdampingan dengan latar belakang beragam, mengelola konflik dengan dialog dan membangun tanggung jawab bersama untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman. Dalam pengertian ini, asrama adalah miniatur masyarakat ideal, di mana keadilan, keterbukaan, dan partisipasi harus ditanamkan sejak awal.
Namun, kenyataannya, nilai-nilai itu sering terabaikan ketika pengelolaan asrama berlangsung tertutup dan otoriter. Ketika keputusan penting hanya dibuat oleh segelintir orang tanpa melibatkan penghuni, dan transparansi diabaikan, asrama kehilangan maknanya sebagai ruang bersama. Ia menjadi tempat yang kaku, tidak adil, bahkan menimbulkan rasa tidak aman bagi penghuninya. Terlebih bila dana publik yang seharusnya menunjang kehidupan bersama tidak dikelola secara transparan dan tidak dilaporkan dengan jelas kepada mereka yang berkepentingan.
Kasus Asrama Putri Mahasiswi Kabupaten Merauke di Yogyakarta menjadi gambaran nyata persoalan ini. Situasi tersebut memperlihatkan lemahnya sistem manajemen asrama yang seharusnya menjamin kehidupan kolektif berjalan baik. Ini bukan sekadar soal administrasi yang berantakan, melainkan juga komunikasi yang buruk antara pengurus dan penghuni serta minimnya tanggung jawab terhadap dana publik. Ketika laporan pertanggungjawaban dibuat setelah dana habis, rekening tidak dibuka secara transparan, dan pertanyaan penghuni diabaikan bahkan direspon dengan intimidasi, maka yang terjadi bukan hanya kesalahan prosedur, tetapi pengabaian tanggung jawab publik.
BACA JUGA:
- PMKRI akan Menjadi Penentu Arah Masa Depan Papua
- Dua Model Pendekatan Ini Dilakukan Pemerintah dalam Membangun Tanah Papua
- Raker X IKPM-AMM DIY Memperkuat Sinergi untuk Mencapai Visi-Misi
Dalam kondisi ini, keberanian para penghuni untuk menyampaikan pernyataan sikap bersama adalah tindakan yang sangat penting dan berharga. Ini bukan sekadar keluhan terhadap kebijakan, melainkan bentuk keberpihakan pada tata kelola yang sehat dan adil. Mereka menolak tunduk pada sistem yang tidak transparan dan berani menuntut perubahan. Ini adalah proses pembelajaran politik yang matang, sekaligus upaya memperbaiki sistem dari dalam demi masa depan yang lebih demokratis dan sehat.
Dana publik bukan milik pribadi
Laporan penghuni mengungkap fakta yang mengkhawatirkan: dana sebesar Rp 50 juta yang dikucurkan Pemerintah Kabupaten Merauke pada Agustus 2023 untuk kebutuhan operasional asrama tidak dikelola secara transparan. Dana ini semestinya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti listrik, air, dan pemeliharaan fasilitas, namun hanya sebagian kecil yang digunakan sesuai tujuan. Sisanya tidak pernah dijelaskan secara rinci.
Selain itu, laporan pertanggungjawaban keuangan (LPJ) dibuat secara tidak tepat waktu, yakni setelah dana habis digunakan, bukan secara berkala dan terbuka. Praktik ini melanggar prinsip pengelolaan anggaran yang baik dan membuka celah penyalahgunaan serta manipulasi data. Dalam tata kelola sehat, penggunaan dana publik harus dilaporkan secara rinci, transparan, dan tepat waktu.
Yang lebih memprihatinkan, sejak November 2023 hingga kini, biaya listrik dan air dibebankan kepada mahasiswa sendiri. Mereka yang seharusnya difasilitasi justru harus menanggung pengeluaran dari kantong pribadi, padahal dana bantuan telah tersedia. Ini menciptakan ketimpangan: kegagalan distribusi manfaat bantuan publik dan beban finansial tambahan bagi mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga sederhana.
Situasi ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan indikasi potensi penyalahgunaan kewenangan akibat minimnya pengawasan. Dana publik yang merupakan hak mahasiswa dikelola secara tertutup dan kebutuhan pokok dibebankan pada penghuni, adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab moral dan sosial pengelola.
Oleh karenanya, tuntutan transparansi, laporan berkala dan audit menyeluruh atas dana sejak Agustus 2023 adalah hal yang sangat wajar dan mendesak. Dana bantuan adalah milik bersama dan harus dipergunakan untuk kepentingan penghuni asrama.
Ketika sumber dan penggunaan dana tidak dapat dijelaskan Ketua Asrama maupun Bendahara, dan pengambilan keputusan harus melalui “penanggung jawab” yang bahkan tidak tinggal bersama penghuni, jelas ini adalah pengelolaan yang anti-transparansi dan tidak profesional. Dana tersebut bukan milik individu, melainkan uang rakyat yang dialokasikan pemerintah daerah untuk mendukung kebutuhan mahasiswi.
Oleh karena itu, pengelolaan harus berlandaskan akuntabilitas publik, bukan menjadi “urusan internal” segelintir orang yang merasa berwenang. Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Merauke turun tangan melakukan audit menyeluruh dan evaluasi struktural.
Pengelolaan harus transparan, partisipatif, dan demokratis, melibatkan penghuni sebagai subjek utama. Bila perlu, dibentuk tim independen yang terdiri dari mahasiswa, alumni, dan perwakilan pemerintah untuk merancang sistem baru yang profesional dan adil.
Penataan ulang tidak cukup hanya mengganti pengurus, tetapi juga menetapkan konstitusi internal seperti AD/ART yang mengatur tata kelola, hak dan kewajiban, mekanisme musyawarah, serta sanksi bagi pelanggaran. Asrama harus menjadi ruang pembelajaran demokrasi, bukan otoritarianisme.
Pelajaran dari keberanian penghuni
Di tengah tekanan dan ketidakadilan, keberanian para penghuni asrama untuk bersuara dan menyampaikan tuntutan bersama adalah pendidikan politik yang sangat berharga. Mereka bukan hanya menuntut hak, tetapi juga belajar menjadi agen perubahan. Mahasiswa bukan sekadar pewaris masa depan, tapi juga pembentuk masa kini.
Dari asrama kecil di Yogyakarta, suara mereka menggema hingga ke Merauke, membuktikan bahwa semangat perubahan dapat muncul dari mana saja. Keadilan tidak datang sendiri, tetapi harus diperjuangkan.
Jika Pemerintah Kabupaten Merauke peduli, tak ada alasan menunda tindakan. Jika pengurus memiliki integritas, tak ada alasan menutup-nutupi. Jika masyarakat percaya pada keadilan, tak boleh membungkam suara-suara jujur ini.
Perjuangan itu sedang berlangsung, di tembok asrama yang dulu sunyi kini menjadi ruang yang lantang bersuara dan penuh harapan. Dari sini, masa depan yang lebih adil dan terbuka mulai dirajut. (*)
There is no ads to display, Please add some