Penerimaan Pajak Turun hingga 41,8 Persen, Rapor Merah Sri Mulyani di Awal Tahun

beritabernas.com – Setelah satu bulan tertunda, pemerintah merilis APBN Kita edisi Februari 2025. Berbagai catatan terkait data yang tersaji dalam laporan tersebut. Salah satunya mengenai kinerja penerimaan pajak.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS mengatakan, dalam laporan itu terungkap penerimaan pajak turun hingga 41,8 persen (yoy) di tengah implementasi Coretax (sistem digitalisasi perpajakan terbaru). Pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak pada bulan Januari 2025 sebesar Rp 64 triliun.

Menurut Nailul Huda, ada dua faktor penyebab penerimaan pajak turun begitu drastis. Pertama, terdapat pengembalian dana restitusi atau kelebihan bayar PPN tahun 2024. Kedua, kendala di sistem Coretax yang membuat wajib pajak kesulitan melaporkan transaksi-nya. Akibatnya transaksi menjadi terhambat.

Nailul Huda mengatakan bahwa rasio Pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasinya defisit APBN rentan di atas 3% dan bisa berpotensi impeachment.

Selain itu, belanja pemerintah pusat melambat sebesar 10,76 persen, sementara secara spesifik belanja K/L turun tajam -45,5 persen year on year.

Sementara Media Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, mengatakan bahwa belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi. Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi dan memangkas pertumbuhan ekonomi.

Anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang PHK dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukungnya.

BACA JUGA:

“Kondisi yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina. Presiden Argentina, Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan. Namun demikian, penerimaan pajaknya sukses dinaikkan hingga 11 persen pada bulan Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal. Vietnam melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi. Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus; anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis,” ujar Media.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menambahkan bahwa krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali. “Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp 10.000 triliun. Beban bunga utang nya pasti naik tajam tahun depan, membuat overhang utang, memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi,” kata Bhima.

“Kesalahan terbesar pengelolaan anggaran pemerintah dimulai dari program pemerintah yang ambisius tidak disertai dengan naiknya sumber perpajakan, akhirnya membuat Pemerintah melakukan efisiensi secara masif. Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius Pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak.” Huda menambahkan.

“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri dan Dirjen Pajak untuk mundur karena gagal menjalankan mandat disiplin fiskal tanpa rencana jelas, dan tidak berani melakukan terobosan pajak, justru merusak sistem perpajakan yang ada melalui buruknya implementasi Coretax,” kata Bhima. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *