Perbankan Syariah Perlu Melakukan Evaluasi Menyeluruh Terhadap Struktur dan Pelaksanaan Akad Murābaḥah Emas

beritabernas.com – Muhammad Noor SH M.Kn, Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Kalimantan Timur, menyarankan bahwa sebaiknya perbankan syariah di Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur dan pelaksanaan akad murābaḥah emas yang diterapkan selama ini, khususnya dengan mengacu pada asas tawāzun sebagai pijakan filosofis dan normatif dalam membangun keadilan kontraktual.

Evaluasi ini mencakup kajian kritis terhadap setiap klausul dalam akad yang berpotensi menimbulkan ketimpangan, seperti klausul tentang pembebanan biaya, penentuan risiko, pengalihan tanggung jawab, dan sanksi atas wanprestasi.

Hal itu disampaikan Muhammad Noor SH M.Kn dalam disertasi doktornya berjudul Reformulasi Akad Murābaḥah Emas Berdasarkan Asas Tawāzun pada Perbankan Syariah di Indonesia. Disertai ini dipertanggungjawabkan dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor pada Prodi Hukum Program Doktor (PSHPD) FH UII di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII Kampus Terpadu, Sabtu 26 Juli 2025.

Menurut Muhammad Noor , dalam proses evaluasi tersebut, bank juga perlu merevisi mekanisme penyusunan akad agar tidak lagi bersifat sepihak, melainkan melibatkan partisipasi aktif nasabah secara musyawarah.

Muhammad Noor SH M.Kn mengikuti Ujian Terbuka Promosi Doktor pada Prodi Hukum Program Doktor (PSHPD) FH UII di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII Kampus Terpadu, Sabtu 26 Juli 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan ruang negosiasi, penjelasan detail atas hak dan kewajiban kedua belah pihak serta penerapan prinsip transparansi dalam setiap tahap akad. Dengan cara ini, akad murābaḥah emas tidak hanya sah secara legal, tetapi juga mencerminkan kesetaraan, keadilan substantif dan perlindungan hukum yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam maqāṣid al-syarī‘ah.

Karena itu, Muhammad Noor meminta otoritas regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI), bersama dengan lembaga keuangan perbankan syariah, mulai merumuskan dan mengembangkan model reformulasi akad murābaḥah emas yang lebih mencerminkan penerapan asas tawāzun secara proporsional, salah satunya melalui implementasi konsep Murābaḥah Musyārakah Mutanāqiṣah Emas (MMMqE).

Sebab, menurut Muhammad Noor, model ini menawarkan pendekatan alternatif yang menggabungkan sistem kepemilikan bersama antara bank dan nasabah dengan skema pelunasan bertahap secara proporsional, sehingga perpindahan kepemilikan emas berlangsung secara adil, tidak memberatkan dan sesuai prinsip fikih muamalah.

Dalam skema ini, risiko dan keuntungan dibagi secara transparan dan proporsional, serta memberi ruang musyawarah dalam menentukan aspek-aspek penting dalam akad seperti margin keuntungan, biaya-biaya tambahan, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Konsep ini juga lebih sesuai dengan karakteristik
nasabah modern yang menuntut kepastian hukum, perlindungan hak, serta keterlibatan aktif dalam keputusan keuangan.

Dengan demikian, reformulasi akad tidak hanya menjawab problem struktural yang ada saat
ini, tetapi juga memperkuat integritas dan daya saing sistem keuangan syariah di Indonesia secara berkelanjutan.

Jauh dari kondisi ideal

Menurut Muhammad Noor, dari hasil penelitian yang dikakukannya menunjukkan bahwa implementasi asas tawāzun dalam akad murābaḥah emas pada perbankan syariah di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan.

BACA JUGA:

Meskipun secara normatif asas tawāzun merupakan prinsip fundamental dalam hukum Islam yang menuntut keseimbangan yang adil antara hak dan kewajiban para pihak dalam transaksi muamalah, sehingga mencerminkan keadilan dan kesetaraan sebagai inti dari maqāṣid al-syarī‘ah, namun temuan empiris dari empat bank syariah yang dikaji mengungkapkan bahwa praktik akad murābaḥah emas justru cenderung timpang dan lebih menguntungkan lembaga keuangan perbankan syariah.

Dominasi sepihak oleh bank dalam penyusunan akad, lemahnya perlindungan terhadap hak nasabah dan keberadaan klausul yang tidak proporsional, termasuk dalam pembagian risiko dan tanggung jawab biaya, mengindikasikan bahwa prinsip musyawarah belum diterapkan secara substansial.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas bank terhadap risiko, kelalaian maupun perubahan kondisi akad juga sangat terbatas, sehingga nasabah tidak memperoleh kepastian hukum dan perlindungan yang memadai.

Dalam konteks ini, menurut Muhammad Noor, asas tawāzun menjadi sangat penting untuk dijadikan landasan filosofis dalam reformulasi akad murābaḥah emas, karena tidak hanya menjamin keadilan normatif, tetapi juga menegaskan urgensi struktur kontraktual yangseimbang, etis, dan responsif terhadap prinsip keadilan substantif dalam hukum Islam.

Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur akad yang ada dengan menekankan penataan ulang hubungan hak dan kewajiban, penguatan musyawarah, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta reformulasi klausul yang lebih adil dan proporsional, agar akad murābaḥah emas tidak hanya sah secara legal, tetapi juga merepresentasikan nilai-nilai keadilan dan etika yang menjadi tujuan utama perbankan syariah.

“Ketidakseimbangan dalam desain dan pelaksanaan akad murābaḥah emas menunjukkan adanya problem struktural yang tidak hanya merugikan nasabah, tetapi juga melemahkan integritas sistem keuangan syariah itu sendiri. Reformulasi akad berbasis asas tawāzun menjadi keharusan normatif sekaligus strategis untuk memperbaiki relasi hukum antara bank dan nasabah,” kata Muhammad Noor.

Muhammad Noor (kiri) saat mengikuti ujian terbuka promosi Doktor pada Program Studi di Hukum Program Doktor (PSHPD) FH UII di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII, Sabtu 26 Juli 2025. Philipus Jehamun/beritabernas.com

Dikatakan, bentuk reformulasi yang mencerminkan penerapan asas tawāzun secara proporsional harus diarahkan pada restrukturisasi akad yang menyeimbangkan hak dan kewajiban para pihak, menjamin partisipasi aktif nasabah melalui musyawarah dalam penetapan isi akad serta meningkatkan transparansi dalam pembebanan biaya dan distribusi risiko.

Reformulasi ini juga harus mencakup pembentukan struktur akad yang adil, transparan, dan akuntabel, dengan menata ulang rukun dan syarat sah akad sesuai fikih muamalah serta menghindari unsur riba, gharar, dan ketidakjelasan. Salah satu solusi konkret yang ditawarkan adalah konsep Murābaḥah Musyārakah Mutanāqiṣah Emas (MMMqE), yang memadukan kepemilikan bersama dengan pola pelunasan bertahap secara proporsional, sehingga memungkinkan perpindahan kepemilikan emas secara adil tanpa membebani nasabah secara sepihak.

Dengan demikian, perbaikan struktur akad tidak hanya menjadi kebutuhan praktis dalam memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan syariah, tetapi juga merupakan tanggung jawab moral dalam mewujudkan keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan sosial yang menjadi inti dari hukum ekonomi Islam. (lip)


    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *