Oleh: Alfa Dita
beritabernas.com – Seseorang yang nyaleg atau calon legislatif selalu ditanya, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, kamu punya modal berapa?
Pertanyaan berapa, perlu dijawab dengan menyebutkan angka/nominal rupiah. Seorang calon caleg (belum caleg definitif) menjawab: “Ya, saya punya Rp 500 juta. Saya kira cukup ya buat modal meraup suara,” ujarnya sambil tersenyum, tampak antusias.
Lalu seorang aktifis parpol menanggapi dengan tertawa (bukan tersenyum). “Ha ha ha segitu doank?” ujarnya.
Modal nyaleg itu relatif. Namun, angka setengah M itu rasanya belum nendang buat seorang caleg untuk maju dan meraup suara yang cukup untuk meraih satu kursi di DPRD I atau DPRD II. Apalagi memenangkan kursi di DPR Pusat. Para caleg harus menyiapkan dana untuk memenuhi banyak pengeluaran, baik yang bisa dianggarkan maupun yang tak terduga.
Pengeluaran resmi untuk mendaftar, pengadaan APK, biaya para saksi dan tim sukses serta (yang bisa dihindari kalau mau tidak jadi) yaitu biaya bitingan atau beli suara. Nah ini yang relatif besar dan tak bisa diperkirakan. Pokoknya siapkan saja sebanyak-banyaknya.
Dengar-dengar dari mereka yang tahu simpang siur jalur menuju kursi legislatif, minimal untuk satu kursi di DPRD Tingkat II, ya 2M-lah. Dua M beneran lo, bukan Makasih Mas atau Makasih Mbak!
Itulah fakta lapangan yang harus dihadapi mereka yang mau nyaleg. Lalu untuk apa uang be rem-em-an itu? Mungkin tidak perlu dijelaskan di sini, sudah menjadi rahasia umum, ono bondo ono rupo. Tidak ada makan siang yang gratis, kecuali maksi di angkringan dan ditraktir teman lama.
Ada satu atau dua orang yang sukses nyaleg tanpa mengeluarkan banyak uang. Ya itu sisi lain fakta pemilu juga. Mereka mampu memperoleh suara yang cukup berkat kesempatan yang didapatkan setelah sekian lama mengabdi dan berjuang di tengah-tengah masyarakat.
Bagi mereka, sukses nyaleg karena memang sudah dikenal baik, berbakti dan berjuang bersama rakyat. Tokoh-tokoh ‘berkharisma’ seperti ini mendapat kesempatan dipilih pada saat pemilu. Mereka bukan caleg instan yang melihat pemilu sebagai peluang memperbaiki nasib. Tokoh-tokoh masyarakat dengan modal sosial yang baik seperti ini ada dan syukurlah partai politik membuka kesempatan bagi mereka.
Tokoh-tokoh masyarakat yang seperti inilah yang sebaiknya dipilih. Kalau perlu mereka kita paksa untuk mau maju, mengimbangi para caleg instan, yang kadang demi bisa terpilih lalu berganti partai sebagai kendaraan politik. Pada pemilu lalu gagal lewat partai politik apa, pada pemilu berikutnya maju lagi dengan partai politik yang lain.
Caleg-caleg ‘ambisius’ inilah yang berpeluang melakukan praktek money politic. Mereka mengukur elektabilitas dengan modal uang bukan dengan ‘kharisma’ dan citra diri yang memang baik di masyarakat. Dengan uang yang mereka punya mereka berbelanja suara demi menyandang predikat anggota dewan.
Risiko menempuh cara ini memang besar. Jika gagal, karena sudah kehilangan banyak maka bisa stress. Sudah kehilangan banyak, kecewanya juga banyak. Seperti teori the Gift dari Marcel Mauss: pada dasarnya, orang yang memberi (gift) itu juga ingin menerima (gift). Maka berlakulah hukum timbal balik (resiprositas), memberi-menerima. Memberi uang, berharap menerima dukungan suara.
Jika prinsip timbal balik ini tidak terjadi maka kecewalah pihak yang memberi. Yang menerima sih tenang-tenang saja. Mereka sudah menerima, tidak memberi dukungan pun tidak apa-apa. Hanya masyarakat kita mengenal prinsip ewuh pekewuh. Sudah menerima, kok tidak memberi. Sudah diberi uang, kok tidak membalas kebaikan. Ya, oke: kamu memberi, aku dukung. Semakin banyak uang yang disiapkan, semakin banyak yang bisa menerima, maka semakin besar dukungan akan didapatkan. Begitulah prinsip timbal baliknya.
Namun apakah prinsip timbal balik itu akan benar-benar berlaku? Belum tentu juga. Banyak caleg akan memberi dengan sasaran yang sama. Satu orang pemilih akan menerima banyak pemberian dari caleg yang berbeda-beda. Lalu dukungan suara untuk caleg yang mana? Masyarakat kita semakin cerdas dan berakal. Maka berlakulah nasehat dari orang bijak: terima uangnya, jangan pilih orangnya!
Dan semua caleg tahu persis, prinsip timbal balik belum tentu akan terjadi. Sudah terlanjur bagi-bagi uang, belum tentu menuai dukungan. Maka caleg yang punya otak pun mikir: memberi dengan perjanjian. Ada kontrak politik. Caleg menjanjikan ina inu, tapi diwujudkan jika ia terpilih. Untuk lebih meyakinkan massa pemilih, diberilah depe atau panjer. Misalnya: ini ada uang 5 juta, dititipkan ke Ketua Lingkungan, nanti kalau caleg itu terpilih bisa untuk berwisata. Kalau tidak terpilih, ya dikembalikan. Begitulah perjanjiannya. Perjanjian yang semu, dijanjikan dan akan batal jika tidak terpilih.
Ya ada-ada saja strategi memenangkan diri. Itulah yang disebut Politik Uang atau Politik Perut.
Praktek politik uang atau disebut politik perut menurut Wikipedia adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pemberian itu bisa dalam bentuk uang ataupun barang.
Pada akhir tahun 2022 ini, bisa mulai dirancang program penelitian akademis tentang Money Politic atau Politik Perut itu. Melalui penelitian yang benar, kita bisa mendapatkan data empiris seperti apa hubungan antara praktek politik uang atau politik perut dengan keterpilihan seorang caleg, dan apa pengaruhnya bagi perumusan kebijakan publik.
Data ini akan sangat bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang berkait dengan pemilu yang akan datang. Termasuk Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) di lingkup hirarki Gereja Katolik dan ormas-ormas Katolik yang akan mendampingi umat dalam menentukan pilihan secara cerdas dan cermat dalam Pemilu 2024.
Beberapa pertanyaan akan bisa dijawab dalam penelitian akademis itu meliputi:
1. Siapa saja yang melakukan praktek politik uang?
2. Bagaimana melakukan praktek politik uang ?
3. Mengapa atau alasannya apa melakukan politik uang?
4. Kapan praktek politik uang itu dilakukan?
5. Di area mana saja politik uang itu dilakukan?
6. Apa dampak politik uang itu bagi kehidupan masyarakat?
7. Apa dampak politik uang bagi kebijakan publik?
8. Apa dampak politik uang itu bagi kiprah caleg yang terpilih?
9. Dan lain-lain
Siapa tertantang untuk melakukan penelitian ini? Ada banyak lembaga penelitian baik itu dalam bentuk LSM dan juga lembaga penelitian di berbagai perguruan tinggi. Lembaga pelayanan awam seperti komisi kerawam bisa berinisiatif melakukan penelitian ini bekerjasama dengan para akademisi.
Hasil penelitian akan sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan dari Lembaga-lembaga pendampingan masyarakat yang nanti akan memberi pencerahan kepada masyarakat, bagaimana menjadi pemilih yang cerdas dan cermat! (Alfa Dita)
There is no ads to display, Please add some