beritabernas.com – Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII secara tegas menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Presiden kedua RI, dengan sejumlah alasan yang rasional. Di antaranya adalah kepemimpinannya terjadi banyak pelanggaran HAM besar, KKN, pemasungan kekebasan berpendapat dan hegemoni militer pada ranah kehidupan sipil.
Karena itu, PSAD UII meminta pemerintah untuk mendengarkan aspirasi publik berkaitan dengan pemberitan gelar pahlawan kepada Soeharto, sebagai pelaksanaan demokrasi deliberatif di Indonesia. Selain itu, mendorong publik agar lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dengan mempertanyakan agenda yang tersembunyi dan dampak dari kebijakan tersebut bagi kehidupan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
PSAD UII juga menentang dengan tegas segala bentuk upaya untuk membersihkan nama Soeharto dari pelanggaran HAM dan kebijakan anti-demokrasi. Kemudian, mendorong upaya berkelanjutan untuk mengusut pelanggaran HAM di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa Soeharto.
Baca juga:
- Guru Besar Tata Negara FH UGM: Penjahat HAM Bisa Menjadi Pahlawan
- HM Soeharto Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Saiful Huda Ems: Kembalinya Rezim Fasis Orde Baru
“Kami meminta masyarakat,n khususnya generasi muda, untuk membaca sejarah bangsa Indonesia secara kritis agar segala bentuk kekerasan struktural yang terjadi di masa lalu tidak berulang lagi di masa kini dan masa depan,” kata Despan Heryansyah, Peneliti PSAD dan Dosen Fakultas Hukum UII, dalam rilis yang diterima beritabernas.com, kemarin.
Pernyataan penolakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Presiden kedua RI tersebut, merupakan kesimpulan berdasarkan sejumlah alasan yang diungkapkan dalam diskusi publik dengan tema Soeharto: Agenda di Balik Gelar Pahlawan yang digelar PSAD UII pada Senin1 Desember 2025 lalu. Diskusi yang menghadirkan sejumlah narasumber dan dihadiri Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD dan Direktur PSAD Prof Masduki tersebut diadakan untuk merespon Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/tahun 2025 tentang Penganugerahaan Gelar Pahlawan Nasional yang menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Menurut Despan Heryansyah, dalam diskusi publik yang dihadiri ratusan peserta itu, para narasumber diskusi sepakat bahwa masa pemerintahan Soeharto penuh dengan kekerasan struktural, pelanggaran HAM, pemasungan aspirasi rakyat dan hegemoni tentara atas kehidupan rakyat sipil.
Selain itu, luka traumatik atas masa kepemimpinan Soeharto melahirkan gerakan reformasi yang menuntut mundurnya Soeharto sekaligus pengukuhan konstitusional Hak Asasi Manusia di Indonesia melalui Ketetapan MPR No XVII/1999.
Para narasumber menyebutkan bahwa Ketetapan (Tap) MPR tersebut mengafirmasi pelanggaran HAM Soeharto sekaliigus membentuk kerangka konstitusional untuk menjamin HAM di Indonesia melalui UU Nomor 39 1999 tentang HAM, pembentukan Komnas HAM dan UU Pengadilan HAM tahun 2000.

Dengan demikian, menurut para narasumber, pemberian gelar pahlawan oleh pemerintah bukan murni penghargaan atas jasa individu tertentu, tetapi mengandung dimensi politik yang memiliki dampak politik bagi kehidupan masyarakat Indonesia hari ini.
Selain itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bersamaan dengan Marsinah bukan sekadar ironi, nemun merupakan kekejian strategis untuk membersihkan nama Soeharto dari kesalahannya. “Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan pengkhianatan terhadap amanah reformasi dan merupakan langkah mundur bagi upaya penegakan HAM di Indonesia,” demikian para narasumber yang dikutip Despan Heryansyah.
Dikatakan pula, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dipandang sebagai memory calling terhadap budaya politik Suharto dengan narasi stabilitas politik yang membungkam demokrasi. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto juga memungkinkan (enable) replikasi kekerasan struktural, pelanggaran HAM, KKN, pemasungan kebebasan berpendapat dan hegemoni tentara atas sipil masa orde baru pada masa sekarang.
“Di atas semua itu, peran masyarakat sipil sangat penting untuk menyuarakan aspirasi kritis terhadap kebijakan pemerintah, dalam rangka menjaga nilai-nilai demokratis dan HAM yang diperjuangkan oleh reformasi,” tulis Despan Heryansyah dalam rilis tersebut. (*/phj)
There is no ads to display, Please add some