Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta
beritabernas.com – Selama puluhan tahun, Partai Golkar telah menjadi ikon kekuasaan yang membentuk arah politik Indonesia. Sejak masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, warna kuning tidak hanya melambangkan sebuah partai politik, tetapi juga menjadi simbol dominasi negara terhadap rakyat, pengendalian birokrasi dan hubungan erat antara politik dan kepentingan ekonomi.
Pada masa itu, Golkar berfungsi bukan sekadar sebagai partai, melainkan sebagai instrumen negara untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan menundukkan masyarakat di bawah slogan pembangunan nasional.
Pasca runtuhnya rezim otoriter, banyak pihak berharap hegemoni warna kuning akan memudar bersama lahirnya era reformasi. Namun, kenyataan menunjukkan Golkar tetap eksis dan bertransformasi, tidak lenyap, tetapi beradaptasi dengan sistem politik baru.
Dari tingkat pusat hingga daerah, Golkar terus menjadi saluran strategis bagi kepentingan elite ekonomi dan politik. Di Papua Selatan, simbol warna itu hari ini tampil bukan sebagai lambang kemajuan, melainkan sebagai tanda kembalinya pola lama: infiltrasi kekuasaan oligarki ke wilayah adat yang kaya sumber daya alam.
Namun hari ini Gubernur Papua Selatan diangkat sebagai Ketua DPD Partai Golkar. Langkah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai sekadar rotasi kepemimpinan partai. Di balik keputusan itu tersimpan agenda politik yang lebih dalam. Penyatuan kekuasaan eksekutif daerah dengan mesin politik nasional dalam satu figur. Pola ini menunjukkan kembalinya tradisi lama di mana batas antara kepentingan publik dan kepentingan partai menjadi kabur.
Dalam konteks Papua Selatan, situasi ini mengandung risiko serius: membuka ruang bagi jaringan oligarki untuk memperluas kontrol terhadap sumber daya alam dan tanah adat yang selama ini dijaga masyarakat lokal.
Papua Selatan sendiri memiliki potensi alam yang luar biasa: hutan dan luas, tanah masyarakat hukum adat dan tanha yang subur hingga peluang besar di sektor perkebunan. Kekayaan inilah yang menjadikan wilayah tersebut incaran modal besar, terutama dari pengusaha yang mencari wilayah ekspansi baru di luar Pulau Jawa.
Di balik narasi pembangunan dan janji investasi, tersembunyi agenda ekonomi-politik yang mengarah pada penguasaan lahan serta eksploitasi sumber daya. Dalam kondisi seperti ini, jabatan politik berperan penting sebagai pintu masuk legitimasi kekuasaan. Ketika kepala daerah menjadi bagian dari partai dengan koneksi kuat ke pusat dan dunia bisnis nasional, maka akses terhadap izin lahan, tanha masyarakat hukum adat, dan proyek pembangunan menjadi lebih mudah dikendalikan oleh elite.
Tentunya pentujuk, Gubernur Papua Selatan sebagai Ketua Golkar jelas memperlihatkan langkah strategis untuk memastikan bahwa arah kebijakan daerah tetap sejalan dengan kehendak politik pusat. Konsekuensinya, tanah adat yang sejatinya merupakan ruang hidup dan warisan budaya masyarakat Papua terancam berubah menjadi aset ekonomi yang bisa dinegosiasikan oleh kelompok berkuasa. Dalam kerangka ini, masyarakat adat kehilangan posisi sebagai subjek pembangunan, bergeser menjadi korban dari arus investasi yang tidak berpihak pada masyarakat hukum adat. semua proses tersebut dibungkus rapi dengan retorika pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua Selatan.
Baca juga:
- Meski Merupakan Hukum yang Hidup, Hukum Adat Hanya Diperlakukan Seperti Dongeng
- Otonomi Khusus Papua Selatan, Antara Janji Kesejahteraan dan Realita Pengkhianatan
- Ketika Pemerintah Papua Selatan Menjual Hak Adat Demi Ambisi Pusat
- Kekayaan Alam Papua Menjadi Sumber Ketidakadilan, Penindasan dan Eksploitasi
Kata “pembangunan” menjadi topeng yang menutupi kenyataan pahit bahwa kekuasaan politik kini bekerja untuk kepentingan segelintir elite ekonomi, bukan untuk rakyat. Saat jabatan publik berjalan seiring dengan agenda partai, makna otonomi daerah yang diperjuangkan dalam reformasi menjadi hampa.
Realitanya ini memperlihatkan betapa reformasi gagal memutus hubungan antara politik dan oligarki. Di tingkat nasional, Golkar masih memainkan peran penting dalam menentukan arah kebijakan strategis, terutama di sektor sumber daya alam dan proyek-proyek besar seperti infrastruktur, PSN dan perkebunan. Di balik setiap proyek, terselip keuntungan ekonomi dan politik bagi kelompok tertentu. Skema seperti inilah yang hari ini direplikasi di Papua Selatan, menjadikan wilayah tersebut laboratorium baru bagi pola lama kekuasaan.
Secara politis, menunjukan bahwa Gubernur Papua Selatan sebagai Ketua Golkar merupakan bagian dari strategi mempertahankan dominasi pusat di wilayah yang kaya namun memiliki kelemahan dalam kontrol sosial-politik. Rakyat Papua Selatan, yang masih berjuang mempertahankan tanah adat dan jati diri budayanya, namun hari ini menghadapi tantangan baru: kekuasaan lokal yang justru tunduk pada patronase politik dari Jakarta. Dalam situasi ini, elite daerah menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan modal dan kekuasaan pusat.
Simbol “kuning” yang dulu diagungkan sebagai warna pembangunan kini berubah makna menjadi lambang penetrasi kekuatan ekonomi-politik yang tak terawasi oleh rakyat. Persoalan ini melampaui sekadar rangkap jabatan atau loyalitas politik; ini menyangkut siapa yang sesungguhnya berkuasa atas tanah, sumber daya, dan masa depan Papua Selatan.
Jika di masa lalu warna kuning digunakan untuk menertibkan rakyat demi stabilitas nasional, maka kini warna yang sama digunakan untuk mengatur tanah atas nama investasi. Bedanya, jika dahulu rakyat tunduk kepada negara, kini mereka tunduk kepada pasar yang bersekutu dengan kekuasaan politik.
Papua Selatan berada di titik kritis: antara mempertahankan martabat tanah adat atau menyerahkan kedaulatannya pada kekuatan yang dikendalikan dari luar. Golkar dan jejaring oligarkinya telah menampakkan arah gerak yang jelas.mereka tidak datang untuk membangun rakyat, melainkan untuk memperkokoh kekuasaan.
Di bawah cahaya kuning yang diklaim sebagai simbol kemakmuran, tanah adat Papua Selatan perlahan kehilangan sinarnya, tenggelam dalam bayang-bayang kekuasaan yang terus tumbuh di atas penderitaan rakyatnya.
Warisan Golkar: dari mesin negara ke jaringan oligarki
Sejak awal kemunculannya di bawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru, Partai Golkar tidak pernah benar-benar tumbuh sebagai partai yang berlandaskan ideologi, melainkan sebagai instrumen politik negara untuk menjaga kestabilan dan mempertahankan kekuasaan. Melalui jaringan birokrasi dan militer, Golkar membangun struktur kendali yang menjangkau hingga ke pelosok desa, memastikan loyalitas politik yang merata dari pusat hingga akar rumput.
Meskipun kejatuhan Soeharto pada 1998 menandai berakhirnya Orde Baru, sistem dan jaringan kekuasaan Golkar tidak serta-merta sirna. Partai ini justru beradaptasi, bertransformasi menjadi kekuatan politik yang bertumpu pada hubungan ekonomi, kedekatan dengan pejabat daerah, dan kemampuan memelihara pengaruh di berbagai lini pemerintahan.
Kondisi di Papua Selatan hari ini menjadi cerminan bahwa pola lama itu masih berdenyut kuat. Ketika seorang gubernur sekaligus memegang jabatan sebagai ketua partai, batas antara kepentingan publik dan kepentingan politik menjadi kabur. Arah kebijakan daerah pun mudah diarahkan untuk melayani agenda politik dan ekonomi tertentu, bukan semata-mata kebutuhan rakyat. Dalam situasi seperti ini, birokrasi tidak lagi berfungsi sebagai pelayan masyarakat, melainkan menjadi alat kekuasaan yang tunduk pada kepentingan partai.
Dengan demikian, partai politik kehilangan makna idealnya sebagai ruang demokrasi dan aspirasi rakyat. Sebaliknya, ia berubah menjadi gerbang bagi kepentingan modal besar yang ingin menancapkan pengaruhnya di wilayah Papua Selatan, sebuah daerah yang kaya sumber daya namun masih berakar kuat pada sistem nilai dan hukum adat.
Di balik narasi pembangunan dan investasi, berlangsung proses perlahan di mana kekuasaan politik dipadukan dengan kepentingan ekonomi, menggerus kedaulatan tanah adat yang selama ini menjadi penopang identitas masyarakat Papua.
Provinsi Papua Selatan merupakan salah satu daerah hasil pemekaran terbaru yang resmi berdiri pada tahun 2022. Wilayah ini dikenal memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar—mulai dari hutan tropis yang lebat, lahan yang subur, hingga cadangan air yang melimpah. Namun di balik potensi tersebut, tersimpan kenyataan pahit yang jarang disorot: masyarakat adat di Papua Selatan masih belum memperoleh pengakuan penuh atas hak kepemilikan tanah leluhur mereka.
Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA, 2025) mencatat bahwa terdapat 291 wilayah adat di seluruh Tanah Papua dengan total luas mencapai 13,8 juta hektar. Dari keseluruhan angka itu, Papua Selatan menempati posisi tertinggi dengan luas wilayah adat sekitar 5,9 juta hektar. Ironisnya, hingga kini pemerintah baru mengakui 81.264 hektar, atau kurang dari 8 persen dari total wilayah adat yang telah diregistrasi resmi. (Sumber: Kompas.id, Maret 2025)
Ketimpangan ini menggambarkan situasi genting yang dihadapi masyarakat adat Papua Selatan. Ketiadaan pengakuan hukum membuat posisi mereka sangat rentan terhadap intervensi kekuasaan dan modal. Tanpa dasar legal yang kuat, tanah-tanah adat tersebut mudah diklaim atau dialihfungsikan menjadi kawasan proyek strategis, perkebunan skala besar, atau area konsesi industri dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan demikian, proses pembangunan yang seharusnya menghadirkan keadilan justru berpotensi melahirkan ketimpangan baru. Di satu sisi, pemerintah mengusung agenda investasi dan infrastruktur; di sisi lain, masyarakat adat masih berjuang untuk mempertahankan hak dasar atas tanah yang telah diwariskan turun-temurun. Papua Selatan, dalam konteks ini, menjadi cermin dari pertarungan antara kekuasaan modern dan kedaulatan adat yang terus terpinggirkan.
Istilah oligarki mengacu pada suatu sistem kekuasaan di mana segelintir kelompok elite memiliki kendali atas sumber daya ekonomi sekaligus memengaruhi arah kebijakan politik. Di Indonesia, bentuk oligarki tidak hanya dimonopoli oleh kalangan pengusaha besar, tetapi juga terbentuk melalui jejaring kepentingan antara elite politik, pejabat pemerintah, dan para investor. Mereka bekerja dalam satu ekosistem yang saling menopang, di mana kekuasaan politik digunakan untuk membuka jalan bagi akumulasi ekonomi.
Dalam konteks Papua Selatan, relasi semacam ini tampak jelas melalui kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah dan pusat. Jaringan oligarki tidak beroperasi secara terbuka, melainkan bergerak lewat jalur formal kebijakan publik yang seolah-olah sah dan berpihak pada pembangunan. Namun di balik itu, tersimpan motif ekonomi besar yang mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam.
Data dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (2024) menunjukkan bahwa pemerintah telah menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 486.939 hektar di wilayah Papua Selatan. Langkah tersebut diklaim sebagai bagian dari dukungan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mencakup pengembangan perkebunan kelapa sawit, produksi pangan skala besar, serta pembangunan infrastruktur utama.
Kebijakan ini memperlihatkan bagaimana oligarki bekerja dengan halus di bawah payung pembangunan. Atas nama investasi dan kepentingan nasional, ruang hidup masyarakat adat dan kelestarian hutan Papua Selatan perlahan dikorbankan untuk memperluas kepentingan ekonomi elite yang beroperasi di balik kebijakan negara.
Menurut Laporan TUK Indonesia (2025), proses perubahan fungsi kawasan tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan difasilitasi langsung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kedua lembaga ini berperan mempercepat proses yang disebut sebagai “pengadaan lahan komersial” di wilayah Papua Selatan. Pola ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dijalankan secara vertikal.berasal dari tingkat pusat dan turun ke daerah,tanpa mempertimbangkan struktur sosial, nilai budaya, maupun kearifan lokal masyarakat adat yang hidup dan bergantung pada tanah mereka.
Dalam konteks ini, keterlibatan pejabat daerah yang sekaligus memiliki posisi penting di partai politik besar seperti Golkar semakin memperkuat legitimasi politik atas kebijakan penguasaan lahan tersebut. Kombinasi antara kewenangan administratif dan dukungan politik menciptakan ruang legal bagi ekspansi ekonomi yang berpotensi menyingkirkan masyarakat adat dari tanah mereka sendiri.
Di titik inilah “kekuasaan kuning” menampakkan wujud aslinya.tidak selalu hadir dengan kekerasan, tetapi bekerja secara senyap melalui jalur kebijakan dan prosedur resmi. Ia bergerak dalam diam, namun dampaknya meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat adat yang tanahnya berubah fungsi menjadi komoditas ekonomi.
Pada Pemilu 2024, Partai Golkar masih menunjukkan pengaruh politik yang kuat, khususnya di kawasan timur Indonesia. Di tingkat provinsi, partai ini berhasil meraih 10 kursi di DPR Papua, sementara di wilayah Papua Selatan, Golkar memperoleh 4 kursi dari total 35 kursi DPRD provinsi. (Sumber: Narasi.tv, 2024)
Meski secara kuantitatif jumlah kursinya tidak tergolong dominan, kekuatan Golkar justru terletak pada posisi strategis para pejabat daerahnya. Fakta bahwa Gubernur Papua Selatan juga menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar memperlihatkan bagaimana partai ini mampu mengonsolidasikan kekuasaan birokrasi dan politik dalam satu figur sentral. Dengan demikian, Golkar tidak hanya hadir sebagai peserta politik elektoral, tetapi juga sebagai aktor yang mampu mengendalikan arah kebijakan daerah melalui posisi eksekutif.
Konsolidasi kekuasaan semacam ini memperkuat dugaan bahwa berbagai keputusan strategis pemerintah daerah,terutama yang berkaitan dengan tata ruang, izin lahan, serta pengelolaan sumber daya alam,berpotensi diselaraskan dengan agenda elite politik di tingkat pusat maupun korporasi besar yang memiliki keterkaitan historis dan finansial dengan partai tersebut. Dalam konteks Papua Selatan, hal ini menandakan bahwa dinamika politik lokal kini tidak lagi sepenuhnya berdiri di atas kepentingan rakyat, melainkan semakin erat terhubung dengan jaringan kekuasaan nasional dan kepentingan ekonomi skala besar.
Menurut masyarakat adat di Papua Selatan, tanah tidak hanya bermakna sebagai sumber ekonomi semata. Ia merupakan bagian dari identitas kultural dan spiritual, tempat di mana hubungan manusia dengan leluhur dan alam terjalin erat. Tanah adalah warisan suci yang dititipkan turun-temurun, ruang hidup yang menyatukan manusia, alam, dan roh penjaga yang dipercaya menjaga keseimbangan kehidupan. Namun, ketika wilayah-wilayah sakral itu diubah menjadi kawasan proyek strategis atau perkebunan kelapa sawit, yang hilang bukan sekadar hutan dan sumber penghidupan, tetapi juga makna eksistensial masyarakat itu sendiri.
Dengan tingkat pengakuan formal atas tanah adat yang masih di bawah 10%, sementara ekspansi proyek pembangunan terus berlangsung tanpa kendali, kedaulatan masyarakat adat Papua Selatan kini berada di titik kritis. Mereka menghadapi ancaman kehilangan bukan hanya ruang fisik, tetapi juga akar budaya dan spiritualitas yang menjadi fondasi kehidupan mereka.
Lebih dari itu, kebijakan pembangunan yang dijalankan tanpa prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent – FPIC) mencerminkan bentuk kolonialisme internal di era modern. Dalam mekanisme ini, negara menggunakan perangkat hukum dan politiknya untuk menundukkan rakyatnya sendiri, menjadikan masyarakat adat korban dari pembangunan yang seharusnya mereka nikmati. Dengan dalih kemajuan, kekuasaan menegakkan hegemoni baru.di mana suara rakyat adat disenyapkan, dan tanah mereka dijadikan komoditas bagi kepentingan elite.
Merenungkan realitas hari ini menuntun kita pada satu pertanyaan mendasar: untuk siapa sesungguhnya kekuasaan dijalankan? Golkar, dengan sejarah panjangnya sebagai partai yang pernah menjadi tulang punggung kekuasaan negara, kini tampak mengulangi pola lama. Ia tidak hanya berfungsi sebagai wadah politik, tetapi juga menjadi jembatan antara kekuatan oligarki nasional dan kebijakan di tingkat lokal.
Dalam situasi semacam ini, pejabat publik yang seharusnya berdiri di pihak rakyat dan melindungi hak-hak masyarakat adat, justru berubah menjadi alat kepentingan elite yang beroperasi jauh dari kepentingan rakyat di akar rumput.
Dengan demikian, posisi Gubernur Papua Selatan hari ini tidak lagi sekadar mewakili otoritas daerah, melainkan juga melambangkan bentuk baru dari dominasi kekuasaan pusat atas tanah adat. Dalam struktur politik yang demikian timpang, suara masyarakat adat semakin dikesampingkan, sementara tanah leluhur mereka perlahan terhisap dalam logika pembangunan dan eksploitasi.
Data dan uraian di atas menyingkap kenyataan pahit yang tengah terjadi di Papua Selatan. Sebanyak 5,9 juta hektar wilayah adat di provinsi ini belum diakui secara hukum oleh negara. Sementara itu, 486 ribu hektar lahan telah dialihkan untuk Proyek Strategis Nasional, dan pengakuan resmi terhadap hak ulayat masyarakat adat baru mencapai kurang dari 8%.
Di tengah situasi ini, pejabat publik yang juga merangkap jabatan dalam partai politik besar justru membuka jalan bagi masuknya kepentingan oligarki ke dalam tubuh pemerintahan daerah.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa demokrasi lokal masih jauh dari cita-cita keadilan rakyat. Kekuasaan, alih-alih digunakan untuk memperkuat masyarakat, justru berfungsi menjaga dominasi elite politik dan ekonomi nasional.
Partai Golkar, yang dulu menamakan dirinya “partai pembangunan”, kini dihadapkan pada ujian moral terbesar dalam sejarahnya: apakah ia akan terus menjadi instrumen oligarki yang mempertahankan ketimpangan, atau berani berubah menjadi kekuatan politik yang memperjuangkan masyarakat adat dan keadilan sosial?
Papua Selatan tidak membutuhkan pembangunan yang menindas, melainkan pembangunan yang memerdekakan. Warna kuning seharusnya menyimbolkan terang bagi rakyat, bukan bayangan yang menutupi hak mereka atas tanah dan kehidupan.
Sebab di atas tanah yang hijau dan subur itu, masyarakat masih menanti seorang pemimpin yang berpihak kepada manusia, kepada tanah, dan kepada kebenaran, bukan kepada kekuasaan dan kepentingan sempit. (Dikutip dari berbagai sumber)
There is no ads to display, Please add some