Rektor UII Prof Fathul Wahid: Kebebasan Saintifik jadi Pilar Utama Kemajuan Ilmu Pengetahuan

beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengatakan, kebebasan saintifik menjadi pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Kebebasan ini merupakan fondasi yang memungkinkan para ilmuwan dan peneliti untuk menjelajahi ide, mencari kebenaran dan berinovasi tanpa hambatan yang tidak perlu.

“Bahkan kebebasan saintifik dianggap sebagai kebutuhan demokrasi, hak sipil dan politik dan salah satu penjamin kesehatan dan kesejahteraan manusia selama tidak menimbulkan dampak buruk bagi orang lain,” kara Rektor UII Prof Fathul Wahid mengutip Wilholt, dalam sambutan pada acara serah terima SK Profesor kepada dua Dosen UII di Ruang Datar Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof Sardjito Kampus Terpadu UII, Senin 27 November 2023.

Dua Dosen UII yang menerima SK Profesor/Guru Besar dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi itu adalah Prof Masduki dan Prof Hanafi Amrani.

Prof Masduki (ketiga dari kiri) dan Prof Hanafi Amrani (ketiga dari kanan) foto bersama Rektor UII, Wakil Yayasan Badan Wakaf UII dan Kepala Biro Umum LLDikti usai menerima SK Profesor. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Menurut Prof Fathul Wahid, kebebasan saintifik merupakan bagian kebebasan akademik (academic freedom) yang memiliki cakupan yang lebih luas dan melampaui riset saintifik. Kebebasan akademik mencakup kebebasan anggota komunitas akademik (dosen, peneliti, mahasiswa) di perguruan tinggi yang memungkinkan kinerja efektifnya dalam menjalankan tugas, seperti pengajaran, riset, pembelajaran, praktik seni tanpa interferensi atau batasan karena hukum, regulasi atau tekanan publik yang tidak masuk akal (e.g. Fuchs, 1963).

Beragam argumen

Dikatakan, dalam literatur ditemukan beragam argumen dalam memandang kebebasan saintifik (Wilholt, 2010; Bayertz, 2006). Sebagian pemikir (e.g. Wilholt, 2010), mengenalkan argumen epistemologis dan politis. Yang pertama dikaitkan dengan upaya untuk mengorganisasi ikhtiar saintifik kolektif dan yang kedua untuk memastikan bahwa pengetahuan saintifik harus dihasilkan secara independen dari kepentingan politik karena peran penting sains terjait hajat hidup publik.

Sementara pemikir lain (Bayertz, 2006) membagi argumen kebebasan akademik menjadi tiga. Pertama adalah argumen Aristotelian. Argumen ini mendasarkan pada premis antropologis bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu, mencari pengetahuan, dan menanyakan apa yang menyatukan dunia. Menurut Aristoletes, karakter alami manusia adalah kebutuhan bawaannya terhadap pengetahuan dan kebenaran, bahkan meski tidak jelas manfaat praktisnya (Bayertz, 2006).

Perspektif ini melihat bahwa pencarian pengetahuan sebagai sebuah kebajikan (virtue) dan mengandung etika teleologi terkait dengan kontribusi pengetahuan terhadap kesejahteraan manusia.

Kedua adalah argumen Kantian. Kebebasan saintifik berasal dari fakta bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai persepsi sadar, yang merefleksikan dirinya sendiri dan dunia; namun menonjolkan dimensi kritis rasionalitas dan refleksi manusia. Sains dalam konteks ini dianggap sebagai kendaraan menuju pencerahan (Bayertz, 2006).

Di sini ada penghargaan atas martabat dan otonomi manusia. Kebebasan saintifik menghormati otonomi individu untuk terlibat dalam riset dan membentuk kemandirian intelektual. Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Ketiga adalah argumen Baconian. Argumen ini mengedepankan penggunaan praktis dan perolehan pengetahuan. Prioritasnya tidak lagi pada nilai intrinsik dari kebenaran atau perolehan pencerahan, namun pada potensi industri dari pengetahuan dan perolehan kesejahteraan material yang terkait dengannya (Bayertz, 2006). Ada ide komersialisasi pengetahuan di sini.

Dalam konteks ini adalah diskusi terkait dengan riset empiris dan penalaran induktif. Kebebasan saintifik memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pengetahuan melalui observasi dan eksperimen sistematis. Selain itu, ada prinsip utilitarianisme pragmatis di sini. Kebebasan saintifik, jika dilakukan dengan tanggung jawab, dapat membawa manfaat praktis bagi masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar.

BACA JUGA:

Jika dirangkum secara sederhana, ketiga argumen tersebut beririsan dalam hal adanya kemajuan, pencerahan dan kesejahteraan, meski dengan penekanan yang berbeda-beda.

Tantangan dan keterbatasan

Namun, kita bisa boleh menutup mata, jika kebebasan saintifik juga mempunyai tantangan yang harus dimitigasi. Tantangan tersebut termasuk koridor etika, karena riset mungkin memiliki dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.

Selain itu, aspek ketergantungan finansial dan politik dapat menggadaikan independensi saintifik. Jika terjebak, periset mungkin menerima riset pesanan untuk memberi stempel kepada kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada kebaikan khalayak.

Ketidaksetaraan akses terhadap beragam sumber daya dan peluang riset juga menjadi tantangan lain karena dapat menciptakan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.

Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, Kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *