beritabernas.com – Gereja dipanggil untuk menunjukkan kasih Allah dengan merangkul, bukan menyingkirkan. Perbedaan kemampuan atau kebiasaan (different ability) menjadi sudut pandang dalam melihat keberadaan seluruh umat, yaitu sebagai subjek yang berharga, bukan sebagai objek, sehingga karya Tuhan dapat dinyatakan.
“Gereja menjadi tempat yang penuh suka cita, menerima semua untuk dicintai dan menjadi bagian dari Tubuh Kristus,” kata Romo Antonius Koko Kristanto Pr dalam kata pengantar Sarasehan Gereja Ramah Difabel di Aula Pastoran Gereja Santa Theresia Sedayu, Bantul, Minggu 26 Oktober 2025.
Menurut Romo Koko Kristanto, semangat inklusivitas berakar dari pandangan Gereja bahwa setiap orang diciptakan seturut citra Allah. Semua umat, termasuk difabel, memiliki martabat dan panggilan yang sama untuk bergotong royong membangun Gereja.

Dalam sarasehan bertajuk Dari Kehadiran Menuju Keterlibatan Penuh: Mendorong Difabel Menjadi Subyek dan Pelayan dalam Gereja dan Lingkungan, Romo Koko Kristanto mengatakan, beberapa hal yang bisa dlakukan untuk mewujudkan komunitas yang inklusif yakni penerimaan dalam arti mengakui bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.
Kemudian, kesetaraan martabat yakni memberikan kepercayaan penuh kepada difabel; aksesibilitas yakni mengakomodasi kebutuhan difabel; partisipasi aktif yakni keterlibatan difabel dalam kegiatan pelayanan di Gereja; apresiasi keberagaman: menghargai keberagaman sebagai suatu keindahan untuk karya Tuhan yang lebih besar.
Baca juga:
- Pemimpin Sekolah Katolik Perlu Menguasai Komunikasi, Struktur Paradigma dan Implementasinya
- 94 Peserta Ikuti Pelatihan Transformasi Sekolah Katolik yang Diadakan LEKAS
Romo Koko menutup dengan pesan pastoral bahwa “Kita semua adalah satu tubuh Kristus. Masing-masing memiliki keunikan dan kemampuan berbeda. Mari membuka hati dan memberi ruang bagi semua memiliki kesetaraan tanpa membeda-bedakan-untuk berkarya, beriman, dan bersaksi bersama.”
Dalam materi paparan sarasehan, pemerhati disabilitas Angga Yanuar menekankan pentingnya menghapus stigma dan sikap diskriminasi dan prasangka yang tidak disadari dalam lingkungan iman, sehingga timbul penilaian yang mengakar.

Ia mengingatkan bahwa memisahkan manusia dari pengambilan keputusannya sendiri berarti menjadikannya objek, bukan subjek. Gereja yang inklusif adalah gereja yang berani memberi ruang bagi setiap umat untuk menentukan arah hidup dan imannya sendiri.
Sementara Maria Tri Suhartini, Ketua Panitia Kegiatan, mengutarakan bahwa sarasehan ini lahir dari kerinduan para difabel dan keluarga mereka untuk saling bertemu dan berbagi pengalaman iman.
“Difabel bisa mengakses tempat ibadah, itu hak semua. Gereja berupaya memberikan aksesibilitas dan advokasi agar setiap umat dapat beribadat dengan damai,” ujarnya.
Tahun ini, kegiatan tersebut juga menjadi bagian dari peringatan Hari Paroki (HARPA) 2025, memperingati 98 tahun Gereja St Theresia Sedayu. (*/phj)
There is no ads to display, Please add some