beritabernas.com – Secara substansial, RUU Perampasan aset tidak akan didasarkan pada pemidanaan. Artinya, pelaku tidak perlu dipidana terlebih dahulu seperti yang selama ini berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, perampasan aset tanpa ada proses pidana.
“RUU Perampasan Aset tidak menggantungkan pada proses pidana. Artinya, perampasan aset bisa dilakukan tanpa ada proses pidana. Ini yang selama ini menjadi debat publik, karena belum membaca secara utuh substansi dalam RUU Perampasan Aset,” kata Sugeng Purnomo, mantan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam RI, dalam diskusi online #7 yang diadakan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII pada Rabu 24 September 2025.
Selain Sugeng Purnomo, tampil sebagai narasumber dalam diskusi dengan tema RUU Perampasan Aset: Peluang dan Tantangan ini adalah Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara FH UGM).
Menurut Sugeng Purnomo, perampasan aset yang diduga merupakan hasil kejahatan, sejatinya bukanlah hal yang baru sama sekali karena sudah diatur dalam KUHAP yang lama. Roh dari RUU Perampasan aset ini adalah kekayaan yang tidak wajar pada seorang pejabat negara, yang dapat diproses tanpa ada pemidanaan terhadap pelaku terlebih dahulu.
Dikatakan, perampasan aset juga terutama dilakukan bagi terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya. Dengan demikian, meskipun seseorang meninggal dunia, perampasan aset tetap dilakukan. Selama ini, jika menggunakan ketentuan konvensional, proses pidana tidak dapat dilanjutkan. Begitu pun pemblokiran dapat dilakukan setelah mendapatkan izin pemblokiran dari Pengadilan Negeri.
Baca juga:
- Perlu Penguatan Kapasitas dan Integritas Penegak Hukum dalam Upaya Perampasan Aset
- Prof Masduki Ajukan Judicial Review Pasal 65 UU Perlindungan Data Pribadi Nomor 27/2022
Sementara bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas perampasan aset, menurut Sugeng Purnomo, RUU Perampasan Aset mengatur juga ruang bagi pihak yang merasa keberatan atas putusan perampasan aset. “Artinya, tidak serta merta akan dirampas begitu saja tanpa adanya upaya hukum yang lebih lanjut,” kata Sugeng Purnomo.
Sugeng Purnomo menambahkan, dari aspek penamaan, sejatinya perampasan aset hanyalah salah satu dari proses panjang terkait dengan aset negara. Maka akan lebih baik jika yang digunakan adalah pemulihan aset, sebagai tujuan akhir dari agenda perampasan, yaitu pemulihan aset negara.
Kemudian, dari aspek teoritik dan praktik, upaya perampasan aset memang harus dilakukan di luar proses pidana. Dalam praktik, hal ini memang sudah dilakukan, misalnya dalam konteks administrasi, ada kewenangan petugas imigrasi untuk merampas aset orang yang membawa uang melebihi dari standar tertentu. Jadi, konteks RUU ini, menurut Sugeng, adalah perampasan aset tanpa ada proses pidana.
Sementara Zainal Arifin Mochtar mengatakan, dari aspek kewenangan, perdebatannya adalah siapakah yang berwenang melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan. Karena tidak hanya sampai ke level perampasan, malainkan juga akan melakukan pengelolaan aset secara keseluruhan mulai dari pengelolaan sampai pada penjagaan agar tidak rusak.
“Pada level ini perlu ada pihak lain secara profesional yang terlibat dan diatur di dalam UU ini. Harus ada lembaga yang secara profesional dan terpercaya yang melakukan pengelolaan terhadap aset ini, tidak meletakkan sepenuhnya pada kewenangan Kejaksaan,” kata Zainal Mochtar.
PSAD desak pemerintah dan DPR
Despan Heryansyah, Peneliti PSAD dan Dosen Fakultas Hukum UII, mengatakan, terhadap beberapa catatan tersebut di atas, maka PSAD UII menyatakan perlu sejumlah langkah strategis yang akan menjadi agenda tindak lanjut bagi berbagai pihak.
Pertama, mendorong DPR dan pemerintah untuk dengan serius merancang, membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset, tidak hanya sekedar menjadi gimmick sebagai respon reaktif atas tuntutan masyarakat.
Kedua, proses pembahasan RUU Perampasan Aset sampai hari ini masih sangat elitis dan tertutup. Perlu ada ruang yang lebih besar untuk melibatkan publik membicarakan hal-hal substantif dalam pembentukan RUU atau meaningfull participation. Representasi yang memadai ini sekaligus menjadi legitimasi “pembatasan hak” yang menjadi isu terpenting dalam RUU Perampasan Aset.
Ketiga, perlu ada pengaturan didalam RUU Perampasan Aset, bahwa proses hukum dalam semua rangkaian perampasan aset harus dibuka kepada publik dan dilakukan secara transparan. Hal ini agar publik betul-betul dapat mengawasi segala proses perampasa aset pada saatnya nanti.
Keempat, RUU Perampasan Aset, pada sisi yang lain berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun karena secara faktual dibutuhkan mekanisme perampasan aset tanpa proses pidana, maka perlu ada pengaturan atau skema yang fair di dalam RUU untuk menjaga agar hak asasi manusia tidak dilanggar.
Kelima, RUU Perampasan Aset menuntut adanya penguatan kapasitas dan integritas penegak hukum, terutama lembaga yang akan terlibat dalam Perampasan Aset pada saatnya nanti. Oleh karena itu, agar Perampasan Aset tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu terutama untuk memeras pihak lain yang asetnya diduga akan dirampas oleh negara, perlu ada penguatan kapasitas aparat penegak hukum.
“Di luar itu semua, satu hal yang paling penting adalah pelibatan publik terhadap semua proses pembahasan RUU Perampasan aset agar publik memahami substansi dan arah dari RUU. Untuk itu, PSAD UII mendorong pemerintah dan DPR agar membuka ruang partisipasi penuh masyarakat untuk mendiskusikan, memberi masukkan, dan mengkritik proses pembentukan RUU Perampasan Aset,” kata Despan Heryansyah.
Partisipasi masyarakat adalah prinsip dasar pembentukan undang-undang sebagaimana yang dijamin dalam UU Nomor 12 tahun 2011, dan implementasi dari dari Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. “PSAD menegaskan bahwa dalam negara yang demokrasinya sehat, pelibatan rakyat dalam pembentukan undang-undang adalah syarat utama legitimasi sebuah undang-undang,” tambah Despan. (lip)
There is no ads to display, Please add some